Siapa yang
tak kenal KH. Hasyim Asy’ari. Di kalangan pada ulama dan santri Indonesia,
beliau dikenal sebagai Hadrat As Syaikh atau guru besar di lingkungan pesantren
(diatas tingkat gelar profesor guru besar di Universitas). Berdasarkan
keputusan Presiden No. 29/1964, beliau diakui sebagai seorang pahlawan
kemerdekaan nasional. Beliau dikenal sebagai penggagas berdirinya Nahdlatul
Ulama pada tahun 1926 M beserta para Kyai lainnya. Kyai kharismatik nan kesohor
inipun banyak menelurkan karya dan gerakan perjuangan yang luar biasa di masa
penjajahan Belanda dan Jepang. Seperti apa kisahnya, berikut penjabarannya.
Biografi Singkat
KH. Hasyim
Asy’ari lahir pada 24 Dzulqa`dah 1287 H atau 14 Februari 1871 M
di
Desa Nggedang, Jombang, Jawa Timur. Ia anak ketiga dari 10 bersaudara
pasangan Kiai Asy`ari bin Kiai Usman dari Desa Tingkir dan Halimah binti Usman.
Ia
lahir dari kalangan elite santri. Ayahnya pendiri Pesantren Keras. Kakek dari
pihak ayah, Kiai Usman, pendiri Pesantren Gedang. Buyutnya dari pihak ayah,
Kiai Sihah, pendiri Pesantren Tambakberas. Semuanya pesantren itu berada di
Jombang.
Riwayat Keluarga
KH. Hasyim Asy’ari adalah
putra ketiga dari 11 bersaudara. Ayahnya bernama Kyai Asyari, pemimpin
Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Ibunya bernama Halimah.
Dari garis ibu, Kyai Hasyim merupakan keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir
(Sultan Pajang). Kyai Hasyim adalah putra ketiga dari 11 bersaudara. Keluarga Kyai
Hasyim adalah keluarga Kyai, kakeknya, Kyai Utsman memimpin Pesantren Nggedang,
sebelah utara Jombang. Sedangkan ayahnya sendiri, Kyai Asy’ari, memimpin
Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Dua orang inilah yang
menanamkan nilai dan dasar-dasar Islam secara kokoh kepada Hasyim.
Silsilah Nasab
Merunut
kepada silsilah beliau, melalui Sunan Giri (Raden Ainul Yaqin) KH. Hasyim
Asy’ari memiliki garis keturunan sampai dengan Rasulullah dengan urutan
lanjutan sebagai berikut:
Sunan Giri (Raden Ainul Yaqin)
Abdurrohman / Jaka Tingkir (Sultan Pajang)
Abdul Halim (Pangeran Benawa)
Abdurrohman (Pangeran Samhud Bagda)
Abdul Halim
Abdul Wahid
Abu Sarwan
KH. Asy’ari (Jombang)
KH. Hasyim Asy’ari (Jombang)
Menurut
catatan nasab Sa’adah BaAlawi Hadramaut, silsilah dari Sunan Giri (Raden Ainul
Yaqin) merupakan keturunan Rasulullah SAW, yaitu sebagai berikut:
Husain bin Ali
Ali Zainal Abidin
Muhammad al-Baqir
Ja’far ash-Shadiq
Ali al-Uraidhi
Muhammad an-Naqib
Isa ar-Rumi
Ahmad al-Muhajir
Ubaidullah
Alwi Awwal
Muhammad Sahibus Saumiah
Alwi ats-Tsani
Ali Khali’ Qasam
Muhammad Shahib Mirbath
Alwi Ammi al-Faqih
Abdul Malik (Ahmad Khan)
Abdullah (al-Azhamat) Khan
Ahmad Syah Jalal (Jalaluddin Khan)
Jamaluddin Akbar al-Husaini (Maulana Akbar)
Maulana Ishaq
dan ‘Ainul Yaqin (Sunan Giri)
Sejak
anak-anak, bakat kepemimpinan dan kecerdasan Hasyim memang sudah nampak. Di
antara teman sepermainannya, ia kerap tampil sebagai pemimpin. Dalam usia 13
tahun, ia sudah membantu ayahnya mengajar santri-santri yang lebih besar
ketimbang dirinya. Usia 15 tahun Hasyim meninggalkan kedua orang tuanya,
berkelana memperdalam ilmu dari satu pesantren ke pesantren lain. Mula-mula ia
menjadi santri di Pesantren Wonokoyo, Probolinggo. Kemudian pindah ke Pesantren
PP Langitan, Widang, Tuban. Pindah lagi Pesantren Trenggilis, Semarang. Belum
puas dengan berbagai ilmu yang dikecapnya, ia melanjutkan di Pesantren
Kademangan, Bangkalan di bawah asuhan KH. Kholil Bangkalan.
KH.
Hasyim Asyari belajar dasar-dasar agama dari ayah dan kakeknya, Kyai Utsman
yang juga pemimpin Pesantren Nggedang di Jombang. Sejak usia 15 tahun, beliau
berkelana menimba ilmu di berbagai pesantren, antara lain Pesantren Wonokoyo di
Probolinggo, Pesantren Langitan di Tuban, Pesantren Trenggilis di Semarang,
Pesantren Kademangan di Bangkalan dan Pesantren Siwalan di Sidoarjo.
Tak
lama di sini, Hasyim pindah lagi di Pesantren Siwalan, Sidoarjo. Di pesantren
yang diasuh Kyai Ya’qub inilah, agaknya, Hasyim merasa benar-benar menemukan
sumber Islam yang diinginkan. Kyai Ya’qub dikenal sebagai ulama yang
berpandangan luas dan alim dalam ilmu agama. Cukup lama –lima tahun– Hasyim
menyerap ilmu di Pesantren Siwalan. Dan rupanya Kyai Ya’qub sendiri kesengsem
berat kepada pemuda yang cerdas dan alim itu. Maka, Hasyim bukan saja mendapat
ilmu, melainkan juga istri. Ia, yang baru berumur 21 tahun, dinikahkan dengan
Chadidjah, salah satu puteri Kyai Ya’qub. Tidak lama setelah menikah, Hasyim
bersama istrinya berangkat ke Mekkah guna menunaikan ibadah haji. Tujuh bulan
di sana, Hasyim kembali ke tanah air, sesudah istri dan anaknya meninggal.
Tahun
1893, ia berangkat lagi ke Tanah Suci. Sejak itulah ia menetap di Mekkah selama
7 tahun dan berguru pada Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau, Syaikh Mahfudz
At-Tarmasi, Syaikh Ahmad Amin Al Aththar, Syaikh Ibrahim Arab, Syaikh Said
Yamani, Syaikh Rahmaullah, Syaikh Sholeh Bafadlal, Sayyid Abbas Maliki, Sayyid
Alwi bin Ahmad As Saqqaf, dan Sayyid Husein Al Habsyi. Tahun l899 pulang ke
Tanah Air, Hasyim mengajar di pesanten milik kakeknya, Kyai Usman. Tak lama
kemudian ia mendirikan Pesantren Tebuireng, Jombang. Kyai Hasyim bukan saja
Kyai ternama, melainkan juga seorang petani dan pedagang yang sukses. Tanahnya
puluhan hektar. Dua hari dalam seminggu, biasanya Kyai Hasyim istirahat tidak
mengajar. Saat itulah ia memeriksa sawah-sawahnya. Kadang juga pergi Surabaya
berdagang kuda, besi dan menjual hasil pertaniannya. Dari bertani dan berdagang
itulah, Kyai Hasyim menghidupi keluarga dan pesantrennya.
Silsilah Keilmuan
KH. Muhammad Saleh Darat, Semarang
KH. Kholil Bangkalan
Kyai Ya’qub, Sidoarjo
Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau
Syaikh Mahfudz At-Tarmasi
Syaikh Ahmad Amin Al Aththar
Syaikh Ibrahim Arab
Syaikh Said Yamani
Syaikh Rahmaullah
Syaikh Sholeh Bafadlal
Sayyid Abbas Al Maliki
Sayyid Alwi bin Ahmad As Segaf
Sayyid Husain Al Habsyi
Sayyid Sulthan Hasyim al-Daghistani
Sayyid Abdullah al-Zawawi
Sayyid Ahmad bin Hasan al-Atthas
Sayyid Abu Bakar Syatha al-Dimyathi
Memperoleh ijazah dari Habib Abdullah bin Ali
Al Haddad
Penerus Beliau (Murid)
:
Ribuan
santri menimba ilmu kepada Kyai Hasyim dan setelah lulus dari pesantren
Tebuireng, Jombang, tak sedikit di antara santri Kyai Hasyim kemudian tampil
sebagai tokoh dan ulama kondang dan berpengaruh luas, antara lain:
KH. Abdul Wahab Hasbullah, Pesantren Tambak
Beras, Jombang
KH. Bisri Syansuri, Pesantren Denanyar, Jombang
KH. R As’ad Syamsul Arifin
KH. Wahid Hasyim (anaknya)
KH. Achmad Shiddiq
Syekh Sa’dullah al-Maimani (mufti di Bombay,
India)
Syekh Umar Hamdan (ahli hadis di Makkah)
Al-Syihab Ahmad ibn Abdullah (Syiria)
KH. R Asnawi (Kudus)
KH. Dahlan (Kudus)
KH. Shaleh (Tayu)
Setelah
belajar 8 tahun dan umurnya telah genap 21 tahun, tepatnya tahun 1891, diambil
menantu oleh Kiai Ya`kub, pemimpin Pesantren Siwalan Panji. Ia dinikahkan
dengan Khadijah.
Namun
dua tahun kemudian 1893, saat pasangan ini tengah berada di Makkah, Khadijah
meninggal di sana ketika melahirkan Abdullah. Dua bulan kemudian Abdullah pun
menyusul ibunya. Kala itu Hasyim tengah belajar dan bermukim di tanah Hijaz.
Tahun
itu juga, Hasyim pulang ke tanah air. Namun tak lama kemudian, ia kembali ke
Makkah bersama adiknya Anis untuk belajar. Tapi si adik juga meninggal di sana.
Namun hal itu tidak menyurutkan langkahnya untuk belajar.
Tahun
1900, ia pulang kampung dan mengajar di pesantren ayahnya. Tiga tahun
kemudian, 1903, ia mengajar di Pesantren Kemuring, Kediri, sampai 1906, di
tempat mertuanya, Kiai Romli, yang telah menikahkan dirinya dengan putrinya,
Nafisah.
Selama
di Makkah ia belajar kepada Syaikh Mahfudz dari Termas (w. 1920), ulama
Indonesia pertama pakar ilmu hadits yang mengajar kitab hadits Shahih
Al-Bukhari di Makkah. Ilmu hadits inilah yang kemudian menjadi spesialisasi
Pesantren Tebuireng, yang kelak didirikannya di Jombang sepulangnya dari Tanah
Suci.
Selama
hidupnya, K.H. Hasyim menikah tujuh kali. Selain dengan Khadijah dan Nafisah,
antara lain ia juga menikahi Nafiqah dari Siwalan Panji, Masrurah dari Pesantren
Kapurejo Kediri.
Tahun
1899, 12 Rabi’ul Awwal 1317, ia mendirikan Pesantren Tebuireng. Lewat pesantren
inilah K.H. Hasyim melancarkan pembaharuan sistem pendidikan keagamaan Islam
tradisional, yaitu sistem musyawarah, sehingga para santri menjadi kreatif. Ia
juga memperkenalkan pengetahuan umum dalam kurikulum pesantren, seperti Bahasa
Melayu, Matematika, dan Ilmu Bumi. Bahkan sejak 1926 ditambah dengan Bahasa
Belanda dan Sejarah Indonesia.
Kyai
Cholil Bangkalan, gurunya, yang juga dianggap sebagai pemimpin spiritual para
kiai Jawa, pun sangat menghormati dirinya. Dan setelah Kiai Cholil wafat, K.H.
Hasyim-lah yang dianggap sebagai pemimpin spiritual para kiai.
Menghadapi
penjajah Belanda, K.H. Hasyim menjalankan politik non-kooperatif. Banyak
fatwanya yang menolak kebijakan pemerintah kolonial. Fatwa yang paling
spektakuler adalah fatwa jihad, yaitu, “Wajib hukumnya bagi umat Islam
Indonesia berperang melawan Belanda.” Fatwa ini dikeluarkan menjelang
meletusnya Peristiwa 10 November di Surabaya.
Dalam
paham keagamaan, pikiran yang paling mendasar Hasyim adalah pembelaannya
terhadap cara beragama dengan sistem madzhab. Paham bermadzhab timbul sebagai
upaya untuk memahami ajaran Al-Quran dan sunnah secara benar. Pandangan ini
erat kaitannya dengan sikap beragama mayoritas muslim yang selama ini disebut
Ahlussunnah wal Jama’ah.
Menurut
Hasyim, umat Islam boleh mempelajari selain keempat madzhab yang ada. Namun
persoalannya, madzhab yang lain itu tidak banyak memiliki literatur, sehingga
mata rantai pemikirannya terputus. Maka, tidak mungkin bisa memahami maksud
yang dikandung Al-Quran dan hadits tanpa mempelajari pendapat para ulama besar
yang disebut imam madzhab.
NU
didirikan antara lain untuk mempertahankan paham bermadzhab, yang ketika itu
mendapat serangan gencar dari kalangan yang anti-madzhab.
Wafatnya Sang Tokoh
Pada
Tanggal 7 Ramadhan 1366 M. jam 9 malam, beliau setelah mengimami Shalat
Tarawih, sebagaimana biasanya duduk di kursi untuk memberikan pengajian kepada
ibu-ibu muslimat. Tak lama kemudian, tiba-tiba datanglah seorang tamu utusan
Jenderal Sudirman dan Bung Tomo. Sang Kiai menemui utusan tersebut dengan
didampingi Kiai Ghufron, kemudian tamu itu menyampaikan pesan berupa surat.
Entah apa isi surat itu, yang jelas Kiai Hasyim meminta waktu semalam untuk
berfikir dan jawabannya akan diberikan keesokan harinya.
Namun
kemudian, Kiai Ghufron melaporkan situasi pertempuran dan kondisi pejuang yang
semakin tersudut, serta korban rakyat sipil yang kian meningkat. Mendengar
laporan itu, Kiai Hasyim berkata, “Masya Allah, Masya Allah…”kemudian
beliau memegang kepalanya dan ditafsirkan oleh Kiai Ghufron bahwa beliau sedang
mengantuk. Sehingga para tamu pamit keluar. Akan tetapi, beliau tidak menjawab,
sehingga Kiai Ghufron mendekat dan kemudian meminta kedua tamu tersebut untuk
meninggalkan tempat, sedangkan dia sendiri tetap berada di samping Kiai Hasyim
Asy’ari. Tak lama kemudian, Kiai Ghufron baru menyadari bahwa Kiai Hasiyim
tidak sadarkan diri. Sehingga dengan tergopoh-gopoh, ia memanggil keluarga dan
membujurkan tubuh Kiai Hasyim. Pada saat itu, putra-putri beliau tidak berada
di tempat, misalnya Kiai Yusuf Hasyim yang pada saat itu sedang berada di
markas tentara pejuang, walaupun kemudian dapat hadir dan dokter didatangkan
(Dokter Angka Nitisastro).
Tak
lama kemudian baru diketahui bahwa Kiai Hasyim terkena pendarahan otak.
Walaupun dokter telah berusaha mengurangi penyakitnya, namun Tuhan berkehendak
lain pada kekasihnya itu. KH.M. Hasyim Asy’ari wafat pada pukul 03.00 pagi,
Tanggal 25 Juli 1947, bertepatan dengan Tanggal 07 Ramadhan 1366 H. Inna
LiLlahi wa Inna Ilaihi Raji’un.
Kepergian
belaiu ketempat peristirahatan terakhir, diantarkan bela sungkawa yang amat
dalam dari hampir seluruh lapisan masyarakat, terutama dari para pejabat sipil
maupun militer, kawan seperjuangan, para ulama, warga NU, dan khususnya para santri
Tebuireng. Umat Islam telah kehilangan pemimpin besarnya yang kini berbaring di
pusara beliau di tenggah Pesantrn Tebuireng. Pada saat mengantar kepergianya,
shahabat dan saudara beliau, KH. Wahab hazbulloh, sempat mengemukakan kata
sambutan yang pada intinya menjelaskan prinsip hidup belaiu, yakni, “berjuang
terus dengan tiada mengenal surut, dan kalau perlu zonder istirahat”.
Jasa dan Karya Beliau !
Jasa Bagi Ahlussunnah wal Jamaah:
Komite Hijaz, sebagai Benteng Islam Tradisional
Sejarah Nahdlatul Ulama dan Kebangsaan serta Komite Hijaz
Kemampuannya
dalam ilmu hadits, diwarisi dari gurunya, Syaikh Mahfudz At-Tarmasi di Mekkah.
Selama 7 tahun Kyai Hasyim berguru kepada Syaikh ternama asal Pacitan, Jawa
Timur itu. Disamping Syaikh Mahfudh, Kyai Hasyim juga menimba ilmu kepada
Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau. Kepada dua guru besar itu pulalah Kyai Ahmad
Dahlan, pendiri Muhammadiyah, berguru. Jadi, antara KH Hasyim Asy’ari dan KH
Ahmad Dahlan sebenarnya tunggal guru.
Yang
perlu ditekankan, saat Kyai Hasyim belajar di Mekkah, Muhammad Abduh sedang
giat-giatnya melancarkan gerakan pembaharuan pemikiran Islam. Dan sebagaimana
diketahui, buah pikiran Abduh itu sangat mempengaruhi proses perjalanan ummat
Islam selanjutnya. Sebagaimana telah dikupas Deliar Noer, ide-ide reformasi
Islam yang dianjurkan oleh Abduh yang dilancarkan dari Mesir, telah menarik
perhatian santri-santri Indonesia yang sedang belajar di Mekkah. Termasuk Kyai Hasyim
tentu saja. Ide reformasi Abduh itu ialah pertama mengajak ummat Islam untuk
memurnikan kembali Islam dari pengaruh dan praktek keagamaan yang sebenarnya
bukan berasal dari Islam. Kedua, reformasi pendidikan Islam di tingkat
universitas; dan ketiga, mengkaji dan merumuskan kembali doktrin Islam untuk
disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan kehidupan modern; dan keempat,
mempertahankan Islam. Usaha Abduh merumuskan doktrin-doktrin Islam untuk
memenuhi kebutuhan kehidupan modern pertama dimaksudkan agar supaya Islam dapat
memainkan kembali tanggung jawab yang lebih besar dalam lapangan sosial,
politik dan pendidikan.
Dengan
alasan inilah Abduh melancarkan ide agar ummat Islam melepaskan diri dari
keterikatan mereka kepada pola pikiran para mazhab dan agar ummat Islam
meninggalkan segala bentuk praktek tarekat. Syaikh Ahmad Khatib mendukung
beberapa pemikiran Abduh, walaupun ia berbeda dalam beberapa hal. Beberapa
santri Syaikh Khatib ketika kembali ke Indonesia ada yang mengembangkan ide-ide
Abduh itu. Di antaranya adalah KH. Ahmad Dahlan yang kemudian mendirikan
Muhammadiyah. Tidak demikian dengan Kyai Hasyim. Ia sebenarnya juga menerima
ide-ide Abduh untuk menyemangatkan kembali Islam, tetapi ia menolak pikiran
Abduh agar ummat Islam melepaskan diri dari keterikatan mazhab. Ia berkeyakinan
bahwa adalah tidak mungkin untuk memahami maksud yang sebenarnya dari
ajaran-ajaran Al Qur’an dan Hadist tanpa mempelajari pendapat-pendapat para
ulama besar yang tergabung dalam sistem mazhab. Untuk menafsirkan Al Qur’an dan
Hadist tanpa mempelajari dan meneliti buku-buku para ulama mazhab hanya akan
menghasilkan pemutarbalikan saja dari ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya,
demikian tulis Zamakahsari Dhofier.
Dalam
hal tarekat, Kyai Hasyim tidak
menganggap bahwa semua bentuk praktek keagamaan waktu itu salah dan
bertentangan dengan ajaran Islam. Hanya, ia berpesan agar ummat Islam
berhati-hati bila memasuki kehidupan tarekat. Dalam perkembangannya, benturan
pendapat antara golongan bermazhab yang diwakili kalangan pesantren (sering
disebut kelompok tradisional), dengan yang tidak bermazhab (diwakili
Muhammadiyah dan Persis, sering disebut kelompok modernis) itu memang kerap
tidak terelakkan. Puncaknya adalah saat Konggres Al Islam IV yang
diselenggarakan di Bandung. Konggres itu diadakan dalam rangka mencari masukan
dari berbagai kelompok ummat Islam, untuk dibawa ke Konggres Ummat Islam di
Mekkah.
Karena
aspirasi golongan tradisional tidak tertampung (di antaranya: tradisi bermazhab
agar tetap diberi kebebasan, terpeliharanya tempat-tempat penting, mulai makam
Rasulullah sampai para sahabat) kelompok ini kemudian membentuk Komite Hijaz.
Komite yang dipelopori KH. Abdul Wahab Hasbullah ini bertugas menyampaikan
aspirasi kelompok tradisional kepada penguasa Arab Saudi. Atas restu Kyai
Hasyim, Komite inilah yang pada 31 Februari l926 menjelma jadi Nahdlatul Ulama
(NU) yang artinya kebangkitan ulama.
Setelah
NU berdiri posisi kelompok tradisional kian kuat. Terbukti, pada 1937 ketika
beberapa ormas Islam membentuk badan federasi partai dan perhimpunan Islam
Indonesia yang terkenal dengan sebuta MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia) Kyai
Hasyim diminta jadi ketuanya. Ia juga pernah memimpin Masyumi, partai politik
Islam terbesar yang pernah ada di Indonesia.
Penjajahan
panjang yang mengungkung bangsa Indonesia, menggugah kesadaran kaum terpelajar
untuk memperjuangkan martabat bangsa, melalui jalan pendidikan dan organisasi.
Pada tahun 1908 muncul sebuah gerakan yang kini disebut Gerakan Kebangkitan
Nasional. Semangat Kebangkitan Nasional terus menyebar ke mana-mana, sehingga
muncullah berbagai organisai pendidikan, sosial, dan keagamaan, diantaranya
Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) tahun 1916, dan Taswirul Afkar tahun
1918 (dikenal juga dengan Nahdlatul Fikri atau Kebangkitan Pemikiran). Dari
situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar (Pergerakan Kaum Saudagar). Serikat
itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat.
Dengan
adanya Nahdlatul Tujjar, maka Taswirul Afkar tampil sebagi kelompok studi serta
lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa
kota. Tokoh utama dibalik pendirian tafwirul afkar adalah, KH. Abdul Wahab
Hasbullah (tokoh muda pengasuh PP. Bahrul Ulum Tambakberas), yang juga murid Hadratus
Syaikh. Kelompok ini lahir sebagai bentuk kepedulian para ulama terhadap
tantangan zaman di kala itu, baik dalam masalah keagamaan, pendidikan, sosial,
dan politik.
Pada
masa itu, Raja Saudi Arabia, Ibnu Saud, berencana menjadikan madzhab
Salafi-Wahabi sebagai madzhab resmi Negara. Dia juga berencana menghancurkan
semua peninggalan sejarah Islam yang selama ini banyak diziarahi kaum Muslimin,
karena dianggap bid’ah.
Di
Indonesia, rencana tersebut mendapat sambutan hangat kalangan modernis seperti
Muhammadiyah di bawah pimpinan Ahmad Dahlan, maupun PSII di bahwah pimpinan
H.O.S. Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan pesantren yang menghormati
keberagaman, menolak dengan alasan itu adalah pembatasan madzhab dan
penghancuran warisan peradaban itu. Akibatnya, kalangan pesantren dikeluarkan
dari keanggotaan Kongres Al Islam serta tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam
Mu’tamar ‘Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekah, yang akan
mengesahkan keputusan tersebut.
Didorong
oleh semangat untuk menciptakan kebebasan bermadzhab serta rasa kepedulian
terhadap pelestarian warisan peradaban, maka Kyai Hasyim bersama para pengasuh
pesantren lainnya, membuat delegasi yang dinamai Komite Hijaz. Komite yang
diketuai KH Abdul Wahab Hasbullah ini datang ke Saudi Arabia dan meminta Raja
Ibnu Saud untuk mengurungkan niatnya. Pada saat yang hampir bersamaan, datang
pula tantangan dari berbagai penjuru dunia atas rencana Ibnu Saud, sehingga
rencana tersebut digagalkan. Hasilnya, hingga saat ini umat Islam bebas
melaksanakan ibadah di Mekah sesuai dengan madzhab masing-masing. Itulah peran
internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan
kebebasan bermadzhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah serta
peradaban yang sangat berharga.
Mendirikan Nahdlatul Ulama
Tahun
1924, kelompok diskusi Taswirul Afkar ingin mengembangkan sayapnya dengan
mendirikan sebuah organisasi yang ruang lingkupnya lebih besar. Hadratus Syaikh
KH. Hasyim Asy’ari yang dimintai persetujuannya, meminta waktu untuk
mengerjakan salat istikharah, menohon petunjuk dari Allah.
Dinanti-nanti
sekian lama, petunjuk itu belum datang juga. Kyai Hasyim sangat gelisah. Dalam
hati kecilnya ingin berjumpa dengan gurunya, KH Kholil bin Abdul Latif,
Bangkalan.
Sementara
nun jauh di Bangkalan sana, Kyai Khalil telah mengetahui apa yang dialami Kyai
Hasyim. Kyai Kholil lalu mengutus salah satu orang santrinya yang bernama As’ad
Syamsul Arifin (kelak KH. R As’ad Syamsul Arifin menjadi pengasuh PP. Salafiyah
Syafiiyah Situbondo), untuk menyampaikan sebuah tasbih kepada Kyai Hasyim di
Tebuireng. Pemuda As’ad juga dipesani agar setiba di Tebuireng membacakan surat
Thaha ayat 23 kepada Kyai Hasyim.
Ketika
Kyai Hasyim menerima kedatangan As’ad, dan mendengar ayat tersebut, hatinya
langsung bergentar. ”Keinginanku untuk membentuk jamiyah agaknya akan
tercapai,” ujarnya lirih sambil meneteskan airmata.
Waktu
terus berjalan, akan tetapi pendirian organisasi itu belum juga terealisasi.
Agaknya Kyai Hasyim masih menunggu kemantapan hati.
Satu
tahun kemudian (1925), pemuda As’ad kembali datang menemui Hadratus Syaikh.
”Kyai, saya diutus oleh Kyai Kholil untuk menyampaikan tasbih ini,” ujar pemuda
Asad sambil menunjukkan tasbih yang dikalungkan Kyai Kholil di lehernya. Tangan
As’ad belum pernah menyentuh tasbih sersebut, meskipun perjalanan antara
Bangkalan menuju Tebuireng sangatlah jauh dan banyak rintangan. Bahkan ia rela
tidak mandi selama dalam perjalanan, sebab khawatir tangannya menyentuh tasbih.
Ia memiliki prinsip, ”kalung ini yang menaruh adalah Kyai, maka yang boleh
melepasnya juga harus Kyai”. Inilah salah satu sikap ketaatan santri kepada sang
guru.
”Kyai
Kholil juga meminta untuk mengamalkan wirid Ya Jabbar, Ya Qahhar setiap waktu,”
tambah As’ad.
Kehadiran
As’ad yang kedua ini membuat hati Kyai Hasyim semakin mantap. Hadratus Syaikh
menangkap isyarat bahwa gurunya tidak keberatan jika ia bersama kawan-kawannya
mendirikan organisai/jam’iyah. Inilah jawaban yang dinanti-nantinya melalui
salat istikharah.
Sayangnya,
sebelum keinginan itu terwujud, Kyai Kholil sudah meninggal dunia terlebih
dahulu.
Pada
tanggal 16 Rajab 1344 H/31 Januari 1926M, organisasi tersebut secara resmi
didirikan, dengan nama Nahdhatul Ulama’, yang artinya kebangkitan ulama. Kyai
Hasyim dipercaya sebagai Rais Akbar pertama. Kelak, jam’iyah ini menjadi
organisasi dengan anggota terbesar di Indonesia, bahkan di Asia.
Sebagaimana
diketahui, saat itu (bahkan hingga kini) dalam dunia Islam terdapat
pertentangan faham, antara faham pembaharuan yang dilancarkan Muhammad Abduh
dari Mesir dengan faham bermadzhab yang menerima praktek tarekat. Ide reformasi
Muhammad Abduh antara lain bertujuan memurnikan kembali ajaran Islam dari
pengaruh dan praktek keagamaan yang bukan berasal dari Islam, mereformasi pendidikan
Islam di tingkat universitas, dan mengkaji serta merumuskan kembali doktrin
Islam untuk disesuaikan dengan kebutuhan kehidupan modern. Dengan ini Abduh
melancarakan ide agar umat Islam terlepas dari pola pemikiran madzhab dan
meninggalkan segala bentuk praktek tarekat.
Semangat
Abduh juga mempengaruhi masyarakat Indonesia, kebanyakan di kawasan Sumatera
yang dibawa oleh para mahasiswa yang belajar di Mekkah. Sedangkan di Jawa
dipelopori oleh KH. Ahmad Dahlan melalui organisasi Muhammadiyah (berdiri tahun
1912).
Kyai
Hasyim pada prinsipnya menerima ide Muhammad Abduh untuk membangkitkan kembali
ajaran Islam, akan tetapi menolak melepaskan diri dari keterikatan madzhab.
Sebab dalam pandangannya, umat Islam sangat sulit memahami maksud Al Quran atau
Hadits tanpa mempelajari kitab-kitab para ulama madzhab. Pemikiran yang tegas
dari Kyai Hasyim ini memperoleh dukungan para Kyai di seluruh tanah Jawa dan
Madura. Kyai Hasyim yang saat itu menjadi ”kiblat” para Kyai, berhasil
menyatukan mereka melalui pendirian Nahdlatul Ulama’ ini.
Pada
saat pendirian organisasi pergerakan kebangsaan membentuk Majelis Islam ‘Ala
Indonesia (MIAI), Kyai Hasyim dengan putranya KH Wahid Hasyim, diangkat sebagai
pimpinannya (periode tahun 1937-1942).
Mendirikan Pesantren Tebuireng
Tahun
1899, Kyai Hasyim membeli sebidang tanah dari seorang dalang di Dukuh
Tebuireng. Letaknya kira-kira 200 meter sebelah Barat Pabrik Gula Cukir, pabrik
yang telah berdiri sejak tahun 1870. Dukuh Tebuireng terletak di arah timur
Desa Keras, kurang lebih 1 km. Di sana beliau membangun sebuah bangunan yang
terbuat dari bambu (Jawa: tratak) sebagai tempat tinggal.
Dari
tratak kecil inilah embrio Pesantren Tebuireng dimulai. Kyai Hasyim mengajar
dan salat berjamaah di tratak bagian depan, sedangkan tratak bagian belakang
dijadikan tempat tinggal. Saat itu santrinya berjumlah 8 orang, dan tiga bulan
kemudian meningkat menjadi 28 orang.
Setelah
dua tahun membangun pesantren Tebuireng, Jombang, Kyai Hasyim kembali harus
kehilangan istri tercintanya, Nyai Khodijah. Saat itu perjuangan mereka sudah
menampakkan hasil yang menggembirakan.
Kyai
Hasyim kemudian menikah kembali dengan Nyai Nafiqoh, putri Kyai Ilyas, pengasuh
Pesantren Sewulan Madiun. Dari pernikahan ini Kyai Hasyim dikaruniai 10 anak,
yaitu: (1) Hannah, (2) Khoiriyah, (3) Aisyah, (4) Azzah, (5) Abdul Wahid, (6)
Abdul Hakim (Abdul Kholik), (7) Abdul Karim, (8) Ubaidillah, (9) Mashuroh, (10)
Muhammad Yusuf.
Pada
akhir dekade 1920an, Nyai Nafiqoh wafat sehingga Kyai Hasyim menikah kembali
dengan Nyai Masruroh, putri Kyai Hasan, pengasuh Pondok Pesantren Kapurejo,
Pagu, Kediri. Dari pernikahan ini, Kyai Hasyim dikarunia 4 orang putra-putri,
yaitu: (1) Abdul Qodir, (2) Fatimah, (3) Khotijah, (4) Muhammad Ya’kub.
Jasa Bagi Indonesia (Resolusi
Jihad)
Peran Beliau dalam Kemerdekaan Indonesia
Perjuangan
dan Penjajahan Karena pengaruhnya yang demikian kuat itu, keberadaan Kyai
Hasyim menjadi perhatian serius penjajah. Baik Belanda maupun Jepang berusaha
untuk merangkulnya. Di antaranya ia pernah dianugerahi bintang jasa pada tahun
1937, tapi ditolaknya. Justru Kyai Hasyim sempat membuat Belanda kelimpungan.
Pertama, ia memfatwakan bahwa perang melawan Belanda adalah jihad (perang
suci). Belanda kemudian sangat kerepotan, karena perlawanan gigih melawan
penjajah muncul di mana-mana. Kedua, Kyai Hasyim juga pernah mengharamkan naik
haji memakai kapal Belanda. Fatwa tersebut ditulis dalam bahasa Arab dan
disiarkan oleh Kementerian Agama secara luas. Keruan saja, Van der Plas
(penguasa Belanda) menjadi bingung. Karena banyak ummat Islam yang telah
mendaftarkan diri kemudian mengurungkan niatnya.
Namun
sempat juga Kyai Hasyim mencicipi penjara 3 bulan pada l942. Tidak jelas alasan
Jepang menangkap Kyai Hasyim. Mungkin, karena sikapnya tidak kooperatif dengan
penjajah. Uniknya, saking khidmatnya kepada gurunya, ada beberapa santri minta
ikut dipenjarakan bersama Kyainya itu.
Masa
awal perjuangan Kyai Hasyim di Tebuireng bersamaan dengan semakin represifnya
perlakuan penjajah Belanda terhadap rakyat Indonesia. Pasukan Kompeni ini tidak
segan-segan membunuh penduduk yang dianggap menentang undang-undang penjajah.
Pesantren Tebuireng, Jombang pun tak luput dari sasaran represif Belanda.
Pada
tahun 1913 M., intel Belanda mengirim seorang pencuri untuk membuat keonaran di
Tebuireng. Namun dia tertangkap dan dihajar beramai-ramai oleh santri hingga
tewas. Peristiwa ini dimanfaatkan oleh Belanda untuk menangkap Kyai Hasyim
dengan tuduhan pembunuhan.
Dalam
pemeriksaan, Kyai Hasyim yang sangat piawai dengan hukum-hukum Belanda, mampu
menepis semua tuduhan tersebut dengan taktis. Akhirnya beliau dilepaskan dari
jeratan hukum.
Belum
puas dengan cara adu domba, Belanda kemudian mengirimkan beberapa kompi pasukan
untuk memporak-porandakan pesantren yang baru berdiri 10-an tahun itu. Akibatnya,
hampir seluruh bangunan pesantren porak-poranda, dan kitab-kitab dihancurkan
serta dibakar. Perlakuan represif Belanda ini terus berlangsung hingga
masa-masa revolusi fisik Tahun 1940an.
Pada
bulan Maret 1942, Pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada Jepang di Kalijati,
dekat Bandung, sehingga secara de facto dan de jure, kekuasaan Indonesia
berpindah tangan ke tentara Jepang. Pendudukan Dai Nippon menandai datangnya
masa baru bagi kalangan Islam. Berbeda dengan Belanda yang represif kepada
Islam, Jepang menggabungkan antara kebijakan represi dan kooptasi, sebagai
upaya untuk memperoleh dukungan para pemimpin Muslim.
Salah
satu perlakuan represif Jepang adalah penahanan terhadap Hadratus Syaikh
beserta sejumlah putera dan kerabatnya. Ini dilakukan karena Kyai Hasyim
menolak melakukan seikerei. Yaitu kewajiban berbaris dan membungkukkan badan ke
arah Tokyo setiap pukul 07.00 pagi, sebagai simbol penghormatan kepada Kaisar
Hirohito dan ketaatan kepada Dewa Matahari (Amaterasu Omikami). Aktivitas ini
juga wajib dilakukan oleh seluruh warga di wilayah pendudukan Jepang, setiap
kali berpapasan atau melintas di depan tentara Jepang.
Kyai
Hasyim menolak aturan tersebut. Sebab hanya Allah lah yang wajib disembah,
bukan manusia. Akibatnya, Kyai Hasyim ditangkap dan ditahan secara
berpindah–pindah, mulai dari penjara Jombang, kemudian Mojokerto, dan akhirnya
ke penjara Bubutan, Surabaya. Karena kesetiaan dan keyakinan bahwa Hadratus
Syaikh berada di pihak yang benar, sejumlah santri Tebuireng minta ikut
ditahan. Selama dalam tahanan, Kyai Hasyim mengalami banyak penyiksaan fisik
sehingga salah satu jari tangannya menjadi patah tak dapat digerakkan.
Setelah
penahanan Hadratus Syaikh, segenap kegiatan belajar-mengajar di Pesantren
Tebuireng, Jombang vakum total. Penahanan itu juga mengakibatkan keluarga
Hadratus Syaikh tercerai berai. Isteri Kyai Hasyim, Nyai Masruroh, harus
mengungsi ke Pesantren Denanyar, barat Kota Jombang.
Tanggal
18 Agustus 1942, setelah 4 bulan dipenjara, Kyai Hasyim dibebaskan oleh Jepang
karena banyaknya protes dari para Kyai dan santri. Selain itu, pembebasan Kyai
Hasyim juga berkat usaha dari KH Wahid Hasyim dan KH Abdul Wahab Hasbullah
dalam menghubungi pembesar-pembesar Jepang, terutama Saikoo Sikikan di Jakarta.
Tanggal
22 Oktober 1945, ketika tentara NICA (Netherland Indian Civil Administration)
yang dibentuk oleh pemerintah Belanda membonceng pasukan Sekutu yang dipimpin
Inggris, berusaha melakukan agresi ke tanah Jawa (Surabaya) dengan alasan
mengurus tawanan Jepang, Kyai Hasyim bersama para ulama menyerukan Resolusi
Jihad melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris tersebut. Resolusi Jihad
ditandatangani di kantor NU Bubutan, Surabaya. Akibatnya, meletuslah perang
rakyat semesta dalam pertempuran 10 November 1945 yang bersejarah itu. Umat
Islam yang mendengar Resolusi Jihad itu keluar dari kampung-kampung dengan
membawa senjata apa adanya untuk melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris.
Peristiwa 10 Nopember kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan Nasional.
Pada
tanggal 7 Nopember 1945—tiga hari sebelum meletusnya perang 10 Nopember 1945 di
Surabaya—umat Islam membentuk partai politik bernama Majelis Syuro Muslim
Indonesia (Masyumi). Pembentukan Masyumi merupakan salah satu langkah
konsolidasi umat Islam dari berbagai faham. Kyai Hasyim diangkat sebagai Ro’is
‘Am (Ketua Umum) pertama periode tahun 1945-1947.
Selama
masa perjuangan mengusir penjajah, Kyai Hasyim dikenal sebagai penganjur,
penasehat, sekaligus jenderal dalam gerakan laskar-laskar perjuangan seperti
GPII, Hizbullah, Sabilillah, dan gerakan Mujahidin. Bahkan Jenderal Soedirman
dan Bung Tomo senantiasa meminta petunjuk kepada Kyai Hasyim.
Kisah Teladan Beliau
Kesan Akhlak dan Kecerdasan:
Pernah
terjadi dialog yang mengesankan antara dua ulama besar, KH Muhammad Hasyim
Asy’ari dengan KH Cholil Bangkalan, gurunya. “Dulu saya memang mengajar Tuan.
Tapi hari ini, saya nyatakan bahwa saya adalah murid Tuan,” kata Mbah Cholil,
begitu Kyai dari Madura ini populer dipanggil.
Kyai
Hasyim menjawab, “Sungguh saya tidak menduga kalau Tuan Guru akan mengucapkan
kata-kata yang demikian. Tidakkah Tuan Guru salah raba berguru pada saya,
seorang murid Tuan sendiri, murid Tuan Guru dulu, dan juga sekarang. Bahkan,
akan tetap menjadi murid Tuan Guru selama-lamanya.”
Tanpa
merasa tersanjung, Mbah Cholil tetap bersikeras dengan niatnya. “Keputusan dan
kepastian hati kami sudah tetap, tiada dapat ditawar dan diubah lagi, bahwa kami
akan turut belajar di sini, menampung ilmu-ilmu Tuan, dan berguru kepada Tuan,”
katanya. Karena sudah hafal dengan watak gurunya, Kyai Hasyim tidak bisa
berbuat lain selain menerimanya sebagai santri.
Lucunya,
ketika turun dari masjid usai shalat berjamaah, keduanya cepat-cepat menuju
tempat sandal, bahkan kadang saling mendahului, karena hendak memasangkan ke
kaki gurunya.
Sesungguhnya bisa saja terjadi seorang murid
akhirnya lebih pintar ketimbang gurunya. Dan itu banyak terjadi. Namun yang
ditunjukkan Kyai Hasyim juga KH Cholil Bangkalan adalah kemuliaan akhlak.
Keduanya menunjukkan kerendahan hati dan saling menghormati, dua hal yang
sekarang semakin sulit ditemukan pada para murid dan guru-guru kita.
Mbah
Cholil adalah Kyai yang sangat termasyhur pada jamannya. Hampir semua pendiri
NU dan tokoh-tokoh penting NU generasi awal pernah berguru kepada pengasuh
sekaligus pemimpin Pesantren Kademangan, Bangkalan, Madura, ini.
Sedangkan
Kyai Hasyim sendiri tak kalah cemerlangnya. Bukan saja ia pendiri sekaligus
pemimpin tertinggi NU, yang punya pengaruh sangat kuat kepada kalangan ulama,
tapi juga lantaran ketinggian ilmunya. Terutama, terkenal mumpuni dalam ilmu
Hadits. Setiap Ramadhan Kyai Hasyim punya ‘tradisi’ menggelar kajian hadits
Bukhari dan Muslim selama sebulan suntuk. Kajian itu mampu menyedot perhatian
ummat Islam.
Maka
tak heran bila pesertanya datang dari berbagai daerah di Indonesia, termasuk
mantan gurunya sendiri, KH Cholil Bangkalan. Ribuan santri menimba ilmu kepada
Kyai Hasyim. Setelah lulus dari Tebuireng, tak sedikit di antara santri Kyai
Hasyim kemudian tampil sebagai tokoh dan ulama kondang dan berpengaruh luas. KH
Abdul Wahab Hasbullah, KH Bisri Syansuri, KH R As’ad Syamsul Arifin, KH Wahid
Hasyim (anaknya) dan KH Achmad Shiddiq adalah beberapa ulama terkenal yang
pernah menjadi santri Kyai Hasyim.
Tak
pelak lagi pada abad 20 Tebuireng merupakan pesantren paling besar dan paling
penting di Jawa. Zamakhsyari Dhofier, penulis buku ‘Tradisi Pesantren’,
mencatat bahwa pesantren Tebuireng adalah sumber ulama dan pemimpin
lembaga-lembaga pesantren di seluruh Jawa dan Madura. Tak heran bila para
pengikutnya kemudian memberi gelar Hadratus-Syaikh (Tuan Guru Besar) kepada
Kyai Hasyim.
Mengambil Cincin Gurunya dari Lubang WC
Salah
satu rahasia seorang murid bisa berhasil mendapatkan ilmu dari gurunya adalah
taat dan hormat kepada gurunya. Guru ada lah orang yang punya ilmu. Sedangkan
murid adalah orang yang mendapatkan ilmu dari sang guru. Seorang murid harus
berbakti kepada gurunya. Dia tidak boleh membantah apalagi menentang perintah
sang guru (kecuali jika gurunya mengajarkan ajaran yang tercela dan
bertentangan dengan syariat Islam maka sang murid wajib tidak menurutinya).
Kalau titah guru baii, murid tidak boleh membantahnya.
Inilah
yang dilakukan Kyai Hasyim Asy’ari (Pendiri Nahdlatul ‘Ulama). Beliau nyantri
kepada KH Cholil Bangkalan, Bangkalan. Di pondok milik Kyai Kholil, Kyai Hasyim
dididik akhlaknya. Saban hari, Kyai Hasyim disuruh gurunya angon (merawat) sapi
dan kambing. Kyai Hasyim disuruh membersihkan kandang dan mencari rumput. Ilmu
yang diberikan Kyai Kholil kepada muridnya itu memang bukan ilmu teoretis,
melainkan ilmu pragmatis. Langsung penerapan.
Sebagai
murid, Kyai Hasyim tidak pernah ngersulo (mengeluh) disuruh gurunya angon sapi
dan kambing. Beliau terima titah gurunya itu sebagai khidmat (penghormatan)
kepada guru. Beliau sadar bahwa ilmu dari gunya akan berhasil diperoleh apabila
sang guru ridlo kepada muridnya. Inilah yang dicari Kyai Hasyim, yakni keridoan
guru. Beliau tidak hanya berhadap ilmu teoretis dari Kyai Kholil tapi lebih
dari itu, yang diinginkan adalah berkah dari KH Cholil Bangkalan.
Kalau
anak santri sekarang dimodel seperti ini, mungkin tidak tahan dan langsung
keluar dari pondok. Anak santri sekarang kan lebih mengutamakan mencari ilmu
teoretis. Mencari ilmu fikih, ilmu hadits, ilmu nahwu shorof, dan sebagainya.
Sementara ilmu “akhlak” terapannya malah kurang diperhatikan.
Suatu
hari, seperti biasa Kyai Hasyim setelah memasukkan sapi dan kambing ke
kandangnya, Kyai Hasyim langsung mandi dan sholat Ashar. Sebelum sempat mandi,
Kyai Hasyim melihat gurunya, Kyai Kholil termenung sendiri. Seperti ada sesuatu
yang mengganjal di hati sang guru. Maka diberanikanlah oleh Kyai Hasyim untuk
bertanya kepada Kyai Kholil.
“Ada
apa gerangan wahai guru kok kelihatan sedih,” tanya Kyai Hasyim kepada KH
Cholil Bangkalan.
”
Bagaimana tidak sedih, wahai muridku. Cincin pemberian istriku jatuh di kamar
mandi. Lalu masuk ke lubang pembuangan akhir (septictank),” jawab Kyai Kholil
dengan nada sedih.
Mendengar
jawaban sang guru, Kyai Hasyim segera meminta ijin untuk membantu mencarikan
cincin yang jatuh itu dan diijini. Langsung saja Kyai Hasyim masuk ke kamar
mandi dan membongkar septictank (kakus). Bisa dibayangkan, namanya kakus dalamnya
bagaimana dan isinya apa saja. Namun Kyai Hasyim karena hormat dan sayangnya
kepada guru tidak pikir panjang. Beliau langsung masuk ke septictank itu dan
dikeluarkan isinya. Setelah dikuras seluruhnya, dan badan Kyai Hasyim penuh
dengan kotoran, akhirnya cincin milik gurunya berhasil ditemukan.
Betapa
riangnya sang guru melihat muridnya telah berhasil mencarikan cincinnya itu.
Sampai terucap doa: “Aku ridho padamu wahai Hasyim, Kudoakan dengan
pengabdianmu dan ketulusanmu, derajatmu ditinggikan. Engkau akan menjadi orang
besar, tokoh panutan, dan semua orang cinta padamu”.
Demikianlah
doa yang keluar dari KH Cholil Bangkalan. Karena yang berdoa seorang wali, ya
mustajab. Tiada yang memungkiri bahwa di kemudian hari, Kyai Hasyim menjadi
ulama besar. Mengapa bisa begitu? Disamping karena Kyai Hasyim adalah pribadi
pilihan, beliau mendapat “berkah” dari gurunya karena gurunya ridho kepadanya.
Karya Kitab
Peninggalan
lain yang sangat berharga adalah sejumlah kitab yang beliau tulis disela-sela
kehidupan beliau didalam mendidik santri, mengayomi ribuan umat, membela dan
memperjuangkan bumi pertiwi dari penjajahan. Ini merupakan bukti riil dari
sikap dan perilakunya, pemikirannya dapat dilacak dalam beberapa karyanya yang
rata-rata berbahasa Arab.
Tetapi
sangat disayangkan, karena kurang lengkapnya dokumentasi, kitab-kitab yang
sangat berharga itu lenyap tak tentu rimbanya. Sebenarnya, kitab yang beliau
tulis tidak kurang dari dua puluhan judul. Namun diakungkan yang bisa
diselamatkan hanya beberapa judul saja, diantaranya:
1. Al-Nurul Mubin Fi Mahabati Sayyidi Mursalin. Kajian
kewajiban beriman, mentaati, mentauladani, berlaku ikhlas, mencinatai Nabi SAW
sekaligus sejarah hidupnya
2. Al-Tanbihat al-Wajibat Liman Yashna’u al-Maulida Bi
al-Munkarat. Kajian mengenai maulid nabi dalam kaitannya dengan amar ma’ruf
nahi mungkar
3. Risalah Ahli Sunnah Wal Jama’ah. Kajian mengenai
pandangan terhadap bid’ah, Konsisi salah satu madzhab, dan pecahnya umat
menjadi 73 golongan
4. Al-Durasul Muntasyiroh Fi Masail Tis’a ‘asyaraoh. Kajian
tentang wali dan thoriqoh yang terangkum dalam sembilan belas permasalahan.
5. Al-Tibyan Fi Nahyi’an Muqatha’ah al-Arham Wa al-Aqrab Wa
al-Akhwal. Kajian tentang pentingnya jalinan silaturahmi antar sesama manusia
6. Adabul ‘Alim Wa Muata’alim. Pandangan tentang etika
belajar dan mengajar didalam pendidikan pesantrren pada khususnya
7. Dlau’ al-Misbah Fi Bayani Ahkami Nikah. Kajian
hukum-hukum nikah, syarat, rukun, dan hak-hak dalam perkawinan
8. Ziyadah Ta’liqot. Kitab yang berisikan polemik beliau
dengan syaikh Abdullah bin yasir Pasuruaan
9. Dll.
Daftar Pustaka
Ensiklopedi Tokoh
Pendidikan Islam, (Jakarta, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve: 2005).
Mujib, A., dkk., Entelektualisme
Pesantren, (Jakarta, PT. Diva Pustaka: 2004).
Rifai, Muhammad, K. H. Hasyim
Asya’ri Biografi Singkat 1871-1947, (Yogjakarta, Grasi: 2009).
Roziqin, Badiatul, dkk, 101 Jejak
Tokoh Islam Indonesia, (Yogyakarta, e-Nusantara: 2009).
Berbagai sumber.
dipublish oleh : Alfin Hidayat El-mlipaki
apa iya joko tingkir anak sunsn giri? setahu saya joko tingkir adalah anak kebo kenanga urutan nasabnya
BalasHapus