“Seorang mukmin ialah dia yang senang
dengan kebaikannya (ibadah) dan gelisah dengan keburukannya (dosa)”
Sebuah definisi
yang singkat namun mempunyai arti yang sangat dalam dan sangat luas. Seperti
menyindir, walau ini dikatakan jauh sebelum ratusan tahun lalu tapi sepertinya
cocok untuk kaum muslim zaman sekarang ini. Bagaimana tidak? Kata-kata
Amirul-mukminin itu benar-benar kata yang pas untuk menyentil realita gaya
hidup muslim zaman sekarang yang sudah jauh di luar batas-batas norma syariah. Di zaman yang serba mudah ini, tentu
membuat orang semakin gampang untuk melakukan apa saja. Dengan kemajuan media,
semua bisa tercapai dengan sangat mudah dan dengan waktu yang secepat mungkin.
Lihat bagaimana mudahnya, hanya dengan sekali klik saja kita sudah bisa
menyebarkan informasi ke seluruh belahan dunia manapun.
Lalu apa kaitannya dengan definisi muslim yang dijelaskan oleh Sahabat Umar RA? Ya.
Lihat bagaimana sebagian muslim menggunakan segala kemudahan ini? Facebook dan
twitter misalnya. 2 media sosial yang paling digandrungi anak muda ini berhasil
membuat ‘aib menjadi santapan publik. Banyak dari para pemuda muslim yang
justru malah ‘doyan’ mengumbar ‘aib dirinya bahkan keluarganya. Dan anehnya ia
senang dengan itu semua. Bukankah mengumbar ‘aib suatu keburukan?
Dua
media yang seharusnya bisa menjadi jembatan menggapai pahala dengan saling
bersilaturahim dan saling mengingatkan, tapi hanya digunakan untuk hal-hal yang
sama sekali tidak bermanfaat dan cenderung kepada suatu kemungkaran. Bangga mempublikasi photo-photo mereka,
yang perempuan mengumbar auratnya, dan kaum laki dengan bangga mengupload photo
atau videonya yang sedang bergumul dengan kemaksiatan. Dan mereka bangga dan
senang dengan itu semua, aneh bukan?!
Sebaliknya mereka malah malu jika harus menuliskan sebuah ayat atau hadits
atau nasihat ulama di dinding-dinding mereka, padahal itu suatu kebaikan dan
tentu berpahala. Tetapi mereka lebih senang kalau dinding mereka berisi dengan
kata-kata galau keluhan, dan sebagainya. Atau dengan kata-kata seorang yang
mereka sebut dengan ilmuwan dan intelek walaupun kata-kata itu menyalahi
syariah.
Kenapa harus malu dan harus takut mengisi dinding dengan nasihat ukhuwah
yang agamis. Bukankah itu sebaik-baik perkataan? Yaitu perkataan yang mengajak
kepada ALLAH. Sebagaimana telah dijelaskan dalam ayat 33 surat Fushilat. “Siapakah yang
lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan
amal yang saleh, dan berkata: "Sesungguhnya aku Termasuk orang-orang yang
menyerah diri?"
Itu yang di dunia maya, di dunia nyata tidak jauh berbeda. Kebanyakan dari
kita lebih suka dengan mereka yang “bad boy”, atau seorang yang breaking rule,
bahkan rule agama. Sudah tidak peduli lagi mana halal dan mana haram, malah
menganggapnya bak pahlawan yang dinanti-nanti, memujanya setinggi langit. Tapi
dengan para asatidz kampung yang dengan gigih menyuburkan syariah dan menanam
serta menyirami ajaran agama di daerah malah tidak dilirik. Dan bahkan
dicurigai sebagai orang radikal. Masya Allah.
Kalau sudah tidak ada lagi kebanggaan, muslim Indonesia akan semakin
menjadi seperti “ayam mati di lumbung padi”. Ini kan mengherankan ayam yang
sumber utama makanannya itu gabah tapi malah justru mati di kubangan gabah itu
sendiri. Muslim yang dengan sedemikian indahnya ajaran Islam itu sendiri, tapi
malah antipati dan ‘ogah’ dengan syariah padahal justru dengan tegaknya syariat
itu sendiri di situlah adanya kebangkitan dan kejayaan. Dengan ini, mari kita kembali banggakan agama kita
dengan terus menguatkan tekad untuk taat menjalankan syariat agama yang mulia
ini. Sudah tidak ada keraguan lagi bahwa kejayaan akan tercapai jika syariat
ini ditegakkan.
0 komentar:
Posting Komentar