Sebagai umat Islam kita harus
melakukan aktifitas-aktifitas yang sesuai dengan nilai-nilai syara’, termasuk
juga dalam melakukan akfititas perekonomian. Setelah dalam edisi yang lalu kita
mengenalkan tentang seputar konsep ekonomi dari
berbagai pemikiran, sekarang kita akan mengenal tentang salah satu produk
ekonomi itu sendiri, yaitu perbankan. Dan sejauh yang kita
ketahui selama ini ada dua jenis bank yaitu konvensional dan bank syari’ah, apa
itu? Berikut hasil wawancara eksklusif dengan General Manager KJKS Tamzis Baitutamwil
Pusat di Wonosobo, Budi Santoso, SE.
“Sebelum
menjawab tentang apa itu bank konvensional dan bank syari’ah, perlu difahami
terlebih dahulu bahwa istilah ‘bank’ yang
lebih umum adalah ‘Lembaga Keuangan atau perbankan’. Dan lembaga keuangan dibagi
menjadi dua; lembaga kauangan perbankan dan lembaga keuangan non bank. Begitu pula pada
lembaga keuangan syari’ah, ada yang berjenis bank dan non bank sedangkan seperti
halnya baitul mall dan baitutamwil sendiri masuk dalam wilayah lembaga keuangan
syari’ah non bank yang berbadan hukum koperasi.” Ungkap Budi
almumni Ekonomi UGM itu.
Lanjut Budi bahwa, “Wilayah ekonomi adalah wilayah mu’amalah
bukan ibadah dengan dasar hukumnya mubah / boleh dilakukan kecuali yang
dilarang. Larangan-larangan dalam aktifitas ekonomi syari’ah itu biasanya lebih
menitik beratkan pada riba (tambahan yang dibebankan kepada nasabah), maysir (judi / untung-untungan), gharar (pertaruhan),
risywah
(suap-menyuap / korupsi). Dan lembaga keuangan syariah muncul untuk
mengatasi adanya larangan-larangan seperti tadi. Sedangkan bank konvensiona,l mereka tidak ada larangan-larangan
yang seperti itu maka akan terlihat jelas sekali muncul bunga dalam setiap
transaksi. Dalam tugasnya kehadiran lembaga keuangan syari’ah sebenarnya lebih
pada mengatasi persoalan-persoalan umat dalam konteks ekonomi dengan tetap
menjalankan praktik mu’amalah tanpa terjebak terhadap larangan-larangan ekonomi
seperti riba, maysir dan sebagainya. Hal-hal tersebut menjadi sebuah pokok
pembeda yang prinsipil antara lembaga keuangan yang syari’ah dan non syari’ah.”
Mungkin
masyarakat banyak yang belum familiar dengan istilah-istilah tersebut, dalam
hal sederhana apa yang menjadi pembeda?
“Untuk
pembeda secara sederhananya bisa dilihat pada ada tidaknya bunga yang digunakan
oleh sebuah perbankan dalam bertransaksi kepada nasabahnya entah itu pembiayaan
atau peminjaman. Sebagaimana kita ketahui bunga ini oleh keputusan fatwa MUI
masuk dalam kategori riba. Jadi secara lebih mudah ketika masyarakat meminjam
dana kepada bank yang dalam tempo satu tahun maka nasabah itu harus dikenakan
biaya pengembalian tambahan, maka itu termasuk dalam hitungan bunga. Misalnya bank BRI, BNI,
Mandiri, BTN, BCA, dan lain sebagainya. Sedangkan prinsip yang dikembangkan oleh
lembaga keuangan syari’ah itu dengan menggunakan system mudharabah atau bagi
hasil antara nasabah / mudharib dengan pemilik dana /
shohibul maal, bukan bunga.” Jawabnya.
Dalam situasi
perekonomian yang semakin maju dan variatif untuk memilih bank yang berbasis
syari’ah, masyarakat bisa lebih mudah karena sekarang lebih banyak bank-bank
konvensional yang juga membuka bank berbasis syari’ah, sedangkan seperti BMT
termasuk dalam lembaga keuangan syari’ah non bank karena lebih berbentuk koperasi.
Namun pada kenyataannya ada beberapa bank syari’ah yang dianggap kurang
bersyari’ah dan mengapa masyarakat justeru lebih memilih bank konvensional dari
pada bank syari’ah?
“Tentang permasyalahan bank syari’ah mengapa tidak
syari’ah itu terkadang lebih pada SDM pelaku perbankan yang tidak semua
memiliki knowledge tantang syari’ah sehingga mereka tidak bisa menjelaskan dan
meyakinkan para calon nasabahnya. Sehingga terkadang muncul istilah hanya label
saja. Dari sisi eksternal itu karena pemahaman masyarkat yang masih minim tentang
fiqh mu’amalah ekonomi syari’ah dan memang perkembangan ini belum lama baru
sekitar 20 tahunan mulai tumbuh di Indonesia, sehingga masyarakat lebih memilih
pada pembiayaan yang murah lewat bank-bank konvensional misalnya.” Terang General Manager Tamzis sejak tahun 1994 ini.
Budi menjelaskan “Oleh karenanya kita juga
melakukan edukasi bukan hanya kepada pelaku perbankan (karyawan bank syari’ah-red))
tetapi juga kepada masyarakat, bagaimana caranya yaitu kita coba sampaikan lewat
media khotbah jum’at secara lebih efisien. Hal ini juga bisa dilakukan dengan
cara memasukkan teori-teori ekonomi syari’ah dalam matapelajaran ekonomi sejak
pendidikan menengah (SMP). Dan edukasi dalam berbagai bidang.”
Korelasi ekonomi syari’ah dengan sejarah masa Rasulullah?
“Dalam masa sejarah Islam lembaga keuangan lebih
menonjol pada baitulmall. Sekarang bisnis lebih berkembang pesat, bahkan
sekarang banyak yang melakukan bisnis secara online. Sedangkan baitulmall itu
lebih pada sisi sosialnya, dan sisi yang lain adalah sisi bisnis yang lebih
banyak dilakukan oleh baituttamwil. Kalau baitulmal itu berasal dari ZIS
(zakat, infak, dan shodaqoh-red) dan tidak boleh dibisniskan artinya tidak ada
orientasi profit karena berorientasi pada kesejahteraan umat dan diperuntukkan
bagi 8 golongan yang diutamakan, jadi murni kegiatan social seperti;
pendidikan, bencana alam atau social yang lain. Kalau yang berbisnis
menggunakan akad-akad tijari atau akad-akad bisnis yang berprofit. Sumbernya dari
mana, yaitu dari anggota-anggota dengan berinvestasi menabung misalnya. Dengan
harapan kembalinya uang tabungan dan imbal hasil, katakanlah bagi hasil. Sedang
hasil investasinya itu diputarkan dengan cara memberikan pembiayaan yang
berasas provit seperti halnya bagi hasil (mudharabah). Nah sekarang lebih
banyak lembaga yang berwujud baitulmal wat tamwil / rumah sosial dan rumah
harta. Dan siapa yang dibiayai? Karena
mengandung orientasi sosial maka dipilihlah pelaku bisnis kecil seperti halnya
pedangan kecil kali lima.” Tuturnya.
Bagaimana efek jikalau umat muslim lebih memilih bank konvensional?
“Kenapa riba dan teman-temannya dilarang? sebenarnya
lebih pada prinsip keadilan. Dengan pinjaman sekian harus mengembalikan sekian
yang dilebihkan. Misalkan seorang pedagang mengajukan pembiayaan atau
bertransaksi kepada bank konvensional, maka bank itu tidak ada sisi kepedulian
dengan kondisi pedagang ataukah sedang bangkrut atau untung, dan prinsip yang
digunakan tetap sama yaitu dengan pinjaman sekian dengan masa sekian harus
mengembalikan dana sekian ditambah bunganya. Sedangkan menurut prinsip syari’ah
maka asas yang berlaku menggunakan prinsip mudharabah yaitu pedagang
mengembalikan pinjaman sesuai dengan kemampuannya, kalau keuntungannya rendah
dia tidak dikenakan pembayaran yang tinggi tapi sesuai kemampuan begitu pula
sebaliknya. Bahkan kalau dia mengalami kebangkrutan dia tidak dikenakan
kewajiban untuk mengembalikan atau dibebaskan. Jelas disini lebih mengutamakan
aspek keadilannya.” Jawab Budi.
Kalau sudah demikian bagaimana menyikapinya?
“Terkadang masyarakat dalam bertransaksi lebih memilih
harga, karena bank syari’ah lebih terkesan mahal. Memang yang namanya halal
haram itukan tidak terkait tentang mahal murahnya. Jadi kalau mahal tapi
syari’ah mengapa tidak. Antara bunga dan bagi hasil, inilah harga yang dimaksud.
Dan umat kita masih memilih yang murah saja tentang untung ruginya bukan pada
aspek halal tidaknya. Walaupun mahal kalau itu syari’ah insya Allah itu bisa
lebih berkah. Inilah yang menggerakkan kita untuk memprofesionalkan diri dengan
berusaha bagaimana menemukan kesepahaman harga yang murah dan professional.
Intinya juga dibarengi dengan edukasi kepada umat seperti apa yang telah saya
sampaikan di atas. Hal ini jelas karena kita diperintahkan untuk mengkonsumsi
harta yang halal dan baik, halalan toyiban, bukan riba yang haram.” Sahutnya.
“Sedang ketidak siapan umat sekarang inikan juga
karena efek dari teori ekonomi kapitalis yang sudah diajarkan kepada siswa
sejak SMP, “dengan modal sekecil-kecilnya mengharapkan laba yang
sebesar-besarnya” yang tidak ada aspek keadilannya. Ketika ditingkat pendidikan
atas / SMA sudah dikenalkan system mudharabah dll, insya Allah ketika terjun di
masyarakat sudah bisa menerapkan perekonomian syari’ah dengan lebih baik.” Pungkas pria asal Bantul Jogjakarta ini.
0 komentar:
Posting Komentar