Home » » Lembaga Keuangan Konvensional dan Syari’ah

Lembaga Keuangan Konvensional dan Syari’ah

Written By el_mlipaki on Rabu, 13 Februari 2013 | 16.52


Sebagai umat Islam kita harus melakukan aktifitas-aktifitas yang sesuai dengan nilai-nilai syara’, termasuk juga dalam melakukan akfititas perekonomian. Setelah dalam edisi yang lalu kita mengenalkan tentang seputar konsep ekonomi dari berbagai pemikiran, sekarang kita akan mengenal tentang salah satu produk ekonomi itu sendiri, yaitu perbankan. Dan sejauh yang kita ketahui selama ini ada dua jenis bank yaitu konvensional dan bank syari’ah, apa itu? Berikut hasil wawancara eksklusif dengan General Manager KJKS Tamzis Baitutamwil Pusat di Wonosobo, Budi Santoso, SE.

Menurut anda apa itu bank konvensional dan bank syari’ah?
“Sebelum menjawab tentang apa itu bank konvensional dan bank syari’ah, perlu difahami terlebih dahulu bahwa istilah ‘bank’ yang lebih umum adalah ‘Lembaga Keuangan atau perbankan’. Dan lembaga keuangan dibagi menjadi dua; lembaga kauangan perbankan dan  lembaga keuangan non bank. Begitu pula pada lembaga keuangan syari’ah, ada yang berjenis bank dan non bank sedangkan seperti halnya baitul mall dan baitutamwil sendiri masuk dalam wilayah lembaga keuangan syari’ah non bank yang berbadan hukum koperasi.” Ungkap Budi almumni Ekonomi UGM itu.
Lanjut Budi bahwa, “Wilayah ekonomi adalah wilayah mu’amalah bukan ibadah dengan dasar hukumnya mubah / boleh dilakukan kecuali yang dilarang. Larangan-larangan dalam aktifitas ekonomi syari’ah itu biasanya lebih menitik beratkan pada riba (tambahan yang dibebankan kepada nasabah), maysir (judi / untung-untungan), gharar (pertaruhan), risywah (suap-menyuap / korupsi).  Dan lembaga keuangan syariah muncul untuk mengatasi adanya larangan-larangan seperti tadi. Sedangkan bank konvensiona,l mereka tidak ada larangan-larangan yang seperti itu maka akan terlihat jelas sekali muncul bunga dalam setiap transaksi. Dalam tugasnya kehadiran lembaga keuangan syari’ah sebenarnya lebih pada mengatasi persoalan-persoalan umat dalam konteks ekonomi dengan tetap menjalankan praktik mu’amalah tanpa terjebak terhadap larangan-larangan ekonomi seperti riba, maysir dan sebagainya. Hal-hal tersebut menjadi sebuah pokok pembeda yang prinsipil antara lembaga keuangan yang syari’ah dan non syari’ah.”
Mungkin masyarakat banyak yang belum familiar dengan istilah-istilah tersebut, dalam hal sederhana apa yang menjadi pembeda?
“Untuk pembeda secara sederhananya bisa dilihat pada ada tidaknya bunga yang digunakan oleh sebuah perbankan dalam bertransaksi kepada nasabahnya entah itu pembiayaan atau peminjaman. Sebagaimana kita ketahui bunga ini oleh keputusan fatwa MUI masuk dalam kategori riba. Jadi secara lebih mudah ketika masyarakat meminjam dana kepada bank yang dalam tempo satu tahun maka nasabah itu harus dikenakan biaya pengembalian tambahan, maka itu termasuk dalam hitungan bunga. Misalnya bank BRI, BNI, Mandiri, BTN, BCA, dan lain sebagainya.  Sedangkan prinsip yang dikembangkan oleh lembaga keuangan syari’ah itu dengan menggunakan system mudharabah atau bagi hasil antara nasabah / mudharib dengan pemilik dana / shohibul maal, bukan bunga.” Jawabnya.
Dalam situasi perekonomian yang semakin maju dan variatif untuk memilih bank yang berbasis syari’ah, masyarakat bisa lebih mudah karena sekarang lebih banyak bank-bank konvensional yang juga membuka bank berbasis syari’ah, sedangkan seperti BMT termasuk dalam lembaga keuangan syari’ah non bank karena lebih berbentuk koperasi.
Namun pada kenyataannya ada beberapa bank syari’ah yang dianggap kurang bersyari’ah dan mengapa masyarakat justeru lebih memilih bank konvensional dari pada bank syari’ah?
“Tentang permasyalahan bank syari’ah mengapa tidak syari’ah itu terkadang lebih pada SDM pelaku perbankan yang tidak semua memiliki knowledge tantang syari’ah sehingga mereka tidak bisa menjelaskan dan meyakinkan para calon nasabahnya. Sehingga terkadang muncul istilah hanya label saja. Dari sisi eksternal itu karena pemahaman masyarkat yang masih minim tentang fiqh mu’amalah ekonomi syari’ah dan memang perkembangan ini belum lama baru sekitar 20 tahunan mulai tumbuh di Indonesia, sehingga masyarakat lebih memilih pada pembiayaan yang murah lewat bank-bank konvensional misalnya.” Terang General Manager Tamzis sejak tahun 1994 ini.
Budi menjelaskan “Oleh karenanya kita juga melakukan edukasi bukan hanya kepada pelaku perbankan (karyawan bank syari’ah-red)) tetapi juga kepada masyarakat, bagaimana caranya yaitu kita coba sampaikan lewat media khotbah jum’at secara lebih efisien. Hal ini juga bisa dilakukan dengan cara memasukkan teori-teori ekonomi syari’ah dalam matapelajaran ekonomi sejak pendidikan menengah (SMP). Dan edukasi dalam berbagai bidang.”
Korelasi ekonomi syari’ah dengan sejarah masa Rasulullah?
“Dalam masa sejarah Islam lembaga keuangan lebih menonjol pada baitulmall. Sekarang bisnis lebih berkembang pesat, bahkan sekarang banyak yang melakukan bisnis secara online. Sedangkan baitulmall itu lebih pada sisi sosialnya, dan sisi yang lain adalah sisi bisnis yang lebih banyak dilakukan oleh baituttamwil. Kalau baitulmal itu berasal dari ZIS (zakat, infak, dan shodaqoh-red) dan tidak boleh dibisniskan artinya tidak ada orientasi profit karena berorientasi pada kesejahteraan umat dan diperuntukkan bagi 8 golongan yang diutamakan, jadi murni kegiatan social seperti; pendidikan, bencana alam atau social yang lain. Kalau yang berbisnis menggunakan akad-akad tijari atau akad-akad bisnis yang berprofit. Sumbernya dari mana, yaitu dari anggota-anggota dengan berinvestasi menabung misalnya. Dengan harapan kembalinya uang tabungan dan imbal hasil, katakanlah bagi hasil. Sedang hasil investasinya itu diputarkan dengan cara memberikan pembiayaan yang berasas provit seperti halnya bagi hasil (mudharabah). Nah sekarang lebih banyak lembaga yang berwujud baitulmal wat tamwil / rumah sosial dan rumah harta.  Dan siapa yang dibiayai? Karena mengandung orientasi sosial maka dipilihlah pelaku bisnis kecil seperti halnya pedangan kecil kali lima.” Tuturnya.
Bagaimana efek jikalau umat muslim lebih memilih bank konvensional?
“Kenapa riba dan teman-temannya dilarang? sebenarnya lebih pada prinsip keadilan. Dengan pinjaman sekian harus mengembalikan sekian yang dilebihkan. Misalkan seorang pedagang mengajukan pembiayaan atau bertransaksi kepada bank konvensional, maka bank itu tidak ada sisi kepedulian dengan kondisi pedagang ataukah sedang bangkrut atau untung, dan prinsip yang digunakan tetap sama yaitu dengan pinjaman sekian dengan masa sekian harus mengembalikan dana sekian ditambah bunganya. Sedangkan menurut prinsip syari’ah maka asas yang berlaku menggunakan prinsip mudharabah yaitu pedagang mengembalikan pinjaman sesuai dengan kemampuannya, kalau keuntungannya rendah dia tidak dikenakan pembayaran yang tinggi tapi sesuai kemampuan begitu pula sebaliknya. Bahkan kalau dia mengalami kebangkrutan dia tidak dikenakan kewajiban untuk mengembalikan atau dibebaskan. Jelas disini lebih mengutamakan aspek keadilannya.” Jawab Budi.
Kalau sudah demikian bagaimana menyikapinya?
“Terkadang masyarakat dalam bertransaksi lebih memilih harga, karena bank syari’ah lebih terkesan mahal. Memang yang namanya halal haram itukan tidak terkait tentang mahal murahnya. Jadi kalau mahal tapi syari’ah mengapa tidak. Antara bunga dan bagi hasil, inilah harga yang dimaksud. Dan umat kita masih memilih yang murah saja tentang untung ruginya bukan pada aspek halal tidaknya. Walaupun mahal kalau itu syari’ah insya Allah itu bisa lebih berkah. Inilah yang menggerakkan kita untuk memprofesionalkan diri dengan berusaha bagaimana menemukan kesepahaman harga yang murah dan professional. Intinya juga dibarengi dengan edukasi kepada umat seperti apa yang telah saya sampaikan di atas. Hal ini jelas karena kita diperintahkan untuk mengkonsumsi harta yang halal dan baik, halalan toyiban, bukan riba yang haram.” Sahutnya.
“Sedang ketidak siapan umat sekarang inikan juga karena efek dari teori ekonomi kapitalis yang sudah diajarkan kepada siswa sejak SMP, “dengan modal sekecil-kecilnya mengharapkan laba yang sebesar-besarnya” yang tidak ada aspek keadilannya. Ketika ditingkat pendidikan atas / SMA sudah dikenalkan system mudharabah dll, insya Allah ketika terjun di masyarakat sudah bisa menerapkan perekonomian syari’ah dengan lebih baik.” Pungkas pria asal Bantul Jogjakarta ini.


Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

 
Support : Alfin | Alfin El-Mlipaki | Sciena Madani
Copyright © 2013. el_mlipaki - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Sciena Madani
Proudly powered by Wonder Ummi