Home » » Jangan Tolong Menolong Dalam Dosa dan Pelanggaran

Jangan Tolong Menolong Dalam Dosa dan Pelanggaran

Written By el_mlipaki on Rabu, 13 Februari 2013 | 16.56



( Ÿwur (#qçRur$yès? n?tã ÉOøOM}$# Èbºurôãèø9$#ur 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# ( ¨bÎ) ©!$# ߃Ïx© É>$s)Ïèø9$# ÇËÈ
“…dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.” (QS. Al Maidah; 2)
Penjelasan Ayat 
Makna al-Birru dan at-taqwa. Dua kata ini, memiliki hubungan yang sangat erat. Karena masing-masing menjadi bagian dari yang lainnya. Secara sederhana, al-Birru berarti kebaikan. Kebaikan dalam hal ini adalah kebaikan yang menyeluruh, mencakup segala macam dan ragamnya yang telah ditampilkan oleh syariat. Ibnul Qayyim mendefinisikan bahwa al-Birru adalah satu kata untuk seluruh jenis kebaikan dan kesempurnaan yang dituntut dari seorang hamba. Lawan katanya al-itsmu (dosa) yang maknanya adalah satu ungkapan yang mencakup segala bentuk kejelekan dan aib yang menjadi sebab seorang hamba sangat dicela saat melakukannya.

Tidak jauh berbeda, Syaikh as-Sa'di mengatakan bahwa al-Birru adalah sebuah nama yang mencakup segala yang Allah SWT cintai dan ridhai, berupa perbuatan-perbuatan yang zhahir maupun batin, yang berhubungan dengan hak Allah SWT atau hak sesama manusia. Dari sini dapat diketahui, bahwa termasuk dalam cakupan al-Birru, keimanan dan cabang-cabangnya, demikian pula ketakwaan. Allah SWT telah menghimpun ragam al-Birru (kebaikan, kebajikan) dalam ayat berikut : 
“Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu adalah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak -anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orangorang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) budak, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang- orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (Al-Baqarah; 177).  
Kebaikan (kebajikan) yang tertera di ayat di atas mencakup seluruh unsur agama Islam; prinsip-prinsip keimanan, penegakan syariat seperti mendirikan shalat, membayar zakat dan infak kepada orang yang membutuhkan dan amalan hati seperti bersabar dan menepati janji. Dalam ayat ini, setelah memberitahukan ragam kebaikan, di akhir ayat, Allah SWT menjelaskan itulah bentuk-bentuk ketakwaan (sifat-sifat kaum muttaqin). Adapun hakikat ketakwaan yaitu melakukan ketaatan kepada Allah SWT dengan penuh keimanan dan mengharap pahala; baik yang berupa perintah atau larangan. Kemudian perintah itu dilaksanakan atas dasar keimanan dengan perintah dan keyakinan akan janji-Nya, dan larangan ditinggalkan berlandaskan keimanan terhadap larangan tersebut dan dan takut akan ancaman-Nya.
Thalq bin Habib, seorang ulama dari kalangan generasi tabi'in berkata: "Bila terjadi fitnah maka bendunglah dengan takwa ". Mereka berkata: "Apa yang dimaksud dengan takwa?". Beliau menjawab: "Hendaknya engkau melakukan ketaatan kepada Allah SWT dengan dasar cahaya dari Allah SWT dan mengharap pahala-Nya. Dan engkau tinggalkan maksiat dengan dasar cahaya dari Allah SWT dan takut terhadap siksa-Nya ". Ibnul Qayyim memuji keterangan di atas dengan mengatakan : Ini adalah definisi takwa yang paling bagus. Beliau menjelaskan, bahwa semua praktek memiliki awal dan tujuan akhir. Satu amalan tidak dianggap sebagai bentuk ketaatan dan ibadah yang mendekatkan diri kepada Allah SWT kecuali apabila bersumber dari keimanan. Artinya dorongan utama melakukan praktek tersebut adalah keimanan bukan kebiasaan, mengikuti hawa nafsu atau keinginan untuk mendapatkan pujian dan posisi. Jadi, awalnya adalah keimanan dan tujuan akhirnya adalah meraih pahala dari Allah SWT serta mengharap keridhaan-Nya atau yang disebut dengan ihtisab. Oleh karena itu, banyak kita dapatkan kata iman dan ihtisab datang secara bersamaan seperti contoh berikut:  “Barangsiapa yang puasa ramadhan dengan penuh keimanan (iman) dan mengharap pahala (ihtisab), maka diampuni semua dosanya yang telah lewat.” (HR. al-Bukhâri Muslim).

Manfaat
Ulama mengatakan bahwa penggabungan kata al-birr dan at-taqwa dalam satu tempat (seperti ayat di atas) mengandung pengertian yang berbeda satu sama lain. Dalam konteks ini, al-birr bermaka semua hal yang dicintai Allah dan diridhai-Nya, baik berupa ucapan dan perbuatan, lahir dan batin. Sementara at-taqwa lebih mengarah ke tindakan menjauhi segala yang diharamkan. Makna al-itsmu dan al-'udwân, pada dasarnya, pengertian antara al-Birru dan at-taqwa, al-itsmu dan al-'udwân terikat pada hubungan yang kuat. Masing-masing kata itu mengandung pengertian kata lainnya. Setiap dosa (al-itsmu) merupakan bentuk 'udwan (tindakan melampaui batas) terhadap ketentuan Allah SWT, yang berupa larangan atau perintah. Dan setiap tindakan 'udwan, pelakunya berdosa. Namun bila keduanya disebut bersamaan, maka masing-masing memiliki pengertian yang berbeda dengan yang lainnya. 
Al-itsmu (dosa) terkait dengan perbuatan-perbuatan yang memang hukumnya haram. Misalnya, berdusta, zina, mencuri, minum khamer dan lainnya. Contoh-contoh di atas merupakan perbuatan yang pada asalnya haram. Sehubungan dengan al-'udwan, kata ini lebih mengarah pada suatu pengharaman yang disebabkan oleh tindakan melampaui batas. Bila tidak terjadi tindakan melampaui batas, maka diperbolehkan (halal). Tindakan melampaui batas terbagi dua, pertama: terhadap Allah SWT, seperti melampaui batas ketentuan Allah SWT dalam pernikahan seperti: memiliki lima istri, atau menyetubuhi istri dalam masa haidh, nifas, waktu ihram atau puasa wajib. Dan kedua: Tindakan melampaui batas terhadap sesama. Misalnya, bertindak kelewat batas terhadap orang yang berhutang, dengan menciderai kehormatan, fisik atau mengambil lebih dari seharusnya. 
Urgensi Ayat 
Dalam ayat ini Allah SWT memerintahkan hamba-Nya yang beriman untuk saling membantu dalam perbuatan baik dan itulah yang disebut dengan albirr dan meninggalkan kemungkaran yang merupakan ketakwaan. Dan Dia Azza wa Jalla melarang mereka saling mendukung kebatilan dan bekerjasama dalam perbuatan dosa dan hal haram.
Ibnul Qayyim menilai ayat di atas memiliki urgensi tersendiri. Beliau menyatakan: Ayat yang mulia ini mencakup semua jenis untuk kemaslahatan para hamba, di dunia maupun akhirat, baik antara mereka dengan sesama, atau dengan Rabbnya. Sebab seseorang tidak luput dari dua kewajiban; kewajiban individualnya terhadap Allah SWT dan kewajiban sosialnya terhadap sesamanya. Selanjutnya, beliau memaparkan bahwa hubungan seseorang dengan sesama dapat terlukis pada jalinan pergaulan, saling menolong dan persahabatan. Hubungan itu wajib terjalin dalam rangka mengharap ridha Allah SWT dan menjalankan ketaatan kepada-Nya.
Itulah puncak kebahagiaan seorang hamba. Tidak ada kebahagiaan kecuali dengan mewujudkan hal tersebut, dan itulah kebaikan dan ketakwaan yang merupakan inti dari agama ini. Al-Mawardi rahimahullah berkata: Allah SWT mengajak untuk tolong-menolong dalam kebaikan dengan beriringan dengan ketakwaan kepada-Nya. Sebab dalam ketakwaan, terkandung ridha Allah SWT. Sementara saat berbuat baik, orang-orang akan menyukai (meridhai). Barang siapa memadukan antara ridha Allah SWT dan ridha manusia, sungguh kebahagiaannya telah sempurna dan kenikmatan baginya sudah melimpah.
Sebagai contoh sikap saling menolong dalam kebaikan dan ketakwaan, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Bantulah saudaramu, baik dalam kondisi sedang berbuat zhalim atau sedang teraniaya. Ada yang bertanya: "Wahai Rasulullah, kami akan menolong orang yang teraniaya. Bagaimana menolong orang yang sedang berbuat zhalim? "Beliau menjawab:" Dengan menghalanginya melakukan kezhaliman. Itulah bentuk bantuanmu kepadanya. " (HR. al-Bukhâri) Dalam hadits lain, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Orang yang menunjukkan (sesama) kepada kebaikan, ia bagaikan mengerjakannya.” (HR. Muslim) Orang berilmu membantu orang lain dengan ilmunya. Orang kaya membantu dengan kekayaannya. Dan hendaknya kaum Muslimin menjadi satu tangan dalam membantu orang yang membutuhkan. Jadi, seorang Mukmin setelah mengerjakan suatu amal shalih, berkewajiban membantu orang lain dengan ucapan atau tindakan yang mendorong semangat orang lain untuk beramal. Hubungan kedua, antara seorang hamba dengan Rabbnya tertuang dalam perintah 'Dan bertakwalah kepada Allah. Dalam hubungan ini, seorang hamba harus lebih mengutamakan ketaatan kepada Rabbnya dan menjauhi perbuatan untuk yang menentangnya. Kewajiban pertama (antara seorang hamba dengan sesama) akan tercapai dengan mencurahkan nasehat, perbuatan baik dan perhatian terhadap hal ini. Dan kewajiban kedua (antara seorang hamba dengan Rabbnya), akan terwujud melalui menjalankan hak tersebut dengan ikhlas, cinta dan penuh pengabdian kepada-Nya. Hendaknya ini dipahami bahwa sebab ketimpangan yang terjadi pada seorang hamba dalam menjalankan dua hak ini, hanya muncul ketika dia tidak memperhatikannya, baik secara pemahaman maupun pengamalan.
Penutup
Dengan jelas, ayat di atas memuat kewajiban saling membantu di antara kaum Mukminin untuk menegakkan agama dan larangan bagi mereka untuk bekerjasama dalam menodainya. Bukan sebaliknya yaitu malahan melemahkan semangat beramal orang, mengejek orang yang berusaha konsisten dengan syariat maupun menjadi dalang tersebarnya perbuatan maksiat di tengah masyarakat. Wallahu a'lam.
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

 
Support : Alfin | Alfin El-Mlipaki | Sciena Madani
Copyright © 2013. el_mlipaki - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Sciena Madani
Proudly powered by Wonder Ummi