INDONESIA SURGA BAGI KORUPTOR
Di era 70 an kelompok musik Koes Plus pernah menciptakan
lagu dengan lirik “…orang bilang tanah kita tanah surga….“ Barangkali ada
benarnya di zaman sekarang, sayangnya lirik itu hanya berlaku buat para
koruptor.
Kenapa
Indonesia mendapat julukan negeri surga bagi koruptor? Jawabannya mudah,
fakta
di lapangan menunjukkan bagaimana dahsyatnya perilaku korupsi di masyarakat dan
betpa bebasnya para pelaku koruptor melakukan aksinya menumpuk pundi-pundi
uang. Bahkan setiap kali tertangkap selalu menebar senyum tanpa menunjukkan
mimik ketakutan maupun penyesalan. Semua ini terjadi karena berbagai alasan,
dari yang memanjakan si pelaku dengan mudahnya akses, kesempatan hingga hukuman
yang bersahabat.
Karena
itu kasus korupsi sekarang
ini bukan lagi dimonopoli kalangan elite partai atau penguasa
saja. Lemahnya pengawasan dan ‘ramahnya’ hukuman membuat banyak
orang makin “tergiur” untuk ikut ambil bagian. Jika dulu korupsi hanya dilakukan kalangan dan orang-orang
tertentu, kini hampir semuanya ikut ambil bagian (korupsi berjamaah) dan berani
melakukan ketika ada kesempatan. Dari tingkat pejabat tinggi negara hingga
aparat paling rendah kian merajalela bagaikan gurita, semua dianggap sesuatu yang biasa tanpa dosa.
Hukum yang Bersahabat
Indonesia
terkenal dengan keramahannya, termasuk juga di ranah hukum. Para koruptor
merasa nyaman dengan ‘keramahan’ hukum yang berlaku di negeri ini. Apalagi jika
si pelaku terkait
dengan kekuasaan atau konglomerat, maka prosesnya hanya terkesan formalitas dan
sekadar memenuhi tuntutan rakyat.
Proses hukum yang selalu dibuat tarik
ulur dengan beragam alasan yang tidak rasional, biasanya dibarengi dengan
munculnya kasus atau peristiwa-peristiwa lain yang lebih fresh, heboh, seru dan
menjual. Tapi lama kelamaan orang semakin sadar bahwa tujuannya cenderung untuk
pengalihan isu agar memory rakyat tergiring sehingga perlahan-lahan
melupakannya. Atau kalau tidak kasusnya dihentikan di tengah jalan dengan Surat
Perintah Penghentian Penyidikan.
Bilamana mereka benar-benar terjerat
hukum dan dijatuhi pidana, biasanya yang terjerat hanyalah koruptor yang kecil,
sementara koruptor kelas kakap lebih banyak divonis bebas, atau ringan. Bahkan
yang lebih menggelikan lagi, tidak jarang si terdakwa keburu kabur ke luar
negeri setelah dijatuhi vonis bersalah dengan alasan izin berobat di
tengah-tengah proses sidang perkaranya.
Akses Mudah
Negeri
ini luas, besar, kaya, semua ada dan kekayaan alam bisa digali sebagai sumber
pendapatan negara sebagaimana yang tertera dalam Undang-undang Dasar Pasal 33
ayat 2 dan 3. Namun karena lemahnya hukum di negeri ini dan bisa dibeli, kian menambah
para pelaku semakin berani. Lihat saja para koruptor yang menyuap para oknum
tertentu untuk bisa hidup mewah di penjara. Meskipun konteksnya sedang
menjalani hukuman di dalam penjara, kenyataannya mereka bebas jalan-jalan ke
Bali, ke luar negeri, transaksi di dalam penjara, menjadikan bui sebagai kamar
hotel, makan gratis dan masih banyak lagi. Karena itu penjara tidak membuat
mereka jera, namun menjadi suatu lembaga pelatihan yang siap terjun pasca
kebebasannya.
Anekdot
Ada
enekdot menarik dari para koruptor ini, mereka menghitung-hitung besaran angka
korupsi kemudian dikurangi dengan ‘suap’ disana-sini dari penyidikan hingga
vonis bahkan remisi, maka setelah dihitung-hitung masih untung menjadi
koruptor. Korupsi gede-gedean, ditangkap, dihukum ringan lengkap dengan
remisinya, bahkan dijalani dengan nikmat bak tinggal di hotel, sebentar
kemudian menjadi konglomerat atau paling tidak milyarder baru. Dan menjadi
‘raja kecil’ baru, hanya dengan korupsi.
Korupsi & Latah Korupsi
Dalam
penjelasan wikipedia, korupsi atau rasuah berasal dari bahasa Latin yaitu corruptio asal kata
kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, atau menyogok. Adapun secara definisi korupsi disebutkan
sebagai sebuah tindakan pejabat atau pegawai publik, serta pihak lain yang
terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan
kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak.
Sedangkan
latah disebutkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagai suatu penyakit
syaraf yang menyebabkan orang suka tertawa sendiri, atau meniru kata orang dan
sebagainya. Sedang menurut Dr. Rinrin R. Kaltarina, Psi.,M.Si., latah memiliki
dimensi gangguan fungsi pusat syaraf, psikologis, dan social dengan tindakan
meniru.
Indikasi korupsi
Penghasilan seorang pegawai berbeda dengan seorang
pedagang ataupun pengusaha. Pengusaha bisa saja berpenghasilan lebih besar dari
pada pegawai sesuai dengan jenis usahanya, namun seorang pegawai memiliki
penghasilan yang sudah dipatok sesuai dengan pangkat golongan dan posisinya.
Artinya ketika seorang pegawai dengan golongan tertentu terlebih memiliki
banyak anak namun ia sendiri secara kekuatan financial bisa melebihi
pendapatannya dari seorang pegawai padahal di luar kepegawaian tidak ada
pemasukan, misalnya dari hasil jenis usaha. Maka dalam kondisi yang seperti ini
akan memunculan indikasi untuk berkorupsi.
Memunculkan iri
Orang-orang
yang diindikasikan atau jelas terbukti korupsi lebih terlihat memiliki pola
hidup yang tidak wajar disbandingkan dengan pendapatannya. Misalnya dengan
memberikan perhiasan kepada istri yang berlebihan, membelikan anak dengan mobil
yang mewah, dan lain sebagainya. Hal ini jelas akan memunculkan iri bagi
pegawai atau orang lain yang di bawahnya atau sejajar dengan kepangkatannya.
Tujuan kerja untuk meniru pendahulu
Seorang
pegawai baru biasanya bekerja berorientasi pada pendapatan sesuai dengan
posisinya saja, namun melihat para pendahulu yang bergaya hidup dengan tidak
sewajarnya selain memunculkan iri juga sangat berpotensi untuk meniru melakukan
tindakan menyeleweng dari amanah yang diembannya. Akhirnya tindakan korupsi ini
menjadi semacam virus yang mudah mewabah untuk ditiru oleh generasi setelahnya,
bahkan bisa berkelanjutan sampai kapanpun.
Memburu pos basah
Masih
ingat bahwa setiap tahun dari seluruh penjuru nusantara ini, dari variatif
ijazah pendidikan, umur, semua membludak untuk mendaftarkan diri sebagai calon
pegawai negeri sipil (CPNS). Meskipun tidak semua, para pendaftar ini tahu
benar bahwa pekerjaan sebagai pns itu adalah pos basah untuk bermain anggaran
dan ini terbukti terjadi disemua jenjang karirnya. Bisa kita tanya pada setiap
mahasiswa tingkat akhir, prosentasenya untuk mengikuti bursa CPNS selalu lebih
besar dari pada wilayah pekerja swasta yang lain dan ini terjadi merata di
seluruh Indonesia. Lantas sisi mana yang tidak diburu ? hampir semua mengikuti,
semua meniru.
Bangga dengan korupsi
Setiap
orang cenderung senang jika memiliki harta berlebih bahkan dia akan terus
membanggakan atas apa yang dimilikinya. Nampaknya orang yang berkorupsi tidak
serta merta sadar dan lantas bertobat bahwa harta yang dimilikinya adalah dari
hasil yang tidak dibenarkan/ tidak halal. Bahkan secara terang-terangan
meskipun seseorang yang sudah terindikasi berkorupsi suka menyuap masyarakat
dengan seringnya memberikan bantuan materi untuk dengan dalih untuk kepentingan
social.
DAMPAK LUAR BIASA
BANGKRUTNYA NEGARA AKIBAT KORUPSI
Indonesia adalah negara yang sangat
kaya. Untuk memaksimalkan potensi ini, perlu pemimpin yang mampu mengelola
potensi kekayaan alam bangsa ini serta mengedepankan kejujuran. Namun sangat
sayang jika negara ini dikuasai orang-orang yang berjiwa koruptif dan tidak
memiliki integritas, maka kerusakan berantai yang akan terjadi dari beberapa sisi.
Sisi Sumber Daya
Alam
Akibat korupsi dalam bidang sumberdaya
alam, pengelolaan hutan, lahan, dan sebagainya membuat alam hancur, banjir,
bencana, dan sebagainya. Belum lagi kerugian ekosistem yang berdampak kerusakan
alam yang nilainya fantastis. Korupsi telah merusak
pengelolaan hutan serta mengacaukan pertumbuhan ekonomi dengan kerugian
mencapai $7 miliar (Rp. 70 triliun), sebagaimana Human Rights Watch (HRW), yang
dirilis hari Selasa (16/7/13).
Salah
satu indikasi dari kegagalan tata kelola hutan Indonesia adalah berulangnya
kasus kebakaran (pembakaran) hutan yang menyebabkan krisis asap yang menyebar
hingga ke negara tetangga. Wakil Ketua KPK, Bambang Widjojanto membenarkan hal
itu, bahwa selama ini kerugian negara akibat tindak pidana korupsi hanya
dihitung berdasarkan nilai suap. Sementara dampak kerugian akibat korupsi
tersebut tidak pernah terhitung, seperti dampak penebangan pohon, lahan yang
rusak akibat korupsi itu tidak pernah dihitung, yang sebenarnya merugikan
masyarakat dan negara.
Sisi Perpajakan
Citra institusi perpajakan di negeri ini
kian merosot. Terlebih lagi sejak kasus Gayus Tambunan dan Dhana Widyatmika
mencuat, perpajakan seolah menjadi momok di masyarakat. Direktur Jenderal Pajak
Fuad Rahmany mengakui bahwa, praktik suap itu memang ada di institusinya. Namun
kini, perpajakan telah membangun sistem untuk mengantisipasi kasus-kasus itu
berulang. “Jumlahnya tidak terlalu banyak, tapi mereka merusak citra. Kalau
pegawai Ditjen Pajak brengsek semua, tidak ada pemasukan ke kas negara mencapai
Rp. 800 triliun”, ujarnya.
Sisi Pelayanan
Publik
Ketua KPK, Abraham Samad menyatakan, bahwa
pelayanan publik mengalami kerusakan akibat korupsi yang terjadi di tingkat
kelurahan, kepolisian, atau sektor umum lainnya.
“Bisa saja yang punya banyak uang
menyuap oknum petugas kelurahan agar dipercepat pembuatan KTP dengan
mengorbankan antrean lainnya”, ujar Samad.
Menurutnya, korupsi kecil-kecilan yang
sering terjadi di bidang pelayanan publik, seperti di kantor kelurahan atau
kepolisian itu timbul karena kebutuhan untuk hidup. Dia mencontohkan, ada
seorang pegawai kelurahan dengan gaji Rp. 2,5 juta per bulan harus
menyekolahkan ketiga anaknya, sedangkan istrinya tidak bekerja. Ia menilai,
negara harus bertanggung jawab atas hal tersebut, yakni dengan menciptakan
kemakmuran bagi para PNS rendahan, atau aparat TNI dan Polri agar tidak muncul
korupsi kecil yang bisa merusak pelayanan publik.
Sisi Investasi
Korupsi tidak hanya merugikan negara
dalam arti sempit, namun secara menyeluruh negara bisa dirugikan. Karena dengan
banyaknya penyelenggara negara yang terbukti sebagai koruptor menunjukan bahwa
negara ini belum bebas dari korupsi. Pertumbuhan ekonomi negara bisa terhambat
dikarenakan faktor korupsi yang dilakukan oleh oknum-oknum penyelenggara
negara. Angka investasi yang masuk ke negara ini seharusnya bisa lebih besar
dari tahun sebelumnya, namun investasi dinilai mengalami penurunan. Hal ini
disebabkan para investor yang khawatir berinvestasi di Indonesia karena masih banyaknya
kasus-kasus korupsi. Menurut Menko Perekonomian, Hatta Rajasa, bahwa praktik
korupsi yang dilakukan penyelenggara negara bisa menghambat investasi, sehingga
negara sangat dirugikan.
Sisi Hukum
Ketika hukum mudah dibeli maka keadilan menjadi diskriminatif. Semua mudah dibolak-balikkan, yang kaya menjadi raja yang miskin
kian menderita, yang salah bisa menjadi bebas yang benar haknya kian terampas.
Dampak yang paling nyata adalah makin
meluasnya ketidakpercayaan rakyat pada lembaga negara. Karena itu, tidaklah
mengherankan para bila supermasi hukum di negeri ini kian merosot
kewibawaannya. Hukum tak lagi bersifat responsif, melainkan berubah menjadi
instrumen dalam rangka memperluas kewenangan kekuasaan untuk memeras rakyat
atas nama peraturan daerah dan melegalisasi kesewenangan. Secara teori hukum
tetap bekerja secara prosedural tapi kenyataanya sudah kehilangan makna
substantif dan spiritualitasnya.
Inilah yang terjadi di negara hukum
NKRI. Lambang supremasi hukum kian merosot kredibilitasnya, lembaga peradilan
terus menerus mendapat tekanan dan cemoohan dari publik dan ketidakmampuan akan
proses penegakan hukum berdampak langsung pada peningkatan kecemasan
masyarakat. Akibatnya rakyat yang menjadi korban kecewa sehingga mereka lebih
cenderung main hakim sendiri, penyelesaian lebih menggunakan
kekerasan,mengkhawatirkan, setiap masalah atau pertikaian yang muncul
diselesaikan dengan kekerasan sehingga kerusuhan terjadi di mana-mana. Semua
ini merupakan wujud dari kekecewaan dimana sudah banyak terjadi kerap dipakai
masyarakat untuk mewujudkan keadilan versi mereka.
Sisi Anggaran
Secara langsung maupun tidak langsung korupsi telah
mengurangi anggaran negara dan pendapatan pemerintah terpangkas banyak. Contohnya,
untuk satu kasus saja lebih dari 50% kas negara hilang akibat dugaan korupsi
Presiden Soeharto yang disinyalir menggelapkan uang negara sekitar 1,7 triliun,
hingga hari ini tak kunjung ada titik temunya. Agar pengeluaran pemerintah
tidak defisit akhirnya dilakukan pengurangan pengeluaran anggaran negara.
Di sisi lain, untuk pembiayaan
operasional KPK negara harus megneluarkan biaya ekstra. Misalnya dalam
membongkar berbagai kasus korupsi seperti Century (yang hingga kini makin membias)
disinyalir sudah menghabiskan uang negara sebesar 6,7 Triliun. Kemudian saat
penangkapan Nazarudin ke Bogota, Kolombia tidak tanggung-tanggung, telah menghabiskan
dana sebesar 4 Miliar. Mahalnya biaya yang dikeluarkan untuk menyewa pesawat
ini tidak berbanding lurus dengan tahapan penyelesaian kasus ini. Tapi sampai
hari ini belum satupun ada yang beres atau diproses secara hukum.
Sisi Hubungan
Multilateral
Ketika pemerintah bersiap-siap menghadapi
perdagangan bebas (terlebih dengan masuknya negara non ASEAN, China, Korea dan
Jepang), pembangunan ekonomi dalam penciptaan kekuatan dan ketahanan ekonomi
domestik akan sedikit terhambat jika masih tingginya angka korupsi di negeri
ini.
Dampak yang ditimbulkan
akibat ulah para koruptor tidak hanya terhambatnya pembangunan dalam bidang
ekonomi saja, pendidikan, politik, hukum, bahkan keamanan pun akan mengalami
kesulitan. Keterkaitan ini tidak hanya dari segi ekonomi dan hukum saja, tetapi
kondisi politik nasional, keamanan dan juga sosial budaya, jadi dapat
disimpulkan bahwa kelima aspek, yaitu ekonomi, hukum, politik, keamanan, dan
sosial budaya mempunyai keterikatan satu sama lainnya. Jika satu aspek saja
terjadi penyelewengan maka sudah dapat dipastikan akan berdampak pada aspek
lainnya. Oleh karena itu jika korupsi tetap terus langgeng maka jangan harap
bisa mampu meningkatkan pertumbuhan di negeri ini, baik dari aspek ekonomi,
politik, keamanan, sosial budaya, juga dari aspek hukum itu sendiri.
Sisi Pembangunan
Korupsi telah mengurangi pengeluaran untuk
biaya operasi dan perawatan dari infrastruktur, anggaran pembiayaan untuk
perawatan fasilitas umum, menurunkan produktivitas dari investasi publik dan
infrastruktur suatu negara.
Penumpang di Negeri Sendiri
Negeri ini kaya raya, apapun ada dan mampu menghidupi 250
rakyatnya. Namun karena kerakusan para koruptor yang kian menjadi-jadi, maka lewat kekuasaan dan kebijakannya mereka dengan tega menjual harga diri bangsa. Investor-investor
asing dengan mudahnya masuk ke dalam negeri. Lantaran membawa ‘pelicin’ yang tebal ijin menjadi lancar, birokrasi tak berbelit, suara rakyat dibungkam, dan semuanya serba beres.
Akibatnya, setelah sektor-sektor vital
dikuasai asing akhirnya bangsa ini hanya bisa menumpang tinggal di
negeri sendiri. Rakyat menjadi
budak-budak kapitalis di tanah kelahirannya yang sebenarnya kaya raya. Yang
lebih parah lagi, korbannya bukan hanya generasi sekarang, tapi hingga anak cucu
kita kelak akan ikut menanggung akibatnya. Kerugian bukan hanya pada sektor
finansial, lantaran berkurangnya pendapatan negara maka
rusaklah struktur pemerintahan yang akan berimbas pada moral bangsa ini.
KORUPSI MERUSAK
SENDI-SENDI KEHIDUPAN
Korupsi memiliki dampak yang kompleks
pada sebuah negara. Tidak hanya kacaunya sistem pemerintahan, terkurasnya uang
negara dan ketidakadilan, namun dampak terburuknya adalah dampak pada perekonomian
negara yang akan berimbas pada kesejahteraan umum, terutama rakyat kecil.
Sendi Ekonomi
Pada wilayah ekonomi, korupsi
menyebabkan kemiskinan. Rakyat tidak mendapatkan haknya sebagai rakyat dan
mengalami pemiskinan karena korupsi. Korupsi menyebabkan kualitas infrastruktur
pembangunan, seperti jalan, listrik, jembatan, irigasi, dan sebagainya yang
menjadi dasar perekonomian nasional menjadi rendah.
Korupsi memiliki korelasi negatif dengan
tingkat investasi, pertumbuhan ekonomi, dan pengeluaran pemerintah untuk
program sosial dan kesejahteraan. Oleh karena itu, korupsi dapat mengakibatkan
rakyat kecil hidup semakin tertekan, serta menciptakan generasi yang malas
bekerja, atau kurang giat bekerja. Ini dikarenakan karena uang pajak yang
mereka bayarkan kepada negara, akan dikorupsi oleh para koruptor.
Sendi Moral
Korupsi secara etimologis berarti busuk,
rusak, menggoyahkan, dan menyogok. Pembusukan moral menjadi akibat utamanya.
Moral yang busuk akan menulari wilayah-wilayah hidup manusia lainnya. Korupsi
pada ranah moral dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang merusak moral manusia.
Korupsi yang semakin subur dan seakan
tak pernah ada habisnya, baik di tingkat pusat sampai daerah merupakan bukti
nyata betapa bobroknya moralitas para pejabat pemerintahan. Tindakan korupsi yang dilakukan secara terus-menerus dan secara
sistemik serta dalam jangka waktu yang lama, tentu saja menjadi penyebab
lahirnya budaya buruk, yakni budaya koruptif. Jika korupsi telah menjadi
budaya, maka budaya itu akan semakin sulit untuk disembuhkan. Korupsi yang
terlalu lama dilakukan dalam masa pasca-kemerdekaan ini, secara tak langsung
dan tak disengaja, juga merupakan proses pembudayaan. Oleh karena itu, korupsi
dapat memunculkan generasi yang bermental koruptif, karena banyak mendapatkan
pendidikan yang tidak bermoral, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Sendi Pendidikan
Sektor pendidikan yang merupakan sektor
kunci dalam pembangunan nasional juga terkena imbas korupsi. Korupsi telah
menggerogoti pendidikan. Anggaran pendidikan yang minim menjadi berkurang.
Akibatnya, warga negara tidak mendapat hak pendidikan sewajarnya. Banyak
sekolah rusak, jumlah anak putus sekolah meningkat, dan pungutan kian membebani
orangtua murid. Ini merupakan dampak buruk korupsi pendidikan.
Selain itu, korupsi juga memunculkan
generasi yang malas, karena berorientasi belajar untuk menjadi pegawai yang
memiliki lahan “basah” korupsi. Mereka berharap dapat kerja yang mudah serta
gaji besar, bahkan jika perlu menyuap untuk menjadi pegawai. Jadi, konsisi ini
memunculkan generasi yang menjadikan pendidikan sebagai sarana mendapat
keuntungan, bukan berorientasi ilmu.
Sendi Politik
Secara umum dapat dikatakan bahwa,
bentuk korupsi pertama adalah korupsi politik, di mana terjadi penyalahgunaan
kekuasaan publik (politik) untuk memperoleh keuntungan pribadi. Dalam hal ini,
kekuasaan meracuni motivasi banyak orang, sehingga menciptakan generasi yang tidak
lagi bekerja dan berkarya dengan tulus, namun genrasi bersikap korup dan tipu
daya. Keorupsi juga memikat manusia untuk mengejarnya kekuasaan, walaupun
dengan meninggalkan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur.
Bangga dengan korupsi
Setiap
orang cenderung senang jika memiliki harta berlebih bahkan dia akan terus
membanggakan atas apa yang dimilikinya. Nampaknya orang yang berkorupsi tidak
serta merta sadar dan lantas bertobat bahwa harta yang dimilikinya adalah dari
hasil yang tidak dibenarkan/ tidak halal. Bahkan secara terang-terangan
meskipun seseorang yang sudah terindikasi berkorupsi suka menyuap masyarakat
dengan seringnya memberikan bantuan materi untuk dengan dalih untuk kepentingan
social.
PENGAKUAN MASYARAKAT
Kami Kecewa
Begitu luasnya dampak yang terjadi akibat tindakan korupsi
seseorang, bahkan begitu luar biasanya kerugian negara hingga berakibat pada
rusaknya sistem kehidupan di dunia ini. Hal ini tentu akan memunculkan
pandangan yang terpusat dengan tidak lagi memberikan simpati terhadap pejabat
yang seperti itu. Berikut beberapa tanggapan masyarakat mengenai tindakan
korupsi yang dilakukan oleh pegawai atau pejabat pemerintahan negeri ini.
Iwan Ardianto, Guru SMA 5 Semarang
Wah kalau menurut saya itu tidak bisa dijadikan suri
tauladan, keberadaan mereka sebenarnya menjadi wakil rakyat yang seharusnya
menjadi panutan bagi masyarakat. Namun ketika yang terjadi adalah sebaliknya
yaitu menyalai amanah yang telah diberikan kepadanya maka menurut saya mereka
harus diberikan hukuman yang seberat-beratnya, bahkan lebih berat dari hukuman
orang biasa yang melakukan sebuah kesalahan.
Kita semua kecewa dengan para pejabat yang telah berbuat
demikian. Oleh karenanya secara undang-undang yang berlaku harus mendapat
hukuman terberat semaksimal mungkin. Antara jaksa penuntut umum dan hakim kalau
bisa disamakan pendapatnya bahkan kalau bisa ditambahkan lagi. Karena selama
ini saya memandang hukuman yang telah diberikan kepada tersangka korupsi itu
belum bisa memberikan efek jera pada si pelaku.
Ahmad Rofa’I, Kepala Kesbangpollinmas
Provinsi Jawa Tengah
Secara aturan jelas bahwa pegawai
yang seperti itu entah apapun posisinya telah menyalahi aturan bahkan dalam hal
yang lebih luas lagi telah menciderai nilai-nilai luhur pancasila sebagai salah
satu panutan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Secara pribadi saya
menyayangkan apabila ada pegawai yang berani berbuat demikian, karena
bagaimanapun dia telah menyelewang dari tugas yang diembannya.
Dan dalam undang-undang yang berlaku
kan sudah disebutkan bagaimana besaran hukuman yang dijatuhkan, maka saya
berharap agar bisa diproses seadil-adilnya. Untuk proses hukuman, ya sudah
selayaknya kita serahkan pada lembaga yang berhak untuk memprosesnya, dalam hal
ini jelas KPK dan pengadilan Tipikor.
Muhammad Rizal,
Pelajar SMP
Kalau dipikir-pikir ketika uang saya
dicolong jelas akan jengkel dan marah mas, tetapi mau bagaimana lagi kita juga
tahu mereka itu pejabat yang punya kekuasaan yang bisa seenaknya sendiri. Toh
kalau sudah dipenjara juga hampir tidak ada bedanya, segala fasilitas bisa
dengan mudah mereka dapatkan disana krena mereka punya uang. Jadi kekecewaan
saya dobel, sama koruptor dan pengadilan yang sepertinya belum bisa memberikan
hukuman yang adil pula.
Arif Hidayat,
Mahasiswa
Bagaimana mas ya, yang jelas sangat
memalukan lah, terlebih tindakan itu dilakukan oleh orang yang terdidik.
Harapan saya para pejabat yang seperti itu harus diberi hukuman yang
seberat-beratnya agar kedepan tidak ada lagi yang menirunya lagi, karena
semakin merebaknya perbuatan itu karena ketidak jeraan mereka atas hukuman yang
mereka terima.
Muslikhah, Ibu
rumah tangga
Kadang kalau lihat berita di
televisi itu saya sudah malas mas, lha berita yang ada selalu berita pejabat
korupsi terus. Kok ya mereka itu tidak mikir, kalau mereka itu ditugasi untuk
mikir rakyat bukan untuk dirinya sendiri. Kalau boleh usul ya hukum saja
seberat-beratnya biar pada kapok.
MUI ; HUKUM MATI SAJA
Kronologi
Hukuman bagi koruptor selama ini tak
mendatangkan efek jera. Majelis Ulama Indonesia (MUI) melihat vonis hukuman
terhadap koruptor di Indonesia masih terlalu ringan. Hal ini menimbulkan rasa
ketidakadilan di masyarakat. Karena itu, MUI merekomendasikan agar pelaku
korupsi dihukum mati. Rekomendasi itu disampaikan dalam Rapat Kerja Nasional
(Rakernas) MUI di Hotel Twin Plasa, Jakarta, Sabtu (14/9/2013). Selain
mendorong pemberlakuan hukuman paling berat itu, MUI juga mengusulkan agar
terpidana korupsi dihukum kerja sosial.
“MUI mendorong majelis hakim Pengadilan
Tipikor menjatuhkan hukuman seberat-beratnya kepada koruptor kakap, bahkan
hukuman mati. MUI juga merekomendasikan kerja sosial, selain pidana penjara.
Mereka juga harus membersihkan fasilitas publik, seperti pasar, terminal,
lapangan, panti asuhan, dan sebagainya untuk memberi efek jera dan mencegah
masyarakat agar tidak mengikuti jejak para koruptor,” kata Ketua MUI, KH. Amidhan
saat membacakan rekomendasi MUI, dan dihadiri pengurus MUI lainnya. Selain itu,
MUI juga meminta agar para koruptor yang terbukti bersalah disita semua
kekayaan hasil korupsinya.
Pertimbangan
Menurut Amidhan, begitu besar desakan
masyarakat kepada MUI agar mengeluarkan seruan supaya koruptor mendapat hukuman
yang memberi efek jera, mengingat kejahatan korupsi demikian masif (kuat) di
negeri ini.
“Masyarakat menilai, selama ini para
koruptor tetap bisa hidup nyaman di tahanan, karena bisa membeli fasilitas dari
oknum-oknum di penjara, sehingga tidak ada efek jera,” kata Amidhan.
Sebelum ini, usulan hukuman mati bagi
koruptor sebenarnya telah disampaikan sejumlah lembaga dan aktivis antikorupsi.
Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama, tahun lalu, menyampaikan fatwa
serupa. Sekjen PBNU Marsudi Syuhud saat itu mengatakan, usulan tersebut
merupakan masukan warga Nahdliyyin di tingkat Ranting. Menurutnya, para pelaku
korupsi cenderung tidak punya rasa malu lagi, bahkan tak jarang mencalonkan
diri untuk meraih jabatan di pemerintahan.
Penerapan hukuman mati terhadap koruptor
ini di mata ahli hukum dari Universitas Indonesia, Akhiar Salmi, tidak
melanggar HAM, karena korupsi secara perlahan akan menghancurkan negara.
“Koruptor itu lebih jahat daripada
teroris dan pelaku kriminal lainnya. Karena itu hukuman mati harus diterapkan
bagi mereka. Tanpa hukuman mati, para koruptor tidak pernah jera dan akan
berulang, bahkan mendarah daging seperti sekarang,” kata Akhiar Salmi.
Landasan
Rekomendasi MUI di atas juga memiliki
landasan yang jelas, yakni Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor, yang menyebutkan,
setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup
atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda
paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.
Kemudian dalam ayat (2) disebutkan,
dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
dalam keadaan tertentu, pidana mati
dapat dijatuhkan. Dalam penjelasan ayat (2) dinyatakan, yang dimaksud dengan
”keadaan tertentu”, yakni apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu
negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada
waktu terjadi bencana alam nasional, pengulangan tindak pidana korupsi, atau
pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.
PRO KONTRA HUKUMAN MATI KORUPTOR
Hukuman mati telah lama menjadi topik
debat klasik di antara para ilmuwan, pejabat, ahli hukum dan masyarakat.
Masing-masing kelompok, baik yang menentang (kelompok abolisionis) maupun yang mendukung
hukuman mati (kelompok retensionis) memiliki dasar dan argumen masing-masing.
Pro
Teten Masduki, Koordinator Indonesia
Corruption Watch (ICW), mendukung hukuman mati bagi koruptor. “Saya setuju
hukuman mati terhadap para koruptor. Seorang koruptor besar lebih jahat dari
tentara yang membunuh demonstran”, kata Teten.
Di mata Teten, tindak pidana korupsi
merupakan kejahatan luar biasa terhadap kekerasan dan hak asasi manusia (HAM).
Alasannya, kekerasan dan pelanggaran HAM memiliki sifat yang sama dengan
korupsi, yakni meluas dan sistematis. Menurutnya, para koruptor yang harus
dihukum mati adalah para koruptor yang ‘merampok’ uang negara miliaran rupiah,
seperti kasus dana BLBI. Jadi, bukan kelas teri, seperti karyawan yang mencuri
di kantornya. “Saya sudah muak. Jadi, sebaiknya para koruptor itu dihukum
mati”, tegas Teten.
Menurut Nur Arif, seorang pengusaha di
Kota Semarang menyebutkan bahwa, “Hukuman mati bisa diterapkan bagi koruptor
kalau memang masuk kategori kelas kakap. Maksudnya, jumlah uang yang dikorupsi
minimal mencapai ratusan juta, itu baru sepadan dengan perbuatannya. Tapi kalau
korupsi satu juta, dua juta dihukum mati ya kasihan”, tutur Arif.
Dalam pandangan Sholihin, seorang guru
Sekolah Dasar mengungkapkan bahwa, “Hukuman mati memang layak bagi para
koruptor, karena mereka mengkorupsi uang rakyat. Artinya para koruptor ini juga
menyengsarakan ratusan juta rakyat Indonesia”, ungkap Sholihin.
Kontra
Sementara itu para aktivis HAM menentang
hukuman mati. Mereka berpendapat bahwa, hukuman mati bertentangan dengan
prinsip HAM, Pancasila sila kedua, UUD 1945 pasal 28 A dan 28 I, yang menyatakan
bahwa, hak untuk hidup tidak bisa dikurangi dengan alasan apapun. Usulan
penerapan hukuman mati itu ditolak oleh sejumlah pejabat dan aktivis HAM.
Wakil Menkum HAM, Denny Indrayana,
kurang setuju dengan gagasan hukuman mati bagi koruptor. Menurutnya, masih ada
opsi lain yang lebih efektif untuk memberangus kejahatan korupsi di republik
ini.
“Kalau menganggap dengan hukuman mati
selesai masalah korupsi, itu tidak selesai. Menurut saya itu tidak tepat. Tapi
memang sebagai salah satu teori, orang bicara efek penjeraan, hukuman mati
masih dibuka untuk ruang penghukuman. Kalau ada pilihan hukuman mati atau
pemiskinan, misalnya dalam kasus korupsi, menurut saya lebih baik pemiskinan.
Kalau sudah dimiskinkan, masih korupsi, itu baru hukuman mati karena tidak
kapok”, kata Denny.
Menurut Ketua Yayasan Lembaga Bantuan
Hukum Indonesia, Alvon Kurnia Palma mengatakan, hukuman mati tidak bisa
diterapkan di Indonesia. “Kami menolak hukuman mati untuk koruptor. Peradilan
di Indonesia masih sesat, banyak juga orang yang menjadi korban peradilan sesat.
Bila ada orang yang telah dihukum mati, tapi ternyata ditemukan bahwa dia
hanyalah korban peradilan sesat, maka sulit untuk merehabilitasi korban
tersebut, karena dia telah dihukum mati. Namun, hukuman yang tepat untuk
koruptor selain hukuman seumur hidup, adalah memiskinkannya secara ekonomi, dan
hukuman yang mempermalukannya”, ujar Alvon.
Sejalan dengan itu, Misbah, seorang guru
Madarasah Ibtidaiyyah mengungkapkan bahwa, “Hukuman mati tidak perlu diterapkan
di Indonesia, karena masih banyak hukuman alternatif lain bagi koruptor,
seperti kerja rodi, diarak keliling kota atau apa saja. Pokoknya yang bikin
jera itu tidak harus hukuman mati, masih banyak alternatifnya,” papar Misbah.
ABDULLAH HEHAMAHUA: Saya Setuju Koruptor Dihukum Mati
Wacana
pemberian hukuman mati terhadap terdakwa korupsi kini kian santer setelah MUI
secara tegas mempublikasikan tentang itu. Wacana tersebut sebenarnya juga
pernah dilontarkan oleh Abdullah Hehamahua, SH, MM., dahulu ketika menjadi
calon pimpinan KPK. Seperti apa selengkapnya, berikut PAPARAN mantan Dewan Penasehat Komisi Pemberantasan Korupsi itu.
Bagaimana anada melihat hukuman bagi pelaku korupsi di
Indonesia selama ini?
Sebenarnya
hukuman yang selama ini diberikan terhadap koruptor menurut saya itu tidak
efektif, hal tersebut justru melah memacu masyarakat untuk bersikap apatis.
Jadi hukuman penjara tidak
menyelesaikan masalah. Toh kita lihat di penjara ada yang bisa
bawa hand phone, laptop, karena bisa bayar di dalam penjara.
Saya
menilai bahwa masyarakat umum telah apatis terhadap pemberantasan korupsi.
Sebab masyarakat menilai bahwa uang hasil korupsi, bukanlah milik pribadi mereka.
Hasil survei 2007-2009, masyarakat apatis terhadap pemeberatasan korupsi.
Mereka menganggap bahwa uang yang dikorupsi adalah uang negara, uang pemda,
bukan pribadi mereka, jadi mereka tidak peduli. padahal mereka lupa bahwa uang
tersebut adalah uang mereka juga dari pungutan pajak.
Lantas bagaimana hukuman yang efektif untuk koruptor ?
Menurut
saya hukuman yang ditetapkan bagi koruptor adalah minimal lima tahun penjara
(ketika harus dengan penjara) dan maksimal hukuman mati. Selain itu, sanksi
sosial juga sangat penting, dan pemiskinan koruptor juga harus dilakukan untuk
memberikan efek jera dengan menyita semua harta hasil korupsi. Namun saya
sangat setuju jika koruptor itu di hukum mati.
Bagaimana kriteria untuk hukuman mati ?
Hukuman
mati bisa diberikan jika nilai uang yang dikorupsi Rp50 miliar atau lebih, maka
koruptor layak diberikan hukuman mati. Jika uang yang dikorupsi di bawah itu,
maka hukuman yang pas adalah pemiskinan dan sanksi sosial.
Sebenarnya
untuk hukuman itu telah tertera pada Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Tindak Pidana
Korupsi yang mengatakan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat dilakukan
secara konkrit. Dan saya mengusulkan korupsi diatas 50 M harus mendapat hukuman
mati. Kan di UU sudah ada, cuma bias, saya ingin itu dikonkretkan. Namun
sebaliknya, koruptor kelas teri tak perlu dipenjara. Cukup diberikan sanksi
social dan pemiskinan agar jera.
Dan
sebenarnya yang tercantum dalam UU tentang Tindak Pidana Korupsi itu semua
berdasarkan Alquran dan Hadist. Misalnya, hukuman bagi koruptor
menurut Islam yakni hartanya dirampas dan dicambuk.
Seperti apa hukuman sosial bagi koruptor?
Menurut
saya tak perlu ada hukuman penjara bagi para terpidana korupsi. Mereka, hanya
perlu hukuman sosial, misalnya dipekerjakan di kebun kelapa sawit dan karet.
Hasilnya seperempat bagi mereka dan tiga perempat membayar kerugian negara.
Jika mereka dipekerjakan di kebun kelapa sawit, mereka hanya diberikan
peralatan menanam dan memasak, selain itu tidak boleh ada alat komunikasi dan
hanya boleh ditemui petugas. Dia berkebun di situ sehingga pulau itu
bermanfaat, saya sarankan kerja di kebun karet hasilnya bayar utang baru
dilepaskan. Pada prinsipnya, perlu dibangun sistem agar pejabat itu tidak
mau korupsi, tidak bisa korupsi, dan takut korupsi.
Jadi,
dengan bentuk sanksi seperti ini pemerintah tak perlu lagi memusingkan soal
biaya pembangunan penjara, atau perawatannya. Uang triliun rupiah, lebih baik
tak usah dialokasikan untuk penjara. Cukup dengan sanksi sosial saja.
Apa saran anda agar sebuah lembaga tidak korup ?
Sebenarnya
banyak factor namun yang penting adalah adanya pengawasan yang efektif. Dalam
sistem manajemen yang modern selalu ada instrumen yang disebut internal kontrol
yang bersifat in build dalam setiap unit kerja. Sehingga sekecil
apapun penyimpangan akan terdeteksi sejak dini dan secara otomatis pula
dilakukan perbaikan. Tetapi internal kontrol yang ada disetiap unit kini sudah
tidak lagi berjalan dengan semestinya oleh karenanya pejabat atau pegawai
terkait bisa melakukan tindakan korupsi.
Hukuman Mati Bisa Dilakukan, Asal….
Mampu
dan pantaskah Indonesia melaksanakan hukuman mati bagi pelaku koruptor? Memang
butuh pemikiran dan pembahasan yang rumit dan panjang. Seperti apa sebenarnya,
berikut penjelasan pakar politik dan tata negara.
Dr. Rahmat Bowo Suharto, S.H., M.H. Pakar hukun dan tatanegara, Program
Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Unnisulla.
Hukuman mati bagi koruptor masih pro-kontra. Yang setuju beralasan karena kejahatannya luar biasa kejamnya. Makanya tidak
ada hukuman yang setimpal selain vonis mati. Tapi bagi yang menolak
karena termasuk pelanggaran HAM, yang berhak menentukan mati itu Tuhan, bukan manusia. Kalaupun toh diterapkan apakah kejahatan hilang sama sekali ?
Pantas
tidaknya koruptor dihukum mati, mari kita
lihat UU no. 31 tahun 1999 yang dirubah UU no. 20 tahun 2001
tentang pemberantasan Tipikor. Di dalam UU 31 pasal 2 disebutkan bahwa hukuman mati di Indonesia diterapkan pelaku tindak pidana korupsi yang mengambil keuangan negara
saat terjadinya keadaan darurat negara, bencana alam, krisis moneter dan pengulangan kasus (residivis korupsi). Pertanyaannya, kalau begitu penerima suap
seperti Akil Mochtar tidak termasuk? Padahal Prof. Jimly Ashiddiqqie dengan geramnya sampai mengatakan harus dihukum mati karena dia orang yang terhormat posisinya di sebuah lembaga strategis yang seharusnya menjadi contoh dan panutan. Sedangkan di dalam UU 31/99 tidak menyebutkan penerima
suap, dan UU no. 20/2001 berbunyi hukuman penerima suap seumur hidup. Ini persoalannya teks Undang Undang.
Nah di sini apakah para penegak hukum bisa melakukan kreasi dan inovasi, karena dalam ilmu hukum ada dua pandangan, yakni legalistik atau progresif. Kalau hakim legalistik, dia
menjalankan seperti yang dikatakan UU, tak bisa berbuat banyak selain menghukum maksimal seumur hidup, karena undang undangnya bilang begitu. Beda kalau hakimnya progresif maka akan dilakukan kreasi. Lewat berbagai
pertimbangan lain, perasaan keadilan, efek jera yang ingin segera terwujud, bisa jadi jaksanya minta hukuman
mati hakimnya mengabulkan. Dan itu
boleh-boleh saja menurut Prof Jimly.
Menurut saya UU memang tidak mengatur hukuman mati penerima suap, tapi mengambil uang
negara dalam situasi tertentu harus hukuman mati, karena kejahatannya luar biasa merampas hak-hak
masyarakat yang seharusnya menjadi pihak yang menerima keuntungan dari negara.
Selanjutnya,
tindakan korupsi itu konspiratif, saling menutupi. Maka butuh cara khusus untuk menanganinya. Dalam UU tipikor, KUHP, petugas KPK boleh menggeledah tanpa perintah pengadilan, menjebak,
menyadap dan seterusnya yang berdiri di atas lembaga pengadilan tersendiri. Namun sayang sanksi hukumnya ringan. Dari sini keuntungan bagi pelaku serta kerugian negara sangat besar. Ini realitas yuridisnya UU berbunyi seperti itu.
Seandainya kita ingin korupsi berkurang dan hilang maka kita harus memberikan penekanan yang luar biasa seperti penerapan pidana mati. Cuma
persoalannya yang membuat UU berada di
wilayah legislatif banyak diisi oleh tokoh-tokoh politik dimana mereka juga
banyak yang korupsi. Apakah mereka mau
membuat undang undang yang menggali kuburnya sendiri. Ini petanyaan kritis tapi pesimis dan sulit terjadi selama unsur politik tidak bersih, cari duit dan kekuasaan.
Karena itu untuk
mewujudkan cita-cita ini diperlukan kultur politik yang bersih. Pertama butuh tongkat
komando yang punya keberanian luar biasa. Dia pasti akan didukung rakyat ketika punya komitmen tipikor harus
dihukum tanpa ampun seperti orang kena narkoba. Saat hendak merubah UU, ketika desakan rakyat yang semakin kuat maka
DPR tidak akan berani main-main, karena konstituennya ada di rakyat. Bila rakyat sudah marah dia pasti akan berhitung, mau tidak mau harus merumuskan galian kuburnya sendiri. Semua itu perlu pembenahan sistem politik yang ada sekarang
ini. Kalau sistem politiknya masih seperti ini saya kira
korupsi itu akan menjadi
bagian dari kehidupan ketatanegaraan kita. Persoalan hukum cuma sekedar sanksi, bukan menjadi jaminan korupsi itu hilang.
Kemudian yang
tak kalah pentingnya, siapa yang harus menerapkan sanksi, pejabat penegak hukum? Persoalannya, ketika pejabat penegak hukum berjiwa korup ya apa bedanya. Maka pengawasan
terhadap penegak hukum itu menjadi pra-sarat berjalannya hukum secara adil,
fair. Kalau hakim konstitusi, hakim MA sudah korup maka dia tidak bisa membersihkan lagi,
perlu dilakukan cleaning the cleaner. Siapa yang dimaksud dengan cleaner, penegak hukum yang kotor.
PBNU: HUKUMAN MATI SESUAI SYARI'AT
Korupsi
tidak hanya menyengsarakan rakyat tapi juga mengakibatkan kerusakan di muka
bumi ini sehingga pelakunya pantas mendapat hukuman yang setimpal, yakni vonis
mati. Meskipun masih sebatas gagasan, namun pro-kontra tak henti-hentinya
bermunculan. Lalu bagaimana sikap Islam terhadap vonis ini, berikut komentar
Ketua PBNU selepas pelantikan PWNU Jateng.
Prof. DR. KH Said Aqil Siradj, MA. Ketua
Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
Negeri ini
memiliki kekayaan alam yang mampu memberi makan, menghidupi dan memberikan
berbagai fasilitas layanan lebih dari 250 juta penduduknya secara cuma-cuma.
Namun semua kekayaan di negeri ini tidak cukup untuk satu orang koruptor yang
rakus.
Bayangkan, itu
hanya seorang koruptor. Bagaimana kalau koruptornya ribuan, berapa kekayaan
negara yang dikeruk mereka. Karena itu perbuatan korupsi di negeri ini mampu
mengguncangkan, bahkan merusak eknomi negara, dan hukuman mati pantas
dijatuhkan pelakunya. Para ulama, kiai dan tokoh-tokoh NU tidak
boleh mensholatkan jenazah koruptor. Sikap kami harus jelas dan tegas
terhadap mereka yang membangkrutkan negara.
Apakah
semua pelaku koruptor harus menerima hukuman mati?
Menurut
saya pelaku korupsi dibagi dua tingkatan, yaitu yang merugikan negara dan yang
membangkrutkan negara. Koruptor yang merugikan negara, hanya seberapa yang
diambil cukup dipotong tangannya saja, dan ini sudah membuat mereka jera. Tapi
jika sampai membangkrutkan negara korupsi miliaran rupiah hingga nilainya
triliunan rupiah, Mereka ini yang termasuk membuat kerusakan dimuka bumi ini,
karena tidak hanya merugikan negara, tapi juga merusak segala aspek, baik moal,
politik, ekonomi, sosial, budaya dan masyarakat menajdi sengsara. Karena itu hukumannya
tidak bisa ditolerir, seberat-beratnya atau mati. Mereka telah membuat
kerusakan di muka bumi. Dalam Al-Qur’an telah disebutkan, “Sesungguhnya
pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat
kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong
tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat
kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka
didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar,” (QS Al-Maidah 33)
Karena itu sejak
Muktamar Nahdlatul Ulama di Boyolali sudah tercetus pelaksanaan hukuman
mati bagi kejahatan ini jika hukuman lain tidak bisa membuat jera. dan
alhamdulillah ini juga didukung oleh persetujuan Musyawarah Nasional
Majelis Ulama Indonesia di Jakarta semua setuju. Dan pada Munas Nahdlatul Ulama
di Cirebon September lalu berisi rekomendasi hukuman mati bagi koruptor yang
mengulangi perbuatannya. Fatwa ini pun langsung di sambut oleh berbagai
kalangan diantaranya datang dari Ketua Mahkamah Konstitusi, Menteri Keuangan
serta Wakil Ketua DPR.
Kalau hukuman mati benar-benar dijalankan di Indonesia, rasanya penduduk negeri ini akan berkurang banyak,
BalasHapustidak juga, karena hukuman mati itu sifatnya selektif, jadi ada kriteria jumlah nominal korupsinya..
BalasHapus