Home » » MENAKAR HUKUMAN MATI KORUPTOR

MENAKAR HUKUMAN MATI KORUPTOR

Written By el_mlipaki on Kamis, 02 Januari 2014 | 15.48




INDONESIA SURGA BAGI KORUPTOR

Di era 70 an kelompok musik Koes Plus pernah menciptakan lagu dengan lirik “…orang bilang tanah kita tanah surga….“ Barangkali ada benarnya di zaman sekarang, sayangnya lirik itu hanya berlaku buat para koruptor.

Kenapa Indonesia mendapat julukan negeri surga bagi koruptor? Jawabannya mudah,
fakta di lapangan menunjukkan bagaimana dahsyatnya perilaku korupsi di masyarakat dan betpa bebasnya para pelaku koruptor melakukan aksinya menumpuk pundi-pundi uang. Bahkan setiap kali tertangkap selalu menebar senyum tanpa menunjukkan mimik ketakutan maupun penyesalan. Semua ini terjadi karena berbagai alasan, dari yang memanjakan si pelaku dengan mudahnya akses, kesempatan hingga hukuman yang bersahabat.
Karena itu kasus korupsi sekarang ini bukan lagi dimonopoli kalangan elite partai atau penguasa saja. Lemahnya pengawasan dan ‘ramahnya’ hukuman membuat banyak orang makin “tergiur” untuk ikut ambil bagian. Jika dulu korupsi hanya dilakukan kalangan dan orang-orang tertentu, kini hampir semuanya ikut ambil bagian (korupsi berjamaah) dan berani melakukan ketika ada kesempatan. Dari tingkat pejabat tinggi negara hingga aparat paling rendah kian merajalela bagaikan gurita, semua dianggap sesuatu yang biasa tanpa dosa.

Hukum yang Bersahabat
Indonesia terkenal dengan keramahannya, termasuk juga di ranah hukum. Para koruptor merasa nyaman dengan ‘keramahan’ hukum yang berlaku di negeri ini. Apalagi jika si pelaku terkait dengan kekuasaan atau konglomerat, maka prosesnya hanya terkesan formalitas dan sekadar memenuhi tuntutan rakyat.
Proses hukum yang selalu dibuat tarik ulur dengan beragam alasan yang tidak rasional, biasanya dibarengi dengan munculnya kasus atau peristiwa-peristiwa lain yang lebih fresh, heboh, seru dan menjual. Tapi lama kelamaan orang semakin sadar bahwa tujuannya cenderung untuk pengalihan isu agar memory rakyat tergiring sehingga perlahan-lahan melupakannya. Atau kalau tidak kasusnya dihentikan di tengah jalan dengan Surat Perintah Penghentian Penyidikan.
Bilamana mereka benar-benar terjerat hukum dan dijatuhi pidana, biasanya yang terjerat hanyalah koruptor yang kecil, sementara koruptor kelas kakap lebih banyak divonis bebas, atau ringan. Bahkan yang lebih menggelikan lagi, tidak jarang si terdakwa keburu kabur ke luar negeri setelah dijatuhi vonis bersalah dengan alasan izin berobat di tengah-tengah proses sidang perkaranya.

Akses Mudah
Negeri ini luas, besar, kaya, semua ada dan kekayaan alam bisa digali sebagai sumber pendapatan negara sebagaimana yang tertera dalam Undang-undang Dasar Pasal 33 ayat 2 dan 3. Namun karena lemahnya hukum di negeri ini dan bisa dibeli,  kian menambah para pelaku semakin berani. Lihat saja para koruptor yang menyuap para oknum tertentu untuk bisa hidup mewah di penjara. Meskipun konteksnya sedang menjalani hukuman di dalam penjara, kenyataannya mereka bebas jalan-jalan ke Bali, ke luar negeri, transaksi di dalam penjara, menjadikan bui sebagai kamar hotel, makan gratis dan masih banyak lagi. Karena itu penjara tidak membuat mereka jera, namun menjadi suatu lembaga pelatihan yang siap terjun pasca kebebasannya.

Anekdot
Ada enekdot menarik dari para koruptor ini, mereka menghitung-hitung besaran angka korupsi kemudian dikurangi dengan ‘suap’ disana-sini dari penyidikan hingga vonis bahkan remisi, maka setelah dihitung-hitung masih untung menjadi koruptor. Korupsi gede-gedean, ditangkap, dihukum ringan lengkap dengan remisinya, bahkan dijalani dengan nikmat bak tinggal di hotel, sebentar kemudian menjadi konglomerat atau paling tidak milyarder baru. Dan menjadi ‘raja kecil’ baru, hanya dengan korupsi.


Korupsi & Latah Korupsi

Dalam penjelasan wikipedia, korupsi atau rasuah berasal dari bahasa Latin yaitu corruptio asal kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, atau  menyogok. Adapun secara definisi korupsi disebutkan sebagai sebuah tindakan pejabat atau pegawai publik, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak.
Sedangkan latah disebutkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagai suatu penyakit syaraf yang menyebabkan orang suka tertawa sendiri, atau meniru kata orang dan sebagainya. Sedang menurut Dr. Rinrin R. Kaltarina, Psi.,M.Si., latah memiliki dimensi gangguan fungsi pusat syaraf, psikologis, dan social dengan tindakan meniru.
Indikasi korupsi
Penghasilan seorang pegawai berbeda dengan seorang pedagang ataupun pengusaha. Pengusaha bisa saja berpenghasilan lebih besar dari pada pegawai sesuai dengan jenis usahanya, namun seorang pegawai memiliki penghasilan yang sudah dipatok sesuai dengan pangkat golongan dan posisinya. Artinya ketika seorang pegawai dengan golongan tertentu terlebih memiliki banyak anak namun ia sendiri secara kekuatan financial bisa melebihi pendapatannya dari seorang pegawai padahal di luar kepegawaian tidak ada pemasukan, misalnya dari hasil jenis usaha. Maka dalam kondisi yang seperti ini akan memunculan indikasi untuk berkorupsi.
Memunculkan iri
            Orang-orang yang diindikasikan atau jelas terbukti korupsi lebih terlihat memiliki pola hidup yang tidak wajar disbandingkan dengan pendapatannya. Misalnya dengan memberikan perhiasan kepada istri yang berlebihan, membelikan anak dengan mobil yang mewah, dan lain sebagainya. Hal ini jelas akan memunculkan iri bagi pegawai atau orang lain yang di bawahnya atau sejajar dengan kepangkatannya.
Tujuan kerja untuk meniru pendahulu
Seorang pegawai baru biasanya bekerja berorientasi pada pendapatan sesuai dengan posisinya saja, namun melihat para pendahulu yang bergaya hidup dengan tidak sewajarnya selain memunculkan iri juga sangat berpotensi untuk meniru melakukan tindakan menyeleweng dari amanah yang diembannya. Akhirnya tindakan korupsi ini menjadi semacam virus yang mudah mewabah untuk ditiru oleh generasi setelahnya, bahkan bisa berkelanjutan sampai kapanpun.
Memburu pos basah
Masih ingat bahwa setiap tahun dari seluruh penjuru nusantara ini, dari variatif ijazah pendidikan, umur, semua membludak untuk mendaftarkan diri sebagai calon pegawai negeri sipil (CPNS). Meskipun tidak semua, para pendaftar ini tahu benar bahwa pekerjaan sebagai pns itu adalah pos basah untuk bermain anggaran dan ini terbukti terjadi disemua jenjang karirnya. Bisa kita tanya pada setiap mahasiswa tingkat akhir, prosentasenya untuk mengikuti bursa CPNS selalu lebih besar dari pada wilayah pekerja swasta yang lain dan ini terjadi merata di seluruh Indonesia. Lantas sisi mana yang tidak diburu ? hampir semua mengikuti, semua meniru.
Bangga dengan korupsi
            Setiap orang cenderung senang jika memiliki harta berlebih bahkan dia akan terus membanggakan atas apa yang dimilikinya. Nampaknya orang yang berkorupsi tidak serta merta sadar dan lantas bertobat bahwa harta yang dimilikinya adalah dari hasil yang tidak dibenarkan/ tidak halal. Bahkan secara terang-terangan meskipun seseorang yang sudah terindikasi berkorupsi suka menyuap masyarakat dengan seringnya memberikan bantuan materi untuk dengan dalih untuk kepentingan social.

 

DAMPAK LUAR BIASA


BANGKRUTNYA NEGARA AKIBAT KORUPSI

Indonesia adalah negara yang sangat kaya. Untuk memaksimalkan potensi ini, perlu pemimpin yang mampu mengelola potensi kekayaan alam bangsa ini serta mengedepankan kejujuran. Namun sangat sayang jika negara ini dikuasai orang-orang yang berjiwa koruptif dan tidak memiliki integritas, maka kerusakan berantai yang akan terjadi dari beberapa sisi.

Sisi Sumber Daya Alam
Akibat korupsi dalam bidang sumberdaya alam, pengelolaan hutan, lahan, dan sebagainya membuat alam hancur, banjir, bencana, dan sebagainya. Belum lagi kerugian ekosistem yang berdampak kerusakan alam yang nilainya fantastis. Korupsi telah merusak pengelolaan hutan serta mengacaukan pertumbuhan ekonomi dengan kerugian mencapai $7 miliar (Rp. 70 triliun), sebagaimana Human Rights Watch (HRW), yang dirilis hari Selasa (16/7/13).
Salah satu indikasi dari kegagalan tata kelola hutan Indonesia adalah berulangnya kasus kebakaran (pembakaran) hutan yang menyebabkan krisis asap yang menyebar hingga ke negara tetangga. Wakil Ketua KPK, Bambang Widjojanto membenarkan hal itu, bahwa selama ini kerugian negara akibat tindak pidana korupsi hanya dihitung berdasarkan nilai suap. Sementara dampak kerugian akibat korupsi tersebut tidak pernah terhitung, seperti dampak penebangan pohon, lahan yang rusak akibat korupsi itu tidak pernah dihitung, yang sebenarnya merugikan masyarakat dan negara.

Sisi Perpajakan
Citra institusi perpajakan di negeri ini kian merosot. Terlebih lagi sejak kasus Gayus Tambunan dan Dhana Widyatmika mencuat, perpajakan seolah menjadi momok di masyarakat. Direktur Jenderal Pajak Fuad Rahmany mengakui bahwa, praktik suap itu memang ada di institusinya. Namun kini, perpajakan telah membangun sistem untuk mengantisipasi kasus-kasus itu berulang. “Jumlahnya tidak terlalu banyak, tapi mereka merusak citra. Kalau pegawai Ditjen Pajak brengsek semua, tidak ada pemasukan ke kas negara mencapai Rp. 800 triliun”, ujarnya.

Sisi Pelayanan Publik
Ketua KPK, Abraham Samad menyatakan, bahwa pelayanan publik mengalami kerusakan akibat korupsi yang terjadi di tingkat kelurahan, kepolisian, atau sektor umum lainnya.
“Bisa saja yang punya banyak uang menyuap oknum petugas kelurahan agar dipercepat pembuatan KTP dengan mengorbankan antrean lainnya”, ujar Samad.
Menurutnya, korupsi kecil-kecilan yang sering terjadi di bidang pelayanan publik, seperti di kantor kelurahan atau kepolisian itu timbul karena kebutuhan untuk hidup. Dia mencontohkan, ada seorang pegawai kelurahan dengan gaji Rp. 2,5 juta per bulan harus menyekolahkan ketiga anaknya, sedangkan istrinya tidak bekerja. Ia menilai, negara harus bertanggung jawab atas hal tersebut, yakni dengan menciptakan kemakmuran bagi para PNS rendahan, atau aparat TNI dan Polri agar tidak muncul korupsi kecil yang bisa merusak pelayanan publik.

Sisi Investasi
Korupsi tidak hanya merugikan negara dalam arti sempit, namun secara menyeluruh negara bisa dirugikan. Karena dengan banyaknya penyelenggara negara yang terbukti sebagai koruptor menunjukan bahwa negara ini belum bebas dari korupsi. Pertumbuhan ekonomi negara bisa terhambat dikarenakan faktor korupsi yang dilakukan oleh oknum-oknum penyelenggara negara. Angka investasi yang masuk ke negara ini seharusnya bisa lebih besar dari tahun sebelumnya, namun investasi dinilai mengalami penurunan. Hal ini disebabkan para investor yang khawatir berinvestasi di Indonesia karena masih banyaknya kasus-kasus korupsi. Menurut Menko Perekonomian, Hatta Rajasa, bahwa praktik korupsi yang dilakukan penyelenggara negara bisa menghambat investasi, sehingga negara sangat dirugikan.

Sisi Hukum
Ketika hukum mudah dibeli maka keadilan menjadi diskriminatif. Semua mudah dibolak-balikkan, yang kaya menjadi raja yang miskin kian menderita, yang salah bisa menjadi bebas yang benar haknya kian terampas.
Dampak yang paling nyata adalah makin meluasnya ketidakpercayaan rakyat pada lembaga negara. Karena itu, tidaklah mengherankan para bila supermasi hukum di negeri ini kian merosot kewibawaannya. Hukum tak lagi bersifat responsif, melainkan berubah menjadi instrumen dalam rangka memperluas kewenangan kekuasaan untuk memeras rakyat atas nama peraturan daerah dan melegalisasi kesewenangan. Secara teori hukum tetap bekerja secara prosedural tapi kenyataanya sudah kehilangan makna substantif dan spiritualitasnya.
Inilah yang terjadi di negara hukum NKRI. Lambang supremasi hukum kian merosot kredibilitasnya, lembaga peradilan terus menerus mendapat tekanan dan cemoohan dari publik dan ketidakmampuan akan proses penegakan hukum berdampak langsung pada peningkatan kecemasan masyarakat. Akibatnya rakyat yang menjadi korban kecewa sehingga mereka lebih cenderung main hakim sendiri, penyelesaian lebih menggunakan kekerasan,mengkhawatirkan, setiap masalah atau pertikaian yang muncul diselesaikan dengan kekerasan sehingga kerusuhan terjadi di mana-mana. Semua ini merupakan wujud dari kekecewaan dimana sudah banyak terjadi kerap dipakai masyarakat untuk mewujudkan keadilan versi mereka.

Sisi Anggaran
Secara langsung maupun tidak langsung korupsi telah mengurangi anggaran negara dan pendapatan pemerintah terpangkas banyak. Contohnya, untuk satu kasus saja lebih dari 50% kas negara hilang akibat dugaan korupsi Presiden Soeharto yang disinyalir menggelapkan uang negara sekitar 1,7 triliun, hingga hari ini tak kunjung ada titik temunya. Agar pengeluaran pemerintah tidak defisit akhirnya dilakukan pengurangan pengeluaran anggaran negara.
Di sisi lain, untuk pembiayaan operasional KPK negara harus megneluarkan biaya ekstra. Misalnya dalam membongkar berbagai kasus korupsi seperti Century (yang hingga kini makin membias) disinyalir sudah menghabiskan uang negara sebesar 6,7 Triliun. Kemudian saat penangkapan Nazarudin ke Bogota, Kolombia tidak tanggung-tanggung, telah menghabiskan dana sebesar 4 Miliar. Mahalnya biaya yang dikeluarkan untuk menyewa pesawat ini tidak berbanding lurus dengan tahapan penyelesaian kasus ini. Tapi sampai hari ini belum satupun ada yang beres atau diproses secara hukum.

Sisi Hubungan Multilateral
Ketika pemerintah bersiap-siap menghadapi perdagangan bebas (terlebih dengan masuknya negara non ASEAN, China, Korea dan Jepang), pembangunan ekonomi dalam penciptaan kekuatan dan ketahanan ekonomi domestik akan sedikit terhambat jika masih tingginya angka korupsi di negeri ini.
Dampak yang ditimbulkan akibat ulah para koruptor tidak hanya terhambatnya pembangunan dalam bidang ekonomi saja, pendidikan, politik, hukum, bahkan keamanan pun akan mengalami kesulitan. Keterkaitan ini tidak hanya dari segi ekonomi dan hukum saja, tetapi kondisi politik nasional, keamanan dan juga sosial budaya, jadi dapat disimpulkan bahwa kelima aspek, yaitu ekonomi, hukum, politik, keamanan, dan sosial budaya mempunyai keterikatan satu sama lainnya. Jika satu aspek saja terjadi penyelewengan maka sudah dapat dipastikan akan berdampak pada aspek lainnya. Oleh karena itu jika korupsi tetap terus langgeng maka jangan harap bisa mampu meningkatkan pertumbuhan di negeri ini, baik dari aspek ekonomi, politik, keamanan, sosial budaya, juga dari aspek hukum itu sendiri.

Sisi Pembangunan
            Korupsi telah mengurangi pengeluaran untuk biaya operasi dan perawatan dari infrastruktur, anggaran pembiayaan untuk perawatan fasilitas umum, menurunkan produktivitas dari investasi publik dan infrastruktur suatu negara.
 
Penumpang di Negeri Sendiri
Negeri ini kaya raya, apapun ada dan mampu menghidupi 250 rakyatnya. Namun karena kerakusan para koruptor yang kian menjadi-jadi, maka lewat kekuasaan dan kebijakannya mereka dengan tega menjual harga diri bangsa. Investor-investor asing dengan mudahnya masuk ke dalam negeri. Lantaran membawa ‘pelicin’ yang tebal ijin menjadi lancar, birokrasi tak berbelit, suara rakyat dibungkam, dan semuanya serba beres.
Akibatnya, setelah sektor-sektor vital dikuasai asing akhirnya bangsa ini hanya bisa menumpang tinggal di negeri sendiri. Rakyat menjadi budak-budak kapitalis di tanah kelahirannya yang sebenarnya kaya raya. Yang lebih parah lagi, korbannya bukan hanya generasi sekarang, tapi hingga anak cucu kita kelak akan ikut menanggung akibatnya. Kerugian bukan hanya pada sektor finansial, lantaran berkurangnya pendapatan negara maka rusaklah struktur pemerintahan yang akan berimbas pada moral bangsa ini.



  KORUPSI MERUSAK SENDI-SENDI KEHIDUPAN

Korupsi memiliki dampak yang kompleks pada sebuah negara. Tidak hanya kacaunya sistem pemerintahan, terkurasnya uang negara dan ketidakadilan, namun dampak terburuknya adalah dampak pada perekonomian negara yang akan berimbas pada kesejahteraan umum, terutama rakyat kecil.

Sendi Ekonomi
Pada wilayah ekonomi, korupsi menyebabkan kemiskinan. Rakyat tidak mendapatkan haknya sebagai rakyat dan mengalami pemiskinan karena korupsi. Korupsi menyebabkan kualitas infrastruktur pembangunan, seperti jalan, listrik, jembatan, irigasi, dan sebagainya yang menjadi dasar perekonomian nasional menjadi rendah.
Korupsi memiliki korelasi negatif dengan tingkat investasi, pertumbuhan ekonomi, dan pengeluaran pemerintah untuk program sosial dan kesejahteraan. Oleh karena itu, korupsi dapat mengakibatkan rakyat kecil hidup semakin tertekan, serta menciptakan generasi yang malas bekerja, atau kurang giat bekerja. Ini dikarenakan karena uang pajak yang mereka bayarkan kepada negara, akan dikorupsi oleh para koruptor.

Sendi Moral
Korupsi secara etimologis berarti busuk, rusak, menggoyahkan, dan menyogok. Pembusukan moral menjadi akibat utamanya. Moral yang busuk akan menulari wilayah-wilayah hidup manusia lainnya. Korupsi pada ranah moral dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang merusak moral manusia.
Korupsi yang semakin subur dan seakan tak pernah ada habisnya, baik di tingkat pusat sampai daerah merupakan bukti nyata betapa bobroknya moralitas para pejabat pemerintahan. Tindakan korupsi yang dilakukan secara terus-menerus dan secara sistemik serta dalam jangka waktu yang lama, tentu saja menjadi penyebab lahirnya budaya buruk, yakni budaya koruptif. Jika korupsi telah menjadi budaya, maka budaya itu akan semakin sulit untuk disembuhkan. Korupsi yang terlalu lama dilakukan dalam masa pasca-kemerdekaan ini, secara tak langsung dan tak disengaja, juga merupakan proses pembudayaan. Oleh karena itu, korupsi dapat memunculkan generasi yang bermental koruptif, karena banyak mendapatkan pendidikan yang tidak bermoral, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Sendi Pendidikan
Sektor pendidikan yang merupakan sektor kunci dalam pembangunan nasional juga terkena imbas korupsi. Korupsi telah menggerogoti pendidikan. Anggaran pendidikan yang minim menjadi berkurang. Akibatnya, warga negara tidak mendapat hak pendidikan sewajarnya. Banyak sekolah rusak, jumlah anak putus sekolah meningkat, dan pungutan kian membebani orangtua murid. Ini merupakan dampak buruk korupsi pendidikan.
Selain itu, korupsi juga memunculkan generasi yang malas, karena berorientasi belajar untuk menjadi pegawai yang memiliki lahan “basah” korupsi. Mereka berharap dapat kerja yang mudah serta gaji besar, bahkan jika perlu menyuap untuk menjadi pegawai. Jadi, konsisi ini memunculkan generasi yang menjadikan pendidikan sebagai sarana mendapat keuntungan, bukan berorientasi ilmu.
Sendi Politik
Secara umum dapat dikatakan bahwa, bentuk korupsi pertama adalah korupsi politik, di mana terjadi penyalahgunaan kekuasaan publik (politik) untuk memperoleh keuntungan pribadi. Dalam hal ini, kekuasaan meracuni motivasi banyak orang, sehingga menciptakan generasi yang tidak lagi bekerja dan berkarya dengan tulus, namun genrasi bersikap korup dan tipu daya. Keorupsi juga memikat manusia untuk mengejarnya kekuasaan, walaupun dengan meninggalkan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur.

Bangga dengan korupsi
            Setiap orang cenderung senang jika memiliki harta berlebih bahkan dia akan terus membanggakan atas apa yang dimilikinya. Nampaknya orang yang berkorupsi tidak serta merta sadar dan lantas bertobat bahwa harta yang dimilikinya adalah dari hasil yang tidak dibenarkan/ tidak halal. Bahkan secara terang-terangan meskipun seseorang yang sudah terindikasi berkorupsi suka menyuap masyarakat dengan seringnya memberikan bantuan materi untuk dengan dalih untuk kepentingan social.

PENGAKUAN MASYARAKAT
Kami Kecewa

Begitu luasnya dampak yang terjadi akibat tindakan korupsi seseorang, bahkan begitu luar biasanya kerugian negara hingga berakibat pada rusaknya sistem kehidupan di dunia ini. Hal ini tentu akan memunculkan pandangan yang terpusat dengan tidak lagi memberikan simpati terhadap pejabat yang seperti itu. Berikut beberapa tanggapan masyarakat mengenai tindakan korupsi yang dilakukan oleh pegawai atau pejabat pemerintahan negeri ini.

Iwan Ardianto, Guru SMA 5 Semarang
Wah kalau menurut saya itu tidak bisa dijadikan suri tauladan, keberadaan mereka sebenarnya menjadi wakil rakyat yang seharusnya menjadi panutan bagi masyarakat. Namun ketika yang terjadi adalah sebaliknya yaitu menyalai amanah yang telah diberikan kepadanya maka menurut saya mereka harus diberikan hukuman yang seberat-beratnya, bahkan lebih berat dari hukuman orang biasa yang melakukan sebuah kesalahan.
Kita semua kecewa dengan para pejabat yang telah berbuat demikian. Oleh karenanya secara undang-undang yang berlaku harus mendapat hukuman terberat semaksimal mungkin. Antara jaksa penuntut umum dan hakim kalau bisa disamakan pendapatnya bahkan kalau bisa ditambahkan lagi. Karena selama ini saya memandang hukuman yang telah diberikan kepada tersangka korupsi itu belum bisa memberikan efek jera pada si pelaku.
Ahmad Rofa’I, Kepala Kesbangpollinmas Provinsi Jawa Tengah
            Secara aturan jelas bahwa pegawai yang seperti itu entah apapun posisinya telah menyalahi aturan bahkan dalam hal yang lebih luas lagi telah menciderai nilai-nilai luhur pancasila sebagai salah satu panutan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Secara pribadi saya menyayangkan apabila ada pegawai yang berani berbuat demikian, karena bagaimanapun dia telah menyelewang dari tugas yang diembannya.
            Dan dalam undang-undang yang berlaku kan sudah disebutkan bagaimana besaran hukuman yang dijatuhkan, maka saya berharap agar bisa diproses seadil-adilnya. Untuk proses hukuman, ya sudah selayaknya kita serahkan pada lembaga yang berhak untuk memprosesnya, dalam hal ini jelas KPK dan pengadilan Tipikor.
Muhammad Rizal, Pelajar SMP
            Kalau dipikir-pikir ketika uang saya dicolong jelas akan jengkel dan marah mas, tetapi mau bagaimana lagi kita juga tahu mereka itu pejabat yang punya kekuasaan yang bisa seenaknya sendiri. Toh kalau sudah dipenjara juga hampir tidak ada bedanya, segala fasilitas bisa dengan mudah mereka dapatkan disana krena mereka punya uang. Jadi kekecewaan saya dobel, sama koruptor dan pengadilan yang sepertinya belum bisa memberikan hukuman yang adil pula.
Arif Hidayat, Mahasiswa
            Bagaimana mas ya, yang jelas sangat memalukan lah, terlebih tindakan itu dilakukan oleh orang yang terdidik. Harapan saya para pejabat yang seperti itu harus diberi hukuman yang seberat-beratnya agar kedepan tidak ada lagi yang menirunya lagi, karena semakin merebaknya perbuatan itu karena ketidak jeraan mereka atas hukuman yang mereka terima.
Muslikhah, Ibu rumah tangga
            Kadang kalau lihat berita di televisi itu saya sudah malas mas, lha berita yang ada selalu berita pejabat korupsi terus. Kok ya mereka itu tidak mikir, kalau mereka itu ditugasi untuk mikir rakyat bukan untuk dirinya sendiri. Kalau boleh usul ya hukum saja seberat-beratnya biar pada kapok.


 

MUI ; HUKUM MATI SAJA
Kronologi
Hukuman bagi koruptor selama ini tak mendatangkan efek jera. Majelis Ulama Indonesia (MUI) melihat vonis hukuman terhadap koruptor di Indonesia masih terlalu ringan. Hal ini menimbulkan rasa ketidakadilan di masyarakat. Karena itu, MUI merekomendasikan agar pelaku korupsi dihukum mati. Rekomendasi itu disampaikan dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) MUI di Hotel Twin Plasa, Jakarta, Sabtu (14/9/2013). Selain mendorong pemberlakuan hukuman paling berat itu, MUI juga mengusulkan agar terpidana korupsi dihukum kerja sosial.

“MUI mendorong majelis hakim Pengadilan Tipikor menjatuhkan hukuman seberat-beratnya kepada koruptor kakap, bahkan hukuman mati. MUI juga merekomendasikan kerja sosial, selain pidana penjara. Mereka juga harus membersihkan fasilitas publik, seperti pasar, terminal, lapangan, panti asuhan, dan sebagainya untuk memberi efek jera dan mencegah masyarakat agar tidak mengikuti jejak para koruptor,” kata Ketua MUI, KH. Amidhan saat membacakan rekomendasi MUI, dan dihadiri pengurus MUI lainnya. Selain itu, MUI juga meminta agar para koruptor yang terbukti bersalah disita semua kekayaan hasil korupsinya.
Pertimbangan
Menurut Amidhan, begitu besar desakan masyarakat kepada MUI agar mengeluarkan seruan supaya koruptor mendapat hukuman yang memberi efek jera, mengingat kejahatan korupsi demikian masif (kuat) di negeri ini.
“Masyarakat menilai, selama ini para koruptor tetap bisa hidup nyaman di tahanan, karena bisa membeli fasilitas dari oknum-oknum di penjara, sehingga tidak ada efek jera,” kata Amidhan.
Sebelum ini, usulan hukuman mati bagi koruptor sebenarnya telah disampaikan sejumlah lembaga dan aktivis antikorupsi. Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama, tahun lalu, menyampaikan fatwa serupa. Sekjen PBNU Marsudi Syuhud saat itu mengatakan, usulan tersebut merupakan masukan warga Nahdliyyin di tingkat Ranting. Menurutnya, para pelaku korupsi cenderung tidak punya rasa malu lagi, bahkan tak jarang mencalonkan diri untuk meraih jabatan di pemerintahan.
Penerapan hukuman mati terhadap koruptor ini di mata ahli hukum dari Universitas Indonesia, Akhiar Salmi, tidak melanggar HAM, karena korupsi secara perlahan akan menghancurkan negara.
“Koruptor itu lebih jahat daripada teroris dan pelaku kriminal lainnya. Karena itu hukuman mati harus diterapkan bagi mereka. Tanpa hukuman mati, para koruptor tidak pernah jera dan akan berulang, bahkan mendarah daging seperti sekarang,” kata  Akhiar Salmi.
Landasan
Rekomendasi MUI di atas juga memiliki landasan yang jelas, yakni Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor, yang menyebutkan, setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.
Kemudian dalam ayat (2) disebutkan, dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan. Dalam penjelasan ayat (2) dinyatakan, yang dimaksud dengan ”keadaan tertentu”, yakni apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.


 
PRO KONTRA HUKUMAN MATI KORUPTOR

Hukuman mati telah lama menjadi topik debat klasik di antara para ilmuwan, pejabat, ahli hukum dan masyarakat. Masing-masing kelompok, baik yang menentang (kelompok abolisionis) maupun yang mendukung hukuman mati (kelompok retensionis) memiliki dasar dan argumen masing-masing.  
Pro
Teten Masduki, Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW), mendukung hukuman mati bagi koruptor. “Saya setuju hukuman mati terhadap para koruptor. Seorang koruptor besar lebih jahat dari tentara yang membunuh demonstran”, kata Teten.
Di mata Teten, tindak pidana korupsi merupakan kejahatan luar biasa terhadap kekerasan dan hak asasi manusia (HAM). Alasannya, kekerasan dan pelanggaran HAM memiliki sifat yang sama dengan korupsi, yakni meluas dan sistematis. Menurutnya, para koruptor yang harus dihukum mati adalah para koruptor yang ‘merampok’ uang negara miliaran rupiah, seperti kasus dana BLBI. Jadi, bukan kelas teri, seperti karyawan yang mencuri di kantornya. “Saya sudah muak. Jadi, sebaiknya para koruptor itu dihukum mati”, tegas Teten.
Menurut Nur Arif, seorang pengusaha di Kota Semarang menyebutkan bahwa, “Hukuman mati bisa diterapkan bagi koruptor kalau memang masuk kategori kelas kakap. Maksudnya, jumlah uang yang dikorupsi minimal mencapai ratusan juta, itu baru sepadan dengan perbuatannya. Tapi kalau korupsi satu juta, dua juta dihukum mati ya kasihan”, tutur Arif.
Dalam pandangan Sholihin, seorang guru Sekolah Dasar mengungkapkan bahwa, “Hukuman mati memang layak bagi para koruptor, karena mereka mengkorupsi uang rakyat. Artinya para koruptor ini juga menyengsarakan ratusan juta rakyat Indonesia”, ungkap Sholihin.
Kontra
Sementara itu para aktivis HAM menentang hukuman mati. Mereka berpendapat bahwa, hukuman mati bertentangan dengan prinsip HAM, Pancasila sila kedua, UUD 1945 pasal 28 A dan 28 I, yang menyatakan bahwa, hak untuk hidup tidak bisa dikurangi dengan alasan apapun. Usulan penerapan hukuman mati itu ditolak oleh sejumlah pejabat dan aktivis HAM.
Wakil Menkum HAM, Denny Indrayana, kurang setuju dengan gagasan hukuman mati bagi koruptor. Menurutnya, masih ada opsi lain yang lebih efektif untuk memberangus kejahatan korupsi di republik ini.
“Kalau menganggap dengan hukuman mati selesai masalah korupsi, itu tidak selesai. Menurut saya itu tidak tepat. Tapi memang sebagai salah satu teori, orang bicara efek penjeraan, hukuman mati masih dibuka untuk ruang penghukuman. Kalau ada pilihan hukuman mati atau pemiskinan, misalnya dalam kasus korupsi, menurut saya lebih baik pemiskinan. Kalau sudah dimiskinkan, masih korupsi, itu baru hukuman mati karena tidak kapok”, kata Denny.
Menurut Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Alvon Kurnia Palma mengatakan, hukuman mati tidak bisa diterapkan di Indonesia. “Kami menolak hukuman mati untuk koruptor. Peradilan di Indonesia masih sesat, banyak juga orang yang menjadi korban peradilan sesat. Bila ada orang yang telah dihukum mati, tapi ternyata ditemukan bahwa dia hanyalah korban peradilan sesat, maka sulit untuk merehabilitasi korban tersebut, karena dia telah dihukum mati. Namun, hukuman yang tepat untuk koruptor selain hukuman seumur hidup, adalah memiskinkannya secara ekonomi, dan hukuman yang mempermalukannya”, ujar Alvon.
Sejalan dengan itu, Misbah, seorang guru Madarasah Ibtidaiyyah mengungkapkan bahwa, “Hukuman mati tidak perlu diterapkan di Indonesia, karena masih banyak hukuman alternatif lain bagi koruptor, seperti kerja rodi, diarak keliling kota atau apa saja. Pokoknya yang bikin jera itu tidak harus hukuman mati, masih banyak alternatifnya,” papar Misbah.

ABDULLAH HEHAMAHUA: Saya Setuju Koruptor Dihukum Mati

Wacana pemberian hukuman mati terhadap terdakwa korupsi kini kian santer setelah MUI secara tegas mempublikasikan tentang itu. Wacana tersebut sebenarnya juga pernah dilontarkan oleh Abdullah Hehamahua, SH, MM., dahulu ketika menjadi calon pimpinan KPK. Seperti apa selengkapnya, berikut PAPARAN mantan Dewan Penasehat Komisi Pemberantasan Korupsi itu.

Bagaimana anada melihat hukuman bagi pelaku korupsi di Indonesia selama ini?
Sebenarnya hukuman yang selama ini diberikan terhadap koruptor menurut saya itu tidak efektif, hal tersebut justru melah memacu masyarakat untuk bersikap apatis. Jadi hukuman penjara tidak menyelesaikan masalah. Toh kita lihat di penjara ada yang bisa bawa hand phone, laptop, karena bisa bayar di dalam penjara.
Saya menilai bahwa masyarakat umum telah apatis terhadap pemberantasan korupsi. Sebab masyarakat menilai bahwa uang hasil korupsi, bukanlah milik pribadi mereka. Hasil survei 2007-2009, masyarakat apatis terhadap pemeberatasan korupsi. Mereka menganggap bahwa uang yang dikorupsi adalah uang negara, uang pemda, bukan pribadi mereka, jadi mereka tidak peduli. padahal mereka lupa bahwa uang tersebut adalah uang mereka juga dari pungutan pajak. 

Lantas bagaimana hukuman yang efektif untuk koruptor ?
Menurut saya hukuman yang ditetapkan bagi koruptor adalah minimal lima tahun penjara (ketika harus dengan penjara) dan maksimal hukuman mati. Selain itu, sanksi sosial juga sangat penting, dan pemiskinan koruptor juga harus dilakukan untuk memberikan efek jera dengan menyita semua harta hasil korupsi. Namun saya sangat setuju jika koruptor itu di hukum mati.

Bagaimana kriteria untuk hukuman mati ?
Hukuman mati bisa diberikan jika nilai uang yang dikorupsi Rp50 miliar atau lebih, maka koruptor layak diberikan hukuman mati. Jika uang yang dikorupsi di bawah itu, maka hukuman yang pas adalah pemiskinan dan sanksi sosial.
Sebenarnya untuk hukuman itu telah tertera pada Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi yang mengatakan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dilakukan secara konkrit. Dan saya mengusulkan korupsi diatas 50 M harus mendapat hukuman mati. Kan di UU sudah ada, cuma bias, saya ingin itu dikonkretkan. Namun sebaliknya, koruptor kelas teri tak perlu dipenjara. Cukup diberikan sanksi social dan pemiskinan agar jera.
Dan sebenarnya yang tercantum dalam UU tentang Tindak Pidana Korupsi itu semua berdasarkan  Alquran dan Hadist.  Misalnya, hukuman bagi koruptor menurut Islam yakni hartanya dirampas dan dicambuk.

Seperti apa hukuman sosial bagi koruptor?
Menurut saya tak perlu ada hukuman penjara bagi para terpidana korupsi. Mereka, hanya perlu hukuman sosial, misalnya dipekerjakan di kebun kelapa sawit dan karet. Hasilnya seperempat bagi mereka dan tiga perempat membayar kerugian negara. Jika mereka dipekerjakan di kebun kelapa sawit, mereka hanya diberikan peralatan menanam dan memasak, selain itu tidak boleh ada alat komunikasi dan hanya boleh ditemui petugas. Dia berkebun di situ sehingga pulau itu bermanfaat, saya sarankan kerja di kebun karet hasilnya bayar utang baru dilepaskan. Pada prinsipnya, perlu dibangun  sistem agar pejabat itu tidak mau korupsi, tidak bisa korupsi, dan takut korupsi.
Jadi, dengan bentuk sanksi seperti ini pemerintah tak perlu lagi memusingkan soal biaya pembangunan penjara, atau perawatannya. Uang triliun rupiah, lebih baik tak usah dialokasikan untuk penjara. Cukup dengan sanksi sosial saja.

Apa saran anda agar sebuah lembaga tidak korup ?
Sebenarnya banyak factor namun yang penting adalah adanya pengawasan yang efektif. Dalam sistem manajemen yang modern selalu ada instrumen yang disebut internal kontrol yang bersifat in build dalam setiap unit kerja. Sehingga sekecil apapun penyimpangan akan terdeteksi sejak dini dan secara otomatis pula dilakukan perbaikan. Tetapi internal kontrol yang ada disetiap unit kini sudah tidak lagi berjalan dengan semestinya oleh karenanya pejabat atau pegawai terkait bisa melakukan tindakan korupsi.



Hukuman Mati Bisa Dilakukan, Asal….

            Mampu dan pantaskah Indonesia melaksanakan hukuman mati bagi pelaku koruptor? Memang butuh pemikiran dan pembahasan yang rumit dan panjang. Seperti apa sebenarnya, berikut penjelasan pakar politik dan tata negara.

Dr. Rahmat Bowo Suharto, S.H., M.H. Pakar hukun dan tatanegara, Program Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Unnisulla.
            Hukuman mati bagi koruptor masih pro-kontra. Yang setuju beralasan karena kejahatannya luar biasa kejamnya. Makanya tidak ada hukuman yang setimpal selain vonis mati. Tapi bagi yang menolak karena termasuk pelanggaran HAM, yang berhak menentukan mati itu Tuhan, bukan manusia. Kalaupun toh diterapkan apakah kejahatan hilang sama sekali ?
            Pantas tidaknya koruptor dihukum mati, mari kita lihat UU no. 31 tahun 1999 yang dirubah  UU no. 20 tahun 2001 tentang pemberantasan Tipikor. Di dalam UU 31 pasal 2 disebutkan bahwa hukuman mati di Indonesia diterapkan pelaku tindak pidana korupsi yang mengambil keuangan negara saat terjadinya keadaan darurat negara, bencana alam, krisis moneter dan pengulangan kasus (residivis korupsi). Pertanyaannya, kalau begitu penerima suap seperti Akil Mochtar tidak termasuk? Padahal Prof. Jimly Ashiddiqqie dengan geramnya sampai mengatakan harus dihukum mati karena dia orang yang terhormat posisinya di sebuah lembaga strategis yang seharusnya menjadi contoh dan panutan. Sedangkan di dalam UU 31/99 tidak menyebutkan penerima suap, dan UU no. 20/2001 berbunyi hukuman penerima suap seumur hidup. Ini persoalannya teks Undang Undang.
Nah di sini apakah para penegak hukum bisa melakukan kreasi dan inovasi, karena dalam ilmu hukum ada dua pandangan, yakni legalistik atau progresif. Kalau hakim legalistik, dia menjalankan seperti yang dikatakan UU, tak bisa berbuat banyak selain menghukum maksimal seumur hidup, karena undang undangnya bilang begitu. Beda kalau hakimnya progresif maka akan dilakukan kreasi. Lewat berbagai pertimbangan lain, perasaan keadilan, efek jera yang ingin segera terwujud, bisa jadi jaksanya minta hukuman mati hakimnya mengabulkan. Dan itu boleh-boleh saja menurut Prof Jimly.
Menurut saya UU memang tidak mengatur hukuman mati penerima suap, tapi  mengambil uang negara dalam situasi tertentu harus hukuman mati, karena kejahatannya luar biasa merampas hak-hak masyarakat yang seharusnya menjadi pihak yang menerima keuntungan dari negara.
Selanjutnya, tindakan korupsi itu konspiratif, saling menutupi. Maka butuh cara khusus untuk menanganinya. Dalam UU tipikor, KUHP, petugas KPK boleh menggeledah tanpa perintah pengadilan, menjebak, menyadap dan seterusnya yang berdiri di atas lembaga pengadilan tersendiri. Namun sayang sanksi hukumnya ringan. Dari sini keuntungan bagi pelaku serta kerugian negara sangat besar. Ini realitas yuridisnya UU berbunyi seperti itu.
Seandainya kita ingin korupsi berkurang dan hilang maka kita harus memberikan penekanan yang luar biasa seperti penerapan pidana mati. Cuma persoalannya yang membuat UU berada di wilayah legislatif banyak diisi oleh tokoh-tokoh politik dimana mereka juga banyak yang korupsi. Apakah mereka mau membuat undang undang yang menggali kuburnya sendiri. Ini petanyaan kritis tapi pesimis dan sulit terjadi selama unsur politik tidak bersih, cari duit dan kekuasaan.
Karena itu untuk mewujudkan cita-cita ini diperlukan kultur politik yang bersih. Pertama butuh tongkat komando yang punya keberanian luar biasa. Dia pasti akan didukung rakyat ketika punya komitmen tipikor harus dihukum tanpa ampun seperti orang kena narkoba. Saat hendak merubah UU, ketika desakan rakyat yang semakin kuat maka DPR tidak akan berani main-main, karena konstituennya ada di rakyat. Bila rakyat sudah marah dia pasti akan berhitung, mau tidak mau harus merumuskan galian kuburnya sendiri.  Semua itu perlu pembenahan sistem politik yang ada sekarang ini. Kalau sistem politiknya masih seperti ini saya kira korupsi itu akan menjadi bagian dari kehidupan ketatanegaraan kita. Persoalan hukum cuma sekedar sanksi, bukan menjadi jaminan korupsi itu hilang.
Kemudian yang tak kalah pentingnya, siapa yang harus menerapkan sanksi, pejabat penegak hukum? Persoalannya, ketika pejabat penegak hukum berjiwa korup ya apa bedanya. Maka pengawasan terhadap penegak hukum itu menjadi pra-sarat berjalannya hukum secara adil, fair. Kalau hakim konstitusi, hakim MA sudah korup maka dia tidak bisa membersihkan lagi, perlu dilakukan cleaning the cleaner. Siapa yang dimaksud dengan cleaner, penegak hukum yang kotor.


PBNU: HUKUMAN MATI SESUAI SYARI'AT

            Korupsi tidak hanya menyengsarakan rakyat tapi juga mengakibatkan kerusakan di muka bumi ini sehingga pelakunya pantas mendapat hukuman yang setimpal, yakni vonis mati. Meskipun masih sebatas gagasan, namun pro-kontra tak henti-hentinya bermunculan. Lalu bagaimana sikap Islam terhadap vonis ini, berikut komentar Ketua PBNU selepas pelantikan PWNU Jateng.

Prof. DR. KH Said Aqil Siradj, MA. Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
Negeri ini memiliki kekayaan alam yang mampu memberi makan, menghidupi dan memberikan berbagai fasilitas layanan lebih dari 250 juta penduduknya secara cuma-cuma. Namun semua kekayaan di negeri ini tidak cukup untuk satu orang koruptor yang rakus.
Bayangkan, itu hanya seorang koruptor. Bagaimana kalau koruptornya ribuan, berapa kekayaan negara yang dikeruk mereka. Karena itu perbuatan korupsi di negeri ini mampu mengguncangkan, bahkan merusak eknomi negara, dan hukuman mati pantas dijatuhkan pelakunya. Para ulama, kiai dan tokoh-tokoh NU tidak boleh men­­sholatkan jenazah koruptor. Sikap kami harus jelas dan tegas terhadap mereka yang mem­­bangkrutkan negara.

Apakah semua pelaku koruptor harus menerima hukuman mati?
            Menurut saya pelaku korupsi dibagi dua tingkatan, yaitu yang merugikan negara dan yang membangkrut­kan negara. Koruptor yang merugikan negara, hanya seberapa yang diambil cukup dipotong tangannya saja, dan ini sudah membuat mereka jera. Tapi jika sampai mem­bangkrutkan negara korupsi miliaran rupiah hingga nilainya triliunan rupiah, Mereka ini yang termasuk membuat kerusakan dimuka bumi ini, karena tidak hanya merugikan negara, tapi juga merusak segala aspek, baik moal, politik, ekonomi, sosial, budaya dan masyarakat menajdi sengsara. Karena itu hukumannya tidak bisa ditolerir, seberat-beratnya atau mati. Mereka telah membuat kerusakan di muka bumi. Dalam Al-Qur’an telah disebutkan, “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar,” (QS Al-Maidah 33)

               Karena itu sejak Muktamar Nahdlatul Ulama di Boyolali sudah tercetus pelaksanaan hukuman mati bagi kejahatan ini jika hukuman lain tidak bisa membuat jera. dan alhamdulillah ini juga didukung oleh persetujuan Musyawarah Nasional Majelis Ulama Indonesia di Jakarta semua setuju. Dan pada Munas Nahdlatul Ulama di Cirebon September lalu berisi rekomendasi hukuman mati bagi koruptor yang mengulangi perbuatannya. Fatwa ini pun langsung di sambut oleh berbagai kalangan diantaranya datang dari Ketua Mahkamah Konstitusi, Menteri Keuangan serta Wakil Ketua DPR.











Share this article :

2 komentar:

  1. Kalau hukuman mati benar-benar dijalankan di Indonesia, rasanya penduduk negeri ini akan berkurang banyak,

    BalasHapus
  2. tidak juga, karena hukuman mati itu sifatnya selektif, jadi ada kriteria jumlah nominal korupsinya..

    BalasHapus

Popular Posts

Baris Iklan

BARIS IKLAN

BARIS IKLAN
Agen Tafsir Al Qur'an Al Ibriz Bahasa Jawa Tulisan Latin Semarang

Mengenai Saya

Foto saya
Semarang, Jawa Tengah, Indonesia
 
Support : Alfin | Alfin El-Mlipaki | Sciena Madani
Copyright © 2013. el_mlipaki - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Sciena Madani
Proudly powered by Wonder Ummi