( wur (#qçRur$yès? n?tã ÉOøOM}$# Èbºurôãèø9$#ur 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ¨bÎ) ©!$# ßÏx© É>$s)Ïèø9$# ÇËÈ
“…dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada
Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.”
(QS. Al Maidah; 2)
Penjelasan
Ayat
Makna al-Birru dan at-taqwa. Dua kata ini,
memiliki hubungan yang sangat erat. Karena masing-masing menjadi bagian dari
yang lainnya. Secara sederhana, al-Birru berarti kebaikan. Kebaikan
dalam hal ini adalah kebaikan yang menyeluruh, mencakup segala macam dan
ragamnya yang telah ditampilkan oleh syariat. Ibnul Qayyim mendefinisikan bahwa
al-Birru adalah satu kata untuk seluruh jenis kebaikan dan kesempurnaan yang
dituntut dari seorang hamba. Lawan katanya al-itsmu (dosa) yang maknanya
adalah satu ungkapan yang mencakup segala bentuk kejelekan dan aib yang menjadi
sebab seorang hamba sangat dicela saat melakukannya.
Tidak jauh berbeda, Syaikh as-Sa'di
mengatakan bahwa al-Birru adalah sebuah nama yang mencakup segala yang Allah
SWT cintai dan ridhai, berupa perbuatan-perbuatan yang zhahir maupun batin,
yang berhubungan dengan hak Allah SWT atau hak sesama manusia. Dari sini dapat
diketahui, bahwa termasuk dalam cakupan al-Birru, keimanan dan cabang-cabangnya,
demikian pula ketakwaan. Allah SWT telah menghimpun ragam al-Birru
(kebaikan, kebajikan) dalam ayat berikut :
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat
itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu adalah beriman
kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan
memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak -anak yatim,
orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orangorang yang
meminta-minta; dan (memerdekakan) budak, mendirikan shalat, dan menunaikan
zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-
orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam
peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka
itulah orang-orang yang bertakwa.” (Al-Baqarah; 177).
Kebaikan (kebajikan) yang tertera di ayat di
atas mencakup seluruh unsur agama Islam; prinsip-prinsip keimanan, penegakan
syariat seperti mendirikan shalat, membayar zakat dan infak kepada orang yang
membutuhkan dan amalan hati seperti bersabar dan menepati janji. Dalam
ayat ini, setelah memberitahukan ragam kebaikan, di akhir ayat, Allah SWT
menjelaskan itulah bentuk-bentuk ketakwaan (sifat-sifat kaum
muttaqin). Adapun hakikat ketakwaan yaitu melakukan ketaatan kepada Allah
SWT dengan penuh keimanan dan mengharap pahala; baik yang berupa perintah atau
larangan. Kemudian perintah itu dilaksanakan atas dasar keimanan dengan
perintah dan keyakinan akan janji-Nya, dan larangan ditinggalkan berlandaskan
keimanan terhadap larangan tersebut dan dan takut akan ancaman-Nya.
Thalq bin Habib, seorang ulama dari kalangan
generasi tabi'in berkata: "Bila
terjadi fitnah maka bendunglah dengan takwa ". Mereka berkata: "Apa yang dimaksud dengan takwa?". Beliau
menjawab: "Hendaknya engkau melakukan
ketaatan kepada Allah SWT dengan dasar cahaya dari Allah SWT dan mengharap
pahala-Nya. Dan engkau tinggalkan maksiat dengan dasar cahaya dari Allah
SWT dan takut terhadap siksa-Nya ". Ibnul Qayyim memuji
keterangan di atas dengan mengatakan : Ini adalah definisi takwa yang paling
bagus. Beliau menjelaskan, bahwa semua praktek memiliki awal dan tujuan
akhir. Satu amalan tidak dianggap sebagai bentuk ketaatan dan ibadah yang
mendekatkan diri kepada Allah SWT kecuali apabila bersumber dari
keimanan. Artinya dorongan utama melakukan praktek tersebut adalah
keimanan bukan kebiasaan, mengikuti hawa nafsu atau keinginan untuk mendapatkan
pujian dan posisi. Jadi, awalnya adalah keimanan dan tujuan akhirnya
adalah meraih pahala dari Allah SWT serta mengharap keridhaan-Nya atau yang
disebut dengan ihtisab. Oleh karena itu, banyak kita dapatkan kata iman dan
ihtisab datang secara bersamaan seperti contoh berikut: “Barangsiapa yang
puasa ramadhan dengan penuh keimanan (iman) dan mengharap pahala (ihtisab),
maka diampuni semua dosanya yang telah lewat.” (HR. al-Bukhâri Muslim).
Manfaat
Ulama mengatakan bahwa penggabungan kata
al-birr dan at-taqwa dalam satu tempat (seperti ayat di atas) mengandung
pengertian yang berbeda satu sama lain. Dalam konteks ini, al-birr bermaka
semua hal yang dicintai Allah dan diridhai-Nya, baik berupa ucapan dan
perbuatan, lahir dan batin. Sementara at-taqwa lebih mengarah ke tindakan
menjauhi segala yang diharamkan. Makna al-itsmu dan al-'udwân, pada dasarnya,
pengertian antara al-Birru dan at-taqwa, al-itsmu dan al-'udwân terikat pada
hubungan yang kuat. Masing-masing kata itu mengandung pengertian kata
lainnya. Setiap dosa (al-itsmu) merupakan bentuk 'udwan (tindakan
melampaui batas) terhadap ketentuan Allah SWT, yang berupa larangan atau
perintah. Dan setiap tindakan 'udwan, pelakunya berdosa. Namun bila
keduanya disebut bersamaan, maka masing-masing memiliki pengertian yang berbeda
dengan yang lainnya.
Al-itsmu (dosa) terkait dengan
perbuatan-perbuatan yang memang hukumnya haram. Misalnya, berdusta, zina,
mencuri, minum khamer dan lainnya. Contoh-contoh di atas merupakan
perbuatan yang pada asalnya haram. Sehubungan dengan al-'udwan, kata ini
lebih mengarah pada suatu pengharaman yang disebabkan oleh tindakan melampaui
batas. Bila tidak terjadi tindakan melampaui batas, maka diperbolehkan
(halal). Tindakan melampaui batas terbagi dua, pertama: terhadap Allah
SWT, seperti melampaui batas ketentuan Allah SWT dalam pernikahan seperti:
memiliki lima istri, atau menyetubuhi istri dalam masa haidh, nifas, waktu
ihram atau puasa wajib. Dan kedua: Tindakan melampaui batas terhadap
sesama. Misalnya, bertindak kelewat batas terhadap orang yang berhutang,
dengan menciderai kehormatan, fisik atau mengambil lebih dari seharusnya.
Urgensi
Ayat
Dalam ayat ini Allah SWT memerintahkan
hamba-Nya yang beriman untuk saling membantu dalam perbuatan baik dan itulah
yang disebut dengan albirr dan meninggalkan kemungkaran yang merupakan
ketakwaan. Dan Dia Azza wa Jalla melarang mereka saling mendukung kebatilan
dan bekerjasama dalam perbuatan dosa dan hal haram.
Ibnul Qayyim menilai ayat di atas memiliki
urgensi tersendiri. Beliau menyatakan: Ayat yang mulia ini mencakup semua
jenis untuk kemaslahatan para hamba, di dunia maupun akhirat, baik antara mereka
dengan sesama, atau dengan Rabbnya. Sebab seseorang tidak luput dari dua
kewajiban; kewajiban individualnya terhadap Allah SWT dan kewajiban sosialnya
terhadap sesamanya. Selanjutnya, beliau memaparkan bahwa hubungan seseorang
dengan sesama dapat terlukis pada jalinan pergaulan, saling menolong dan
persahabatan. Hubungan itu wajib terjalin dalam rangka mengharap ridha
Allah SWT dan menjalankan ketaatan kepada-Nya.
Itulah puncak kebahagiaan seorang
hamba. Tidak ada kebahagiaan kecuali dengan mewujudkan hal tersebut, dan
itulah kebaikan dan ketakwaan yang merupakan inti dari agama
ini. Al-Mawardi rahimahullah berkata: Allah SWT mengajak untuk
tolong-menolong dalam kebaikan dengan beriringan dengan ketakwaan
kepada-Nya. Sebab dalam ketakwaan, terkandung ridha Allah
SWT. Sementara saat berbuat baik, orang-orang akan menyukai
(meridhai). Barang siapa memadukan antara ridha Allah SWT dan ridha
manusia, sungguh kebahagiaannya telah sempurna dan kenikmatan baginya sudah
melimpah.
Sebagai contoh sikap saling menolong dalam
kebaikan dan ketakwaan, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda: “Bantulah saudaramu, baik dalam kondisi sedang berbuat zhalim
atau sedang teraniaya. Ada yang bertanya: "Wahai Rasulullah, kami
akan menolong orang yang teraniaya. Bagaimana menolong orang yang sedang
berbuat zhalim? "Beliau menjawab:" Dengan menghalanginya melakukan
kezhaliman. Itulah bentuk bantuanmu kepadanya. "
(HR. al-Bukhâri) Dalam hadits lain, beliau Shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda: “Orang yang menunjukkan (sesama) kepada kebaikan, ia bagaikan
mengerjakannya.” (HR. Muslim) Orang berilmu membantu orang lain
dengan ilmunya. Orang kaya membantu dengan kekayaannya. Dan hendaknya
kaum Muslimin menjadi satu tangan dalam membantu orang yang membutuhkan. Jadi,
seorang Mukmin setelah mengerjakan suatu amal shalih, berkewajiban membantu
orang lain dengan ucapan atau tindakan yang mendorong semangat orang lain untuk
beramal. Hubungan kedua, antara seorang hamba dengan Rabbnya tertuang dalam
perintah 'Dan bertakwalah kepada Allah. Dalam hubungan ini, seorang hamba
harus lebih mengutamakan ketaatan kepada Rabbnya dan menjauhi perbuatan untuk
yang menentangnya. Kewajiban pertama (antara seorang hamba dengan sesama) akan
tercapai dengan mencurahkan nasehat, perbuatan baik dan perhatian terhadap hal
ini. Dan kewajiban kedua (antara seorang hamba dengan Rabbnya), akan
terwujud melalui menjalankan hak tersebut dengan ikhlas, cinta dan penuh
pengabdian kepada-Nya. Hendaknya ini dipahami bahwa sebab ketimpangan yang
terjadi pada seorang hamba dalam menjalankan dua hak ini, hanya muncul ketika
dia tidak memperhatikannya, baik secara pemahaman maupun pengamalan.
Penutup
Dengan jelas, ayat di atas memuat kewajiban
saling membantu di antara kaum Mukminin untuk menegakkan agama dan larangan
bagi mereka untuk bekerjasama dalam menodainya. Bukan sebaliknya yaitu
malahan melemahkan semangat beramal orang, mengejek orang yang berusaha
konsisten dengan syariat maupun menjadi dalang tersebarnya perbuatan maksiat di
tengah masyarakat. Wallahu a'lam.
0 komentar:
Posting Komentar