Home » » GEGER AMPLOP PAK PENGHULU

GEGER AMPLOP PAK PENGHULU

Written By el_mlipaki on Kamis, 02 Januari 2014 | 15.07

KPK Nyentil Pak Naib
“Terimakasih, maaf saya tidak bisa menerima ini karena ini sudah menjadi tugas dan kewajiban saya untuk mengabdi kepada masyarakat,” begitulah ucapan salah seorang penghulu saat setelah menikahkan pasangan Rudi Heryanto-Lia Firmandany Ahad (15/12) lalu.

Tips atau ‘amplop’ khusus untuk para penghulu dan kesra (modin) kelurahan untuk keperluan nikah sudah bukan rahasia umum lagi, bahkan seolah sudah menjadi budaya di tengah masyarakat. Jika tidak maka berbagai alasan akan dikemukakan, mulai dari ketidak seamngatan dalam menjalankan tugasnya sebagai penghulu, kurang simpatik hingga proses pembuatan kartu nikah yang tak kunjung jadi. Bahkan untuk kalangan tertentu (orang kaya tentunya) ada yang terang-terangan memasang tarif sekian rupiah di muka. Namun kini semuanya sudah berubah. Para penghulu dan kesra kelurahan hampir semuanya menolak pemberian uang tips karena dianggap gratifikasi.

Kasus Romli
            Semuanya ini sebagai dampak setelah terkuaknya kasus korupsi mark up biaya nikah yang dilakukan Romli, oknum Kantor Urusan Agama (KUA) Kediri. Modusnya, pejabat yang kini sudah menghuni Lembaga Pemasyarakatan Kelas II A Kediri sebagai tahanan jaksa ini menaikkan biaya nikah di luar ketentuan. Mereka memanfaatkan ketidaktahuan masyarakat soal tarif pencatatan nikah yang memang tidak disosialisasikan dengan baik. Akibatnya sejumlah pengantin telah menjadi korban pemerasan itu.
Menurut keterangan berbagai pihak, Romli diketahui memungut biaya nikah sebesar Rp 225.000 untuk pernikahan di luar kantor dan Rp 175.000 di dalam kantor. Dari nominal itu ia mendapatkan jatah Rp 50.000 sebagai petugas pencatat nikah plus Rp 10.000 sebagai insentif Kepala KUA.Padahal peraturan pemerintah yang mengatur soal itu hanya memungut biaya nikah sebesar Rp 30.000 saja. Alhasil, jika dihitung selama kurun waktu 2 Januari 2012 hingga 31 Desember 2012 dirinya sudah “meraup keuntungan” sebesar Rp 36 juta atas biaya pencatatan nikah di luar ketentuan.
Sejak insiden ini Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kementerian Agama RI sepakat jika seorang penghulu yang menerima amplop dari pihak yang menikah merupakan gratifikasi. Guna menantisipasi kasus-kasus serupa, ke depan para penghulu wajib melaporkan bentuk-bentuk penerimaan kepada KPK, sebagaimana yang telah dirumuskan dalam rapat antara KPK, Kementerian Agama dan Kementerian Keuangan yang digelar di kantor KPK, Rabu (18/12/2013).
***
Giri Supradiono, Direktur Gratifikasi KPK
“Amplop buat penghulu, penerimaan homor, tanda terimakasih, pengganti uang transport dalam pencatatan nikah merupakan isu terkini dalambentuk gratifikasi sebagaimana dalam pasal 12B Undang-Undang Pemberantasan Tipikor. Hal ini akan dibahas dalam rapat antara tiga lembaga terkait dengan merumuskan sejumlah keputusan, di mana untuk memudahkan pelaporan, akan diatur mekanismenya kemudian".


KETIKA PENGHULU MOGOK

Pasca penangkapan Romli sejumlah rekan sejawat (penghulu khususnya) berekasi. Mereka menolak proses pidana Kepala KUA Kediri, bahkan 661 penghulu se-JawaTimur sepakat menolak panggilan untukmenikahkan calon pengantin di rumah atau masjid, tapi hanya melayani ijab di Kantor Urusan Agama (KUA) atau balai nikah. Alasannya untuk menghindari gratifikasi seperti yang didakwakan kepada Kepala KUA Kecamatan Kota, Kota Kediri.
Seruan aksi mogok ini terbatas melayani pernikahan di luar kantor itu diserukan Ketua Komisi Bidang Hukumdan Pemerintahan DPRD Provinsi JawaTimur, Sabron Djamil Pasaribu. Dirinya mengatakan, penolakan merupakan aksi solidaritas petugas pencatat akad nikah se-Jatim atas kasus hukum yang menimpa Romli. Sabron tidak menganggap pemberian pihak mempelai kepada petugas pencatat nikah sebagai pungutan liar atau gratifikasi. Baginya, kasus yang menimpa Kepala KUA Kota Kediri itu terlalu berlebihan.
"Jemput bola melayani masyarakat itu bukan pungli atau gratifikasi karena pemberian kepada mereka itu seikhlasnya," kata Sabron.
Saat berlangsungnya aksi mogok, hampir seluruh pegawai KUA Kediri enggan berkomentar. Mereka menolak kehadiran wartawan yang hendak meminta keterangan. "Kami tak akan bicara apa-apa sampai kasus ini selesai," kata salah satu staf KUA Kecamatan Kota Kediri sambil mengusir wartawan yang hendak mengambil gambar suasana kantor.

Mereka Tidak Minta
Di tempat terpisah, SyamsuTohari selaku Koordinator Forum Komunikasi Kepala KUA JawaTimur menganggap kasus ini sama halnya mencoreng profesi penghulu. Padahal, sebagai penghulu yang menikahkan calon pengantin tidak pernah meminta tarif dari masyarakat yang ingin dinikahkan di kantor atau balai nikah KUA.
"Kami tidak pernah meminta tarif saat menikahkan calon pengantin di luar balai nikah. Kalaupun diberi, itu bukan gratifikasi atau pungutan (pungli). Pemberian itu sama sekali tidak dipaksakan. Justru jika ditolak, dikhawatirkan menyinggung perasaan tuan rumah yang menikahkan putra-putrinya. Dan itu sudah kultur warga Jatim menggelar pernikahan yang dianggap sakral di rumah atau di masjid. Saat pulang, kami diberi makanan dan sejumlah uang sekadar ongkos lelah atau sebagai pengganti ongkos transport, jadi itu wajar bukan gratifikasi atau pungutan yang dipaksakan".

Saling tuding
Melihat kondisi yang semakin carut marut membuat sebagian kalangan saling tuduh dan menyalahkan. Karena menurutnya kejadian ini akan menimbulkan keresahan di tengah masyarakat.
DR Hidayat Nur Wahid, mantan Ketua MPR RI periode 2004-2009
"Permasalahan itu muncul dari Kemenag sejak 2012. Kemenag harus tanggung jawab karena menciptakan kondisi itu, kasihan masyarakat yang semakin dibuat resah".


Masyarakat Makin Cerdas

            Perlahan-lahan masyarakat akhirnya kritis terhadap “ulah” dari sebagian oknum KUA yang sering melakukan pungutan di luar biaya nikah sebagaimana yang sudah ditentukan pemerintah. Seperti apa suara-suara mereka, berikut berbagai komentar dari beberapa kalangan yang berbicara.

Mochtar Kusuma Atmaja, pendidik
            “Terus terang kami sebagai rakyat kecil yang tidak begitu tahu soal urusan nikah. Jujur saja dulu kami menikahkan putri kami terkena sampai 300 ribu, padahal katanya biaya nikah hanya 30 ribu saja. Pertanyaannya, uang yang sebesar 370 ribu dikemanakan? Kalau memang penghulu dan modin (Kesra kelurahan-red) memungut uang sebesar itu lalu di mana hati nurani mereka. Ya kalau yang punya hajat orang kaya, kalau orang miskin apakah ini namanya pungli?”.

Supriadi, Sos,S. Wakil Ketua DPRD Kota Semarang
            “Saya kira ini semacam pemberian yang sifatnya sukarela dan tidak memaksa. Karena biasanya ini dilakukan pada hari libur kerja atau diundang untuk datang ke rumah. Misalnya kalau toh tidak memberi pun juga tidak apa-apa. Begitu juga dengan biaya nikah, tidak semua penghulu melakukan seperti itu. Saat ini memang pemerintah belum mengcover biaya penghulu yang demikian. Tapi ke depan harus ada operasional seperti pada saat hari libur harus ada biaya khusus. Ini merupakan PR bagi kami selaku DPRD bersama pemerintah untuk membahas anggaran ini”.

Pranolo Budi Gautama, LSM, Aktifis, pengurus FKKPI Kota Semarang
            “Ini tidak benar, jangan karena orang tidak tahu lalu seenaknya menaikkan biaya nikah. Saya tahu kalau orang memberikan uang transport dan biaya nikah sebenarnya tidak memberatkan, tapi secara tidak langsung itu setengah terpaksa, karena biasanya kalau tidak mau mengiktui akan dipersulit. Saya sangat setuju dengan langkah KPK untuk membersihkan pungli-pungli yang sering meresahkan ini”.

Maman, tokoh masyarakat
            “Bicara soal birokrasi yang dilakukan dalam urusan pernikahan terus terang selama ini tidak transparan ketika masyarakat membutuhkan. Inilah yang kemudian disalah gunakan oleh oknum-oknum penghulu dan modin dengan melakukan pungutan seenaknya. Saya setuju kalau dilakukan pengawasan secara ketat oleh pihak-pihak terkait di lingkungan KUA”.*



Itu Bukan Gratifikasi, Tapi Bisyaroh

Pernyataan KPK terhadap fenomena Kepala KUA (Romli) di Kediri Jawa Timur juga membuat gerah semua penghulu diberbagai daerah, termasuk juga Penghulu Kec. Pedurungan Kota Semarang, Moh. Hasan Basri, S.Hi. Berikut pemaparannya.
Tanggapan anda terhadap kasus pak Romli?

Secara umum kita belum tahu prosedurnya seperti apa karena kesalahan yang awal dari kabar-kabarnya, pak romli itu sudah menetapkan tarif sebelumnya, jadi hal ini yang dianggap pungli. Dan kalau itu memang benar adanya, saya fikir wajar juga kalau yang bersangkutan sampai dijerat hukum, tapi kalau itu hanya menerima bisyaroh ketika paska pelaksanaan pencatatan nikah menurut saya itu bukan kategori pungli, walaupun dikatakan oleh KPK itu bagian dari gratifikasi. Tapi memang beberapa rumor yang beredar bahwa dia mengeluarkan edaran kepada masyarakat tentang biaya pernikahan diluar peraturan yang berlaku.
Kpk bilang itu gratifikasi?
Kalau secara UU iya, dan dipandang untuk pejabat negara itu jelas bagian dari gratifikasi dan itu harus dilaporkan, ketika itu tidak dilaporkan dalam jangka 30 hari berarti sudah masuk ranah korupsi. Tapi ada beberapa pendapat dari tokoh-tokoh lain yang mengatakan itu masih fifty-fifty. Jadi kitapun (penghulu-red) tidak pernag mentarget besaran yang kita sebut sebagai bisyaroh itu atas ganti transport diluar jam kerja kantor. Maka kami menekankan keikhlasan saja, bahkan kami juga memberitahukan kalau anda keberatan mending tidak usah saja tidak apa-apa, dan sebagai catatan saja bahwa penghulu itu tidak hanya bertugas mencatat tetapi juga memberikan khotbatunnikah dan pembacaan do’a. artinya, ketika saya hanya bertugas mencatat saja, maka itu bisa disebut sebagai gratifikasi, tetapi kalau saya juga memberikan khotbah dan do’a maka saya sebut itu sebagai bisyaroh dan itu diperbolehkan untuk menerimanya.
Berapa besaran transport kerja luar bagi penghulu ?
Tidak ada. Biaya pencatatan nikah sesuai peraturan itukan 30 ribu rupiah, dan itu masuk ke kas negara semua sesuai dengan PP 47 tahun 2004. Sedangkan anggaran 2 juta per bulan itu untuk operasional kantor seperti beli kertas, bukan termasuk transport penghulu.
Tentang kerja diluar jam kantor ?
Kalau saya inginnya ya kerja di hari kerja pada jam kerja, karena saya masih punya waktu istirahat dan berkumpun dengan keluarga. Oleh karenanya saya mengharapkan pemerintah juga menetapkan pencatatan pernikahan dilakukan di hari kerja dan jam kerja, tapi ketika pemerintah membolehkan menikah diluar hari, jam kerja, dan di luar tempat kerja seharusnya memberikan payung hukum yang jelas. Dan seluruh Kepala KUA sekarang sudah berkomitmen, bahwa per pendaftaran Januari 2014 seluruh manten diusahakan menikah di kantor pada hari dan jam kerja.  
Jadi permasalahan sebenarnya di payung hukumnya?
Iya, karena belum ada kejelasan payung hukumnya, apakah ditanggung oleh negara atau dibebankan kepada masyarakat.

UU Naib

Disebutkan dalam pasal 1 ayat (3) PMA No. 11 Th. 2007 Penghulu merupakan pejabat fungsional PNS (Pegawai Negeri Sipil) yang yang diberi tugas dan tanggung jawab, serta wewenang untuk melakukan pengawasan nikah/rujuk menurut agama Islam dan kegiatan kepenghuluan. Penghulu merupakan wakil PPN (dalam hal ini Kepala KUA Kecamatan) untuk melaksanakan tugas pegawasan pelaksanaan nikah dan rujuk di lapangan sehingga dapat menjalankan kewenangan PPN, yaitu: melakukan pemeriksaan persyaratan, pengawasan dan pencatatan peristiwa nikah/rujuk, pendaftaran cerai talak, cerai gugat, dan melakukan bimbingan pernikahan sesuai pasal 3 ayat (1) jo. Pasal 4 PMA No. 11 Th. 2007.

Tugas Pokok Penghulu
Berdasarkan Peraturan MENPAN Nomor: PER/62/M.PAN/6/2005, tugas pokok Penghulu adalah melakukan perencanaan kegiatan kepenghuluan, pengawasan pencatatan nikah/rujuk, pelaksanaan pelayanan nikah/rujuk, penasihatan dan konsultasi nikah/ rujuk, pemantauan pelanggaran ketentuan nikah/ rujuk, pelayanan fatwa hukum munakahat, dan bimbingan muamalah, pembinaan keluarga sakinah, serta pemantauan dan evaluasi kegiatan kepenghuluan dan pengembangan kepenghuluan.
Fungsi Penghulu
1.            Pelaksanaan pelayanan pencatatan nikah / rujuk bagi umat Islam.
2.            Pelaksanaan Nikah Wali Hakim *)
3.            Pengawasan kebenaran  peristiwa nikah / rujuk,
4.            Pembinaan hukum munakahat
5.            Pembinaan calon pengantin,
6.            Pembinaan keluarga sakinah.
Untuk wali hakim pada poin ke dua di atas penjelasannya adalah mendasarkan PMA RI No.30 Tahun 2005 tentang Wali Hakim, bahwa yang ditunjuk sebagai Wali Hakim ialah Kepala KUA Kecamatan setempat. Jika Kepala KUA yang bersangkutan berhalangan, Kepala Seksi Urusan Agama Islam atau Kepala Seksi yang sejenis atas nama Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/ Kota menunjuk salah satu Penghulu di KUA Kecamatan tersebut atau KUA Kecamatan terdekat sebagai Wali Hakim.

Menurut M Jasin selaku Inspektur Jendral kementrian Agama tugas KUA dan penghulu relatif banyak, “Bukan hanya melakukan pencatatan pernikahan tapi juga menyelenggarakan pencatatan pernikahan dan rujuk, mengurus dan membina masjid, zakat, haji termasuk memberikan manasik, wakaf, ibadah sosial, pengembangan keluarga sakinah, membina kerukunan umat beragama dan kependudukan sesuai kebijakan yang ditetapkan oleh Dirjen Bimas Islam.” Jadi sebenarnya ujung tombak ada di Kemenag," ungkapnya. 



 
DILEMA PENGHULU

Aksi mogok para penghulu di Indonesia untuk tidak menikahkan pasangan calon pengantin di luar Kantor Urusan Agama (KUA) memang berdampak sejumlah kegelisahan bagi masyarakat. Sebagai kebiasaan, mayoritas masyarakat Indonesia melangsumgkan akan nikah di rumah, di masjid, atau di gedung yang mereka sewa untuk acara walimatul ‘ursy.
Terimbas dari aksi mogok di atas, masyarakat tentunya kesulitan melangsungkan akad nikah sebagaimana adat yang berlaku selama ini. Para penghulu yang mogok itu dikarenakan khawatir terancam kasus gratifikasi, sebagaimana kasus yang menimpa Romli, meski mereka melayani masyarakat pada hari libur kerja.

Pukulan Keras
Menurut pengamat sosial, Sri Rejeki, S.Sos.I, M.Si, kebutuhan masyarakat yang tidak bisa dipenuhi itu jelas memunculkan berbagai masalah tersendiri. Mengingat acara akad nikah adalah acara yang sangat penting terutama bagi keluarga pengantin, maka aksi mogok para penghulu itu merupakan pukulan keras bagi masyarakat.
“Para penghulu yang sudah tidak melayani akad nikah di luar kantor itu jelas menimbulkan masalah baru bagi masyarakat. Adat yang berlaku dalam masyarakat secara tiba-tiba terhenti, ini jelas-jelas merupakan pukulan keras bagi masyarakat. Sulit sekali untuk merubah adat yang sudah turun-temurun ratusan tahun lamanya”, terang Sri.

Cari Aman
Secara hukum memang tidak masalah, apakah akad nikah dilangsungkan di KUA atau di luar KUA tetap sah selama terpenuhi syarat dan rukunnya. Oleh karena itu, pihak penghulu dalam hal ini tidak bisa disalahkan atas aksi mogoknya itu.
“Penghulu tidak bisa serta merta disalahkan, kalau dia melayani di luar kantor nanti bisa kena ancaman gratifikasi. Daripada beresiko lebih baik cari amannya saja, meskipun di sisi lain masyarakat merasa dirugikan atas mogoknya penghulu”, tutur Sri.

Harap Maklum
Dengan adanya kondisi yang demikian, masyarakat diharapkan bisa memaklumi dilema yang dihadapi kaum penghulu di Indonesia.
“Ibarat pepatah: Maju kena, mundur kena. Kalau maju kena gratifikasi, kalau mundur dibenci masyarakat. Berangkat dari kondisi ini, masyarakat harus ngerti dan memahami kenyataan dilema yang dirasakan penghulu”, pungkas Sri.


P: Hakim
R: Laput 8
 
AKSI PENGHULU BISA DIMAKLUMI

Terkait aksi mogoknya para penghulu di jajaran KUA dalam memberikan pelayanan pernikahan di luar kantor dan jam kerja, Kementerian Agama kantor Wilayah Jawa Tengah memahami dan memaklumi sikap tersebut sesuai dengan kewenangan pegawai KUA untuk menyetujui atau tidak melakukan pelayanan di luar kantor dan jam kerja.
Kepala Bidang Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah (Urais dan Binsyar) Kementrian Agama Jawa Tengah, Drs. H.A. Syaifulloh, M.Ag., mengatakan:
“Kami bisa memaklumi apa yang dilakukan para penghulu itu, karena jika tidak demikian, maka mereka bisa terkena kasus gratifikasi, sebagaimana ditegaskan KPK”, ujar  Syaifulloh (30/12/2013).

Berdasar Aturan
Aksi mogok para penghulu yang tidak seperti biasanya itu memang bukan tanpa dasar. Menurut Peraturan Menteri Agama (PMA) No. 11 tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah, pasal 21 ayat 2 disebutkan bahwa “Atas permintaan calon pengantin dan atas persetujuan PPN (Pegawai Pencatat Nikah), akad nikah dapat dilaksanakan di luar kantor”.
“Jadi, berdasarkan PMA No. 11 tahun 2007 Pasal 21 ayat 2, jika PPN tidak menyetujui berarti pelaksanaan akad nikah ya tetap di kantor KUA. Sebaliknya, kalau PPN setuju, baru bisa dilaksanakan di luar kantor. Namun saat ini, kelihatannya sulit dilakukan di luar kantor, karena itu semua butuh biaya operasional, sedangkan kantor tidak menyediakan uang transportasi yang memadai. Kalau nanti menerima uang (transportasi) dari pihak pengantin nanti bisa dituntut gratifikasi”, papar Syaifulloh.
“Memang kebanyakan masyarakat, sekitar 90%, lebih menginginkan pernikahan di rumah daripada di KUA, salah satu alasannya karena nikah di KUA itu agak berbau aib, karena yang biasanya nikah di KUA itu orang fakir miskin dan karena darurat (hamil duluan)”, imbuh Syaifulloh.

Solusi
Karena belum ada payung hukum yang jelas dan kuat bagi penghulu untuk memberikan pelayanan akah nikah di luar kantor tanpa adanya ancaman gratifikasi, maka pihak KUA masih dapat melayani masyarakat sebagaimana sebelumnya hingga akhir desember 2013.
“Untuk solusi sementara, kami masih melayani (akad nikah) di luar kantor hingga tanggal 31 Desember 2013. Kalau pada awal tahun 2014 kok payung hukumnya belum jelas atau belum keluar, maka dengan terpaksa kami tidak bisa melayani di luar kantor. Tetapi kalau sudah keluar aturan yang membolehkan, maka tidak ada masalah”, papar Syaifulloh.
“Kami masih menunggu aturan yang masih digodog oleh pemerintah pusat terkait pelayanan di luar kantor, yang direncanakan akan terbit awal januari 2014”, pungkas Syaifulloh.


Gratifikasi Dalam Islam

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti dari “gratifikasi” adalah uang hadiah kepada pegawai di luar gaji yang telah ditentukan. Menurut UU No.31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Penjelasan Pasal 12 b ayat (1), Gratifikasi adalah Pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.
Adapun dalam bahasa arab, suap atau sogok dikenal dengan  riswah , yang diartikan sebagai, "Apa-apa yang diberikan agar ditunaikan kepentingannya atau apa-apa yang diberikan untuk membenarkan yang salah atau menyalahkan yang benar". Dan dalam syariat islam, hal suap-menyuap ini ini sangat ditentang dan diancam dengan ancaman yang mengerikan, Rasulullah  SAW , beliau bersabda: "Allah melaknat orang yang memberi suap, dan yang menerima suap"  (HR. Ahmad)
Gratifikasi adalah apa yang diterima baik di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik. Ada beberapa contoh penerimaan gratifikasi, diantaranya yakni seorang pejabat negara menerima “uang terima kasih” dari pemenang lelang; Suami/Istri/anak pejabat memperoleh voucher belanja dan tiket tamasya ke luar negeri dari mitra bisnis istrinya/suaminya; termasuk juga yang disebutkan oleh KPK yaitu penerimaan Penghulu di luar gaji pada saat mencatatkan dan menikahkan mempelai, dan lain sebagainya.
Hukum Islam
Seperti halnya hadits yang telah disebutkan di atas, bahwa gratifikasi termasuk yang dilarang dalam Islam, berkenaan dengan ini Rasulullah SAW bersabda yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim: Abu Humaidi Assa'idy berkata, "Rasulullah SAW mengangkat seorang pejabat untuk menerima sedekah / zakat kemudian sesudah selesai, ia datang kepada Nabi SAW dan berkata," Ini untukmu (untuk Negara) dan yang ini (untukku sebagai) hadiah yang diberikan orang padaku. "Maka Nabi SAW bersabda kepadanya," Mengapa engkau tidak duduk saja di rumah ayah atau ibumu, apakah di beri hadiah atau tidak (oleh orang)? "Kemudian sesudah shalat, Nabi SAW berdiri, setelah tasyahud dan memuji Allah selayaknya, lalu bersabda. "Amma ba'du, mengapakah seorang pegawai yang diserahi amal, kemudian ia datang lalu berkata," Ini hasil untuk kamu dan ini aku berikan hadiah, mengapa ia tidak duduk saja di rumah ayah atau ibunya untuk menunggu apakah ia diberi hadiah atau tidak?.Demi Allah yang jiwa Muhammad di tangan-Nya tiada seorang yang menyembunyikan sesuatu (korupsi), melainkan ia akan menghadap di hari kiamat memikul di atas lehernya.”


 Jatuh dan Pulang Jam 12 Malam

Apa yang disampaikan oleh KPK atas penerimaan para naib setelah menikahkan mempelai saat kerja di luar jam kantor sebagai sebuah gratifikasi dinilai Menteri Agama Suryadharma Ali sebagai hal yang berlebihan. Karena menurut Suryadharma, bagi para penghulu di daerah terpencil begitu berat tanggungjawabnya.
Sama halnya dengan kisah pensiunan penghulu di daerah pegunungan Wonosobo, Jawa Tengah ini. Sedari awal bekerja di KUA sampai pensiun, Abu Sofyan selalu ditempatkan di Kecamatan-kecamatan pelosok. “Dari pertama bekerja saya sudah ditempatkan di Kecamatan pinggiran, Kec. Kejajar yang lereng pegunungan Dieng, lalu Kec. Wadaslintang yang berbatasan dengan Kab. Kebumen, selanjutnya dipindah di Kecamatan baru Sukoharjo yang berbatasan dengan Kab. Banjarnegara, lalu dipindah di Kec. Kalibawang yang berbatasan dengan dengan Kab. Purworejo, setelahnya kantor KUA Kec. Kertek. Pernah di kantor Depag namun hanya sebentar saja.” Jawab bapak 62 tahun ini.
Dalam setiap harinya, Abu mengaku merasa capai karena jarak tempuh yang begitu jauh dari tempat tinggalnya di jantung Kota Wonosobo. “Setiap pagi saya selalu berangkat lebih awal karena jarak tempuh yang begitu jauh. Untuk Kecamatan Sukoharjo saja bisa satu jam lebih untuk sampai kantor, sedangkan Kec. Kalibawang bisa mencapai 1,5 jam dan itupun harus melewati 4 wilayah Kecamatan. Itu belum ketika hendak menikahkan mempelai, karena untuk desa terpencil bisa mencapai kiloan meter agar bisa sampai, belum lagi medan jalan yang banyak rusaknya.” Ungkap pensiunan penghulu tahun 2007 ini.
Bagi Abu, menjadi penghulu di wilayah terpencil sangat berat tantangannya, dalam menghadapi medan perjalanan dan SDM orang-orangnya. “Pernah ketika saya di Kec. Sukoharjo jatuh dari sepeda motor dua kali karena jalanan berbatu terjal, bahkan pernah ketika jatuh tidak ada orang yang melintas sama sekali hingga sayapun merangkak sendirian karena wilayahnya yang jauh dari pemukiman dan hampir seperti hutan. Paska jatuh dari motor kaki saya melepuh terkena mesin, hingga akhirnya harus cuti satu minggu karena tidak memungkinkan untuk perjalanan kerja. Pernah juga saya menikahkan malam hari hingga pulang sampai rumah sekitar jam 12 malam. Tantangan yang saya hadapi itu belum seberapanya mas, bagi rekan-rekan penghulu yang ada di Kec. Wadaslintang bisa lebih berat lagi. Di sana ada satu desa namanya Kemejing yang jika hendak ke sana dari kantor KUA harus menyebrang dengan perahu sekitar 30 menit yang kadang harus berbarengan dengan hewan ternak, setelah mendarat masih harus berjalan kaki sekitar satu jam karena tidak ada ojek di sana.” Paparnya Abu dengan nafas yang kini telah terbata
Selain medan yang jelek, Abu mengaku tidak hanya itu saja tantangan yang harus dihadapi seorang penghulu di daerah pelosok. “Selain daerah pelosok yang kontur tanahnya perbukitan dan medan jalannya yang banyak parahnya, juga SDM masyarakatnya yang masih rendah. Karena ketika saya telat kelokasi pelaminan, kadang mereka kurang toleran juga khususnya pak Modinnya (Kesra Desa -red) yang kadang menyalahkan telatnya kedatangan saya, padahal jelas alasannya karena medan dan jarak tempuh yang jauh.” Timpalnya.
Dengan pengalaman tersebut Abu menolak jika pada hal yang telah di alami oleh penghulu seperti dirinya dianggap sebagai gratifikasi. “Sekarang siapa yang mau coba mas, untuk bekerja di luar jam dan hari kerja dengan medan yang luar biasa sulitnya, bahkan tanpa diberi ganti transport dari kantor.” Pungkas pria ramah senyum ini.


Dengan ini kita akan melihat sejauh mana keadilan pemerintah yang akan dituangkan dalam kebijakannya, tentunya dengan melihat juga kondisi di masyarakat riil seperti apa agar jelas pula payung hukumknya bagi penghulu dan masyarakat.

By: Alfin Hidayat El_mlipaki
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

Baris Iklan

BARIS IKLAN

BARIS IKLAN
Agen Tafsir Al Qur'an Al Ibriz Bahasa Jawa Tulisan Latin Semarang

Mengenai Saya

Foto saya
Semarang, Jawa Tengah, Indonesia
 
Support : Alfin | Alfin El-Mlipaki | Sciena Madani
Copyright © 2013. el_mlipaki - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Sciena Madani
Proudly powered by Wonder Ummi