Sejalan dengan
laju deras waktu yang berjalan, semua hal pun mau tak mau harus terus melangkah
maju walaupun terkadang hal-hal yang substansial itu telah tereduksi dalam
makna yang berbeda dari aslinya. Seperti pada pemaknaan “ekonomi”. Kebanyakan
orang sekarang lebih menyebutnya sebagai kegiatan yang hanya berhubungan dengan
uang, seperti jual-beli, aktifitas perbankan, dan hal lain seputan kegiatan
keuangan. Akhirnya orang mengatakan sedang melakukan kegiatan ekonomi ketika
dia sedang melakukan hal-hal tersebut diatas. Jadi ekonomi itu uang an sich.
Makna tersebut
telah tersempitkan dari makna aslinya yang lebih luas dari pada itu. Seperti
apa yang dikatakan oleh Awalil Rizky
Sebagai Ketua Perhimpunan BMT (Baitulmal wattamwil) se-Indonesia di
Jakarta. “ Sebenarnya yang disebut ekonomi itu adalah
semua kegiatan manusia yang berkaitan dalam rangka melakukan pemenuhan
kebutuhannya. Dalam kegiatannya melingkupi produksi, distribusi, dan konsumsi. Jadi
ketika kita sedang membuat makanan, atau kita membeli lontong dan memakannya,
itu kita sedang melakukan kegiatan ekonomi. Oleh karenanya bukan hanya ketika
kita membeli dan menjual saja, sedangkan seperti yang dikenal masyarakat, ada
mudhorobah, morobahah itu hanya sebagian dari produk perbankan yang jauh lebih
sempit pembahasannya dalam Konsep Ekonomi Islam” Paparnya yang sudah
menjabat Ketua Perhimpunan BMT se-Indonesia sejak tahun 2010.
Konsep Ekonomi; Kapitalis, Sosialis, dan Islam
Dalam hal akademisi hingga praktek kegiatan ekonomi dewasa ini kita
kenal beberapa penggolongan konsep ekonomi yang berlaku dan dijalankan oleh
masyarakat kita. Dari konsep-konsep tersebut berkembang atas turunan dari
ideologi besar dunia seperti kapitalis, sosialis, dan Islam. Para penganut
kelompoknya memiliki prinsip sendiri-sendiri dalam menjalankan kegiatan
ekonominya yang mengacu pada ideologinya masing-masing.
Nampaknya
penggolongan tersebut terlampai menyulitkan bagi sebagian masyarakat Indonesia
yang kebanyakan berSDM sedang hingga Awalilpun menyederhanakan pemaknaannya, “Sedangkan penggolongan terhadap konsep
tertentu seperti Kapitalis, Sosialis, dan Islam menurut saya kurang sesuai,
karena itu hanya sebuah kolaborasi dari pemikiran manusia tentang suatu hal
termasuk ekonomi sehingga teridentifikasilah pada kelompok ekonomi A, B, C, dan
seterusnya. Bagi saya lebih baik dan lebih mudahnya kita menyebutnya konsep ekonomi yang Islami dan non islami saja,
pengertian ini semua lebih pada pemikiran substansial pada apa yang terjadi di
realitasnya.”
Penyederhanaan
itu akan lebih memudahkan masyarakat untuk memahami seperti apa kegiatan
ekonomi yang berkembang dan terlaksana di sekitar mereka, dan masuk pada
kriteria mana kegiatan ekonomi yang mereka lakukan, berkonsep islamikah atau
non islami, “ Al qur’an dan hadits telah
mengatur itu semua, dalam hal seluruh kegiatan ekonomi baik ditingkat produksi,
distribusi dan konsumsi. Atas dasar itu akan sedikit memudahkan bagi kita semua
dalam mengidentifikasikan mana konsep yang Islami dan mana konsep yang bukan
islami, karena lebih banyak kita membedakannya akan menyulitkan kita juga dan
lebih mudahnya bagimana pola Al Qur’an saja menyebutkannya. Berbeda kalau untuk keperluan analisis
mungkin bisa kita mengidentifikasi untuk keperluan keilmuan pada penggolongan
itu, namun masyarakat juga harus lebih mudah difahamkan, mana yang boleh dan
mana yang tidak, mana yang syar’i dan mana yang non syar’i.” ungkap pengamat ekonomi lulusan UGM ini.
Ciri-ciri
Konsep
|
Kapitalis
|
Islam
|
Sosialis
|
Sumber
Kekayaan
|
Sumber kekayaan sangat langka (scarcity
of resources)
|
Sumber Kekayaan alam semesta dari
ALLAH SWT / Tauhid
|
Sumber kekayaan sangat langka (scarcity
of resources)
|
Kepemilikan
|
Setiap pribadi di bebaskan untuk
memiliki semua kekayaan yang di perolehnya
|
Sumber kekayayan yang kita miliki
adalah titipan dari ALLAH SWT
|
Sumber kekayaan di dapat dari
pemberdayaan tenaga kerja (buruh)
|
Tujuan
Gaya hidup perorangan
|
Kepuasan pribadi / nafsu
|
Untuk mencapai ke makmuran / sucess,
di dunia dan akhirat atas ridho
Allah SWT
|
Ke setaraan penghasilan di antara kaum
buruh
|
Untuk lebih mengerti akan ciri-ciri masing-masing konsep ekonomi seperti
bagan di atas Awalil melanjutkan. “Kalau
cirri-ciri yang terkait dengan konsep ekonomi islam secara sederhana bisa kita
sebutkan bahwa segala sesuatu yang berkait dengan kegiatan ekonomi baik itu di
tingkatan produksi, distribusi, dan konsumsi harus ada upaya pada pencapaian
ridlo Alloh SWT / Alloh oriented, dan diluar itu secara otomatis kita
menyebutnya belum atau tidak Islami. Seperti Kapitalis yang lebih pada kepuasan
nafsu karena keserakahan untuk penguasaan yang tak terbatas hingga lebih pada
nafsu semata. Sedangkan Sosialis menganggap bahwa semua kekayaan tidak ada yang
memiliki kecuali yang diperuntukan untuk buruh. Selanjutnya yang menjadi
pembahasan bagaimanakah kegiatan ekonomi yang di dalamnya memuat ridlo Alloh
SWT. Jelas bapak 4 anak ini.
Lebih jelasnya lagi Awalil merincikan bagaimana langkah-langkah kegiatan
ekonomi itu disebut sebagai konsep ekonomi yang memuat nilai-nilai syari’ah
secara substansial.
Yang pertama adalah semua lini kegiatan ekonomi
haruslah memuat nsur-unsur syar’i, misalnya ketika berproduksi barang-barang
yang digunakan haruslah halal dari sifat dan jenisnya. Dari cara mendapatkannya
(beli-red), bebas dari unsur-unsur yang membahayakan seperti kandungan kimia
(harus ada batas-red), zat halal ataupun tidak mengandung unsur zat daging babi
dan sejenisnya. Orientasinya juga diperhitungkan kemanfaatannya bukan untuk
merusak. Begitupun dalam ketenagakerjaan juga harus memuat prinsip-prinsip
syari’at antara hubungan pemodal dan karyawan sehingga prosesnya juga
diperhatikan.
Yang kedua
adalah barang produksi itu bisa didistribusikan untuk semua orang bukan hanya
pada kalangan tertentu saja, hal ini lebih memuat konsep keadilan. Berbeda
dengan prinsip kapitalis yang lebih menekankan bahwa Setiap pribadi di
bebaskan untuk memiliki semua kekayaan yang di perolehnya. Dan ini yang
pada nantinya akan menjadi pembeda pada tataran konsep ekonomi lain yang non
islam. Seperti kapitalis yang lebih pada individual yang hasilnya lebih pada
hak pembuat terserah mau diapakan (dimungkinkan ada kemubadziran-red), begitu
juga dalam sosialis yang dalam penguasaan Negara yang mengcounter kepentingan hak
individual.
Yang ketiga
adalah persaingan yang sehat dalam menyampaikan hasil produksi, sehingga tidak
ada monopoli yang akhirnya merugikan masyarakat.” Pungkas pria asli Banjarmasin Kalimantan Selatan 47
tahun ini.
0 komentar:
Posting Komentar