KPK Nyentil Pak Naib
“Terimakasih,
maaf saya tidak
bisa menerima ini karena ini sudah menjadi tugas dan kewajiban saya untuk
mengabdi kepada masyarakat,” begitulah ucapan salah seorang penghulu saat
setelah menikahkan pasangan Rudi Heryanto-Lia Firmandany Ahad (15/12) lalu.
Tips atau ‘amplop’ khusus untuk para penghulu dan kesra (modin) kelurahan untuk keperluan nikah sudah bukan rahasia umum lagi, bahkan seolah sudah
menjadi budaya di tengah masyarakat. Jika tidak maka berbagai alasan akan dikemukakan, mulai dari ketidak
seamngatan dalam menjalankan tugasnya sebagai penghulu, kurang simpatik hingga proses pembuatan kartu nikah yang
tak kunjung jadi. Bahkan untuk kalangan tertentu (orang kaya tentunya) ada yang
terang-terangan memasang tarif sekian rupiah di muka. Namun kini semuanya sudah berubah. Para
penghulu dan kesra kelurahan hampir semuanya menolak
pemberian uang tips karena
dianggap gratifikasi.
Kasus
Romli
Semuanya ini sebagai dampak setelah
terkuaknya kasus korupsi mark up biaya nikah yang dilakukan Romli, oknum
Kantor Urusan Agama (KUA) Kediri. Modusnya, pejabat yang kini sudah menghuni Lembaga
Pemasyarakatan Kelas II A Kediri sebagai tahanan jaksa ini menaikkan biaya
nikah di luar ketentuan. Mereka memanfaatkan
ketidaktahuan masyarakat soal tarif pencatatan nikah yang memang tidak
disosialisasikan dengan baik. Akibatnya sejumlah pengantin telah menjadi korban
pemerasan itu.
Menurut keterangan berbagai pihak, Romli diketahui memungut biaya nikah
sebesar Rp 225.000 untuk pernikahan di luar kantor dan Rp 175.000 di dalam
kantor. Dari nominal itu ia mendapatkan
jatah Rp 50.000 sebagai petugas pencatat nikah plus Rp 10.000 sebagai insentif
Kepala KUA.Padahal peraturan pemerintah yang mengatur soal itu hanya memungut
biaya nikah sebesar Rp 30.000 saja. Alhasil, jika dihitung selama kurun waktu 2
Januari 2012 hingga 31 Desember 2012 dirinya sudah “meraup keuntungan” sebesar Rp
36 juta atas biaya pencatatan nikah di luar ketentuan.
Sejak insiden ini Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kementerian Agama RI
sepakat jika seorang penghulu yang menerima amplop dari pihak yang menikah
merupakan gratifikasi. Guna menantisipasi kasus-kasus serupa, ke depan para penghulu
wajib melaporkan bentuk-bentuk penerimaan kepada KPK, sebagaimana yang telah dirumuskan dalam rapat
antara KPK, Kementerian Agama dan Kementerian Keuangan yang digelar di kantor
KPK, Rabu (18/12/2013).
***
Giri Supradiono, Direktur Gratifikasi
KPK
“Amplop buat penghulu, penerimaan homor,
tanda terimakasih, pengganti uang transport dalam pencatatan nikah merupakan isu
terkini dalambentuk gratifikasi sebagaimana dalam pasal 12B Undang-Undang
Pemberantasan Tipikor. Hal ini akan dibahas dalam rapat antara tiga lembaga terkait
dengan merumuskan sejumlah keputusan, di mana untuk memudahkan pelaporan, akan
diatur mekanismenya kemudian".
KETIKA PENGHULU MOGOK
Pasca penangkapan Romli sejumlah rekan sejawat
(penghulu khususnya) berekasi. Mereka menolak proses pidana Kepala KUA Kediri,
bahkan 661 penghulu se-JawaTimur sepakat menolak
panggilan untukmenikahkan calon pengantin di rumah atau masjid, tapi hanya
melayani ijab di Kantor Urusan Agama (KUA) atau balai nikah. Alasannya untuk
menghindari gratifikasi seperti yang didakwakan kepada Kepala KUA Kecamatan
Kota, Kota Kediri.
Seruan aksi mogok ini terbatas melayani pernikahan
di luar kantor itu diserukan Ketua Komisi Bidang Hukumdan Pemerintahan DPRD
Provinsi JawaTimur, Sabron Djamil Pasaribu. Dirinya mengatakan, penolakan merupakan
aksi solidaritas petugas pencatat akad nikah se-Jatim atas kasus hukum yang
menimpa Romli. Sabron tidak menganggap pemberian pihak mempelai kepada petugas pencatat
nikah sebagai pungutan liar atau gratifikasi. Baginya, kasus yang menimpa Kepala
KUA Kota Kediri itu terlalu berlebihan.
"Jemput bola melayani masyarakat itu
bukan pungli atau gratifikasi karena pemberian kepada mereka itu seikhlasnya,"
kata Sabron.
Saat berlangsungnya aksi mogok, hampir
seluruh pegawai KUA Kediri enggan berkomentar. Mereka menolak kehadiran wartawan
yang hendak meminta keterangan. "Kami tak akan bicara apa-apa sampai kasus
ini selesai," kata salah satu staf KUA Kecamatan Kota Kediri sambil mengusir
wartawan yang hendak mengambil gambar suasana kantor.
Mereka Tidak
Minta
Di
tempat terpisah, SyamsuTohari selaku Koordinator Forum Komunikasi Kepala KUA
JawaTimur menganggap kasus ini sama halnya mencoreng profesi penghulu. Padahal,
sebagai penghulu yang menikahkan calon pengantin tidak pernah meminta tarif dari
masyarakat yang ingin dinikahkan di kantor atau balai nikah KUA.
"Kami
tidak pernah meminta tarif saat menikahkan calon pengantin di luar balai nikah.
Kalaupun diberi, itu bukan gratifikasi atau pungutan (pungli). Pemberian itu sama
sekali tidak dipaksakan. Justru jika ditolak, dikhawatirkan menyinggung perasaan
tuan rumah yang menikahkan putra-putrinya. Dan itu sudah kultur warga Jatim menggelar
pernikahan yang dianggap sakral di rumah atau di masjid. Saat pulang, kami
diberi makanan dan sejumlah uang sekadar ongkos lelah atau sebagai pengganti ongkos
transport, jadi itu wajar bukan gratifikasi atau pungutan yang dipaksakan".
Saling tuding
Melihat
kondisi yang semakin carut marut membuat sebagian kalangan saling tuduh dan
menyalahkan. Karena menurutnya kejadian ini akan menimbulkan keresahan di
tengah masyarakat.
DR Hidayat Nur Wahid,
mantan Ketua
MPR RI periode 2004-2009
"Permasalahan itu muncul dari Kemenag
sejak 2012. Kemenag harus tanggung jawab karena menciptakan kondisi itu,
kasihan masyarakat yang semakin dibuat resah".
Masyarakat Makin Cerdas
Perlahan-lahan
masyarakat akhirnya kritis terhadap “ulah” dari sebagian oknum KUA yang sering
melakukan pungutan di luar biaya nikah sebagaimana yang sudah ditentukan pemerintah.
Seperti apa suara-suara mereka, berikut berbagai komentar dari beberapa
kalangan yang berbicara.
Mochtar Kusuma
Atmaja, pendidik
“Terus
terang kami sebagai rakyat kecil yang tidak begitu tahu soal urusan nikah. Jujur saja dulu kami
menikahkan putri kami terkena sampai 300 ribu, padahal katanya biaya nikah
hanya 30 ribu saja. Pertanyaannya, uang yang sebesar 370 ribu dikemanakan?
Kalau memang penghulu dan modin (Kesra kelurahan-red) memungut uang sebesar itu
lalu di mana hati nurani mereka. Ya kalau yang punya hajat orang kaya, kalau
orang miskin apakah ini namanya pungli?”.
Supriadi, Sos,S. Wakil Ketua
DPRD Kota Semarang
“Saya
kira ini semacam pemberian yang sifatnya sukarela dan tidak memaksa. Karena
biasanya ini dilakukan pada hari libur kerja atau diundang untuk datang ke
rumah. Misalnya kalau toh tidak memberi pun juga tidak apa-apa. Begitu juga
dengan biaya nikah, tidak semua penghulu melakukan seperti itu. Saat ini memang
pemerintah belum mengcover biaya penghulu yang demikian. Tapi ke depan harus ada
operasional seperti pada saat hari libur harus ada biaya khusus. Ini merupakan
PR bagi kami selaku DPRD bersama pemerintah untuk membahas anggaran ini”.
Pranolo Budi Gautama, LSM, Aktifis, pengurus FKKPI Kota Semarang
“Ini
tidak benar, jangan karena orang tidak tahu lalu seenaknya menaikkan biaya
nikah. Saya tahu kalau orang memberikan uang transport dan biaya nikah sebenarnya tidak memberatkan, tapi secara tidak langsung itu setengah terpaksa, karena biasanya kalau tidak mau
mengiktui akan dipersulit. Saya sangat setuju dengan langkah KPK untuk
membersihkan pungli-pungli yang sering meresahkan ini”.
Maman, tokoh masyarakat
“Bicara
soal birokrasi yang dilakukan dalam urusan pernikahan terus terang selama ini tidak
transparan ketika masyarakat membutuhkan. Inilah yang kemudian disalah gunakan
oleh oknum-oknum penghulu dan modin dengan melakukan pungutan seenaknya. Saya setuju kalau
dilakukan pengawasan secara ketat oleh
pihak-pihak terkait di lingkungan KUA”.*
Itu Bukan Gratifikasi, Tapi Bisyaroh
Pernyataan
KPK terhadap fenomena Kepala KUA (Romli) di Kediri Jawa Timur juga membuat
gerah semua penghulu diberbagai daerah, termasuk juga Penghulu Kec. Pedurungan
Kota Semarang, Moh. Hasan Basri, S.Hi. Berikut pemaparannya.
Tanggapan anda terhadap kasus pak Romli?
Secara
umum kita belum tahu prosedurnya seperti apa karena kesalahan yang awal dari
kabar-kabarnya, pak romli itu sudah menetapkan tarif sebelumnya, jadi hal ini
yang dianggap pungli. Dan kalau itu memang benar adanya, saya fikir wajar juga
kalau yang bersangkutan sampai dijerat hukum, tapi kalau itu hanya menerima
bisyaroh ketika paska pelaksanaan pencatatan nikah menurut saya itu bukan kategori
pungli, walaupun dikatakan oleh KPK itu bagian dari gratifikasi. Tapi memang beberapa
rumor yang beredar bahwa dia mengeluarkan edaran kepada masyarakat tentang
biaya pernikahan diluar peraturan yang berlaku.
Kpk bilang itu gratifikasi?
Kalau
secara UU iya, dan dipandang untuk pejabat negara itu jelas bagian dari
gratifikasi dan itu harus dilaporkan, ketika itu tidak dilaporkan dalam jangka
30 hari berarti sudah masuk ranah korupsi. Tapi ada beberapa pendapat dari
tokoh-tokoh lain yang mengatakan itu masih fifty-fifty. Jadi kitapun
(penghulu-red) tidak pernag mentarget besaran yang kita sebut sebagai bisyaroh
itu atas ganti transport diluar jam kerja kantor. Maka kami menekankan
keikhlasan saja, bahkan kami juga memberitahukan kalau anda keberatan mending
tidak usah saja tidak apa-apa, dan sebagai catatan saja bahwa penghulu itu
tidak hanya bertugas mencatat tetapi juga memberikan khotbatunnikah dan
pembacaan do’a. artinya, ketika saya hanya bertugas mencatat saja, maka itu
bisa disebut sebagai gratifikasi, tetapi kalau saya juga memberikan khotbah dan
do’a maka saya sebut itu sebagai bisyaroh dan itu diperbolehkan untuk
menerimanya.
Berapa besaran transport kerja luar bagi penghulu ?
Tidak
ada. Biaya pencatatan nikah sesuai peraturan itukan 30 ribu rupiah, dan itu
masuk ke kas negara semua sesuai dengan PP 47 tahun 2004. Sedangkan anggaran 2
juta per bulan itu untuk operasional kantor seperti beli kertas, bukan termasuk
transport penghulu.
Tentang kerja diluar jam kantor ?
Kalau
saya inginnya ya kerja di hari kerja pada jam kerja, karena saya masih punya
waktu istirahat dan berkumpun dengan keluarga. Oleh karenanya saya mengharapkan
pemerintah juga menetapkan pencatatan pernikahan dilakukan di hari kerja dan
jam kerja, tapi ketika pemerintah membolehkan menikah diluar hari, jam kerja,
dan di luar tempat kerja seharusnya memberikan payung hukum yang jelas. Dan
seluruh Kepala KUA sekarang sudah berkomitmen, bahwa per pendaftaran Januari
2014 seluruh manten diusahakan menikah di kantor pada hari dan jam kerja.
Jadi permasalahan sebenarnya di payung hukumnya?
Iya,
karena belum ada kejelasan payung hukumnya, apakah ditanggung oleh negara atau
dibebankan kepada masyarakat.
UU Naib
Disebutkan
dalam pasal 1 ayat (3) PMA No. 11 Th. 2007 Penghulu
merupakan pejabat fungsional PNS (Pegawai Negeri Sipil) yang yang diberi tugas dan
tanggung jawab, serta wewenang untuk melakukan pengawasan nikah/rujuk menurut
agama Islam dan kegiatan kepenghuluan. Penghulu merupakan wakil PPN (dalam
hal ini Kepala KUA Kecamatan) untuk melaksanakan tugas pegawasan pelaksanaan
nikah dan rujuk di lapangan sehingga dapat menjalankan kewenangan PPN, yaitu:
melakukan pemeriksaan persyaratan, pengawasan dan pencatatan peristiwa
nikah/rujuk, pendaftaran cerai talak, cerai gugat, dan melakukan bimbingan
pernikahan sesuai pasal 3 ayat (1) jo. Pasal 4 PMA No. 11 Th.
2007.
Tugas Pokok Penghulu
Berdasarkan
Peraturan MENPAN Nomor: PER/62/M.PAN/6/2005, tugas pokok Penghulu adalah
melakukan perencanaan kegiatan kepenghuluan, pengawasan pencatatan nikah/rujuk,
pelaksanaan pelayanan nikah/rujuk, penasihatan dan konsultasi nikah/ rujuk,
pemantauan pelanggaran ketentuan nikah/ rujuk, pelayanan fatwa hukum munakahat,
dan bimbingan muamalah, pembinaan keluarga sakinah, serta pemantauan dan
evaluasi kegiatan kepenghuluan dan pengembangan kepenghuluan.
Fungsi Penghulu
1.
Pelaksanaan pelayanan pencatatan nikah /
rujuk bagi umat Islam.
2.
Pelaksanaan Nikah Wali Hakim *)
3.
Pengawasan kebenaran peristiwa
nikah / rujuk,
4.
Pembinaan hukum munakahat
5.
Pembinaan calon pengantin,
6.
Pembinaan keluarga sakinah.
Untuk
wali hakim pada poin ke dua di atas penjelasannya adalah mendasarkan PMA RI
No.30 Tahun 2005 tentang Wali Hakim, bahwa yang ditunjuk sebagai Wali Hakim
ialah Kepala KUA Kecamatan setempat. Jika Kepala KUA yang bersangkutan
berhalangan, Kepala Seksi Urusan Agama Islam atau Kepala Seksi yang sejenis
atas nama Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/ Kota menunjuk salah satu
Penghulu di KUA Kecamatan tersebut atau KUA Kecamatan terdekat sebagai Wali
Hakim.
Menurut
M Jasin selaku Inspektur Jendral kementrian Agama tugas KUA dan penghulu relatif
banyak, “Bukan hanya melakukan pencatatan
pernikahan tapi juga menyelenggarakan pencatatan pernikahan dan rujuk, mengurus
dan membina masjid, zakat, haji termasuk memberikan manasik, wakaf, ibadah
sosial, pengembangan keluarga sakinah, membina kerukunan umat beragama dan
kependudukan sesuai kebijakan yang ditetapkan oleh Dirjen Bimas Islam.” Jadi sebenarnya ujung tombak ada di
Kemenag," ungkapnya.
DILEMA PENGHULU
Aksi
mogok para penghulu di Indonesia untuk tidak menikahkan pasangan calon
pengantin di luar Kantor Urusan Agama (KUA) memang berdampak sejumlah
kegelisahan bagi masyarakat. Sebagai kebiasaan, mayoritas masyarakat Indonesia
melangsumgkan akan nikah di rumah, di masjid, atau di gedung yang mereka sewa
untuk acara walimatul ‘ursy.
Terimbas
dari aksi mogok di atas, masyarakat tentunya kesulitan melangsungkan akad nikah
sebagaimana adat yang berlaku selama ini. Para penghulu yang mogok itu
dikarenakan khawatir terancam kasus gratifikasi, sebagaimana kasus yang menimpa
Romli, meski mereka melayani masyarakat pada hari libur kerja.
Pukulan Keras
Menurut pengamat
sosial, Sri Rejeki, S.Sos.I, M.Si, kebutuhan masyarakat yang tidak bisa
dipenuhi itu jelas memunculkan berbagai masalah tersendiri. Mengingat acara
akad nikah adalah acara yang sangat penting terutama bagi keluarga pengantin, maka
aksi mogok para penghulu itu merupakan pukulan keras bagi masyarakat.
“Para
penghulu yang sudah tidak melayani akad nikah di luar kantor itu jelas
menimbulkan masalah baru bagi masyarakat. Adat yang berlaku dalam masyarakat
secara tiba-tiba terhenti, ini jelas-jelas merupakan pukulan keras bagi
masyarakat. Sulit sekali untuk merubah adat yang sudah turun-temurun ratusan
tahun lamanya”, terang Sri.
Cari Aman
Secara
hukum memang tidak masalah, apakah akad nikah dilangsungkan di KUA atau di luar
KUA tetap sah selama terpenuhi syarat dan rukunnya. Oleh karena itu, pihak
penghulu dalam hal ini tidak bisa disalahkan atas aksi mogoknya itu.
“Penghulu
tidak bisa serta merta disalahkan, kalau dia melayani di luar kantor nanti bisa
kena ancaman gratifikasi. Daripada beresiko lebih baik cari amannya saja,
meskipun di sisi lain masyarakat merasa dirugikan atas mogoknya penghulu”,
tutur Sri.
Harap Maklum
Dengan
adanya kondisi yang demikian, masyarakat diharapkan bisa memaklumi dilema yang
dihadapi kaum penghulu di Indonesia.
“Ibarat
pepatah: Maju kena, mundur kena.
Kalau maju kena gratifikasi, kalau mundur dibenci masyarakat. Berangkat dari
kondisi ini, masyarakat harus ngerti dan memahami kenyataan dilema yang dirasakan
penghulu”, pungkas Sri.
|
AKSI PENGHULU
BISA DIMAKLUMI
Terkait
aksi mogoknya para penghulu di jajaran KUA dalam memberikan pelayanan
pernikahan di luar kantor dan jam kerja, Kementerian Agama kantor Wilayah Jawa
Tengah memahami dan memaklumi sikap tersebut sesuai dengan kewenangan pegawai
KUA untuk menyetujui atau tidak melakukan pelayanan di luar kantor dan jam
kerja.
Kepala
Bidang Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah (Urais dan Binsyar) Kementrian
Agama Jawa Tengah, Drs. H.A. Syaifulloh,
M.Ag., mengatakan:
“Kami
bisa memaklumi apa yang dilakukan para penghulu itu, karena jika tidak
demikian, maka mereka bisa terkena kasus gratifikasi, sebagaimana ditegaskan
KPK”, ujar Syaifulloh (30/12/2013).
Berdasar Aturan
Aksi
mogok para penghulu yang tidak seperti biasanya itu memang bukan tanpa dasar.
Menurut Peraturan Menteri Agama (PMA) No. 11 tahun 2007 tentang Pencatatan
Nikah, pasal 21 ayat 2 disebutkan bahwa “Atas permintaan calon pengantin dan
atas persetujuan PPN (Pegawai Pencatat Nikah), akad nikah
dapat dilaksanakan di luar kantor”.
“Jadi,
berdasarkan PMA No. 11 tahun 2007 Pasal 21 ayat 2, jika PPN tidak menyetujui
berarti pelaksanaan akad nikah ya tetap di kantor KUA. Sebaliknya, kalau PPN
setuju, baru bisa dilaksanakan di luar kantor. Namun saat ini, kelihatannya
sulit dilakukan di luar kantor, karena itu semua butuh biaya operasional,
sedangkan kantor tidak menyediakan uang transportasi yang memadai. Kalau nanti
menerima uang (transportasi) dari pihak pengantin nanti bisa dituntut
gratifikasi”, papar Syaifulloh.
“Memang
kebanyakan masyarakat, sekitar 90%, lebih menginginkan pernikahan di rumah
daripada di KUA, salah satu alasannya karena nikah di KUA itu agak berbau aib,
karena yang biasanya nikah di KUA itu orang fakir miskin dan karena darurat
(hamil duluan)”, imbuh Syaifulloh.
Solusi
Karena
belum ada payung hukum yang jelas dan kuat bagi penghulu untuk memberikan
pelayanan akah nikah di luar kantor tanpa adanya ancaman gratifikasi, maka
pihak KUA masih dapat melayani masyarakat sebagaimana sebelumnya hingga akhir
desember 2013.
“Untuk
solusi sementara, kami masih melayani (akad nikah) di luar kantor hingga
tanggal 31 Desember 2013. Kalau pada awal tahun 2014 kok payung hukumnya belum
jelas atau belum keluar, maka dengan terpaksa kami tidak bisa melayani di luar
kantor. Tetapi kalau sudah keluar aturan yang membolehkan, maka tidak ada
masalah”, papar Syaifulloh.
“Kami
masih menunggu aturan yang masih digodog oleh pemerintah pusat terkait
pelayanan di luar kantor, yang direncanakan akan terbit awal januari 2014”,
pungkas Syaifulloh.
Gratifikasi Dalam Islam
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti dari “gratifikasi” adalah uang hadiah kepada
pegawai di luar gaji yang telah ditentukan. Menurut UU No.31 Tahun 1999 jo. UU
No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Penjelasan Pasal
12 b ayat (1), Gratifikasi adalah Pemberian dalam arti luas, yakni meliputi
pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket
perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan
fasilitas lainnya.
Adapun
dalam bahasa arab, suap atau sogok dikenal dengan riswah , yang
diartikan sebagai, "Apa-apa yang diberikan agar
ditunaikan kepentingannya atau apa-apa yang diberikan untuk membenarkan yang
salah atau menyalahkan yang benar". Dan dalam syariat islam, hal
suap-menyuap ini ini sangat ditentang dan diancam dengan ancaman yang
mengerikan, Rasulullah SAW , beliau bersabda: "Allah melaknat orang yang memberi
suap, dan yang menerima suap" (HR. Ahmad)
Gratifikasi
adalah apa yang diterima baik di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang
dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik. Ada
beberapa contoh penerimaan gratifikasi, diantaranya yakni seorang pejabat
negara menerima “uang terima kasih” dari pemenang lelang; Suami/Istri/anak
pejabat memperoleh voucher belanja dan tiket tamasya ke luar negeri dari mitra
bisnis istrinya/suaminya; termasuk juga yang disebutkan oleh KPK yaitu
penerimaan Penghulu di luar gaji pada saat mencatatkan dan menikahkan mempelai,
dan lain sebagainya.
Hukum Islam
Seperti
halnya hadits yang telah disebutkan di atas, bahwa gratifikasi termasuk yang
dilarang dalam Islam, berkenaan dengan ini Rasulullah SAW bersabda yang
diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim: Abu Humaidi Assa'idy berkata, "Rasulullah SAW mengangkat seorang pejabat
untuk menerima sedekah / zakat kemudian sesudah selesai, ia datang kepada Nabi
SAW dan berkata," Ini untukmu (untuk Negara) dan yang ini (untukku
sebagai) hadiah yang diberikan orang padaku. "Maka Nabi SAW bersabda
kepadanya," Mengapa engkau tidak duduk saja di rumah ayah atau ibumu,
apakah di beri hadiah atau tidak (oleh orang)? "Kemudian sesudah shalat,
Nabi SAW berdiri, setelah tasyahud dan memuji Allah selayaknya, lalu
bersabda. "Amma ba'du, mengapakah seorang pegawai yang diserahi amal,
kemudian ia datang lalu berkata," Ini hasil untuk kamu dan ini aku berikan
hadiah, mengapa ia tidak duduk saja di rumah ayah atau ibunya untuk menunggu
apakah ia diberi hadiah atau tidak?.Demi Allah yang jiwa Muhammad di tangan-Nya
tiada seorang yang menyembunyikan sesuatu (korupsi), melainkan ia akan
menghadap di hari kiamat memikul di atas lehernya.”
Apa
yang disampaikan oleh KPK atas penerimaan para naib setelah menikahkan mempelai
saat kerja di luar jam kantor sebagai sebuah gratifikasi dinilai Menteri Agama
Suryadharma Ali sebagai hal yang berlebihan. Karena menurut Suryadharma, bagi
para penghulu di daerah terpencil begitu berat tanggungjawabnya.
Sama
halnya dengan kisah pensiunan penghulu di daerah pegunungan Wonosobo, Jawa
Tengah ini. Sedari awal bekerja di KUA sampai pensiun, Abu Sofyan selalu
ditempatkan di Kecamatan-kecamatan pelosok. “Dari
pertama bekerja saya sudah ditempatkan di Kecamatan pinggiran, Kec. Kejajar
yang lereng pegunungan Dieng, lalu Kec. Wadaslintang yang berbatasan dengan
Kab. Kebumen, selanjutnya dipindah di Kecamatan baru Sukoharjo yang berbatasan
dengan Kab. Banjarnegara, lalu dipindah di Kec. Kalibawang yang berbatasan
dengan dengan Kab. Purworejo, setelahnya kantor KUA Kec. Kertek. Pernah di
kantor Depag namun hanya sebentar saja.” Jawab bapak 62 tahun ini.
Dalam
setiap harinya, Abu mengaku merasa capai karena jarak tempuh yang begitu jauh
dari tempat tinggalnya di jantung Kota Wonosobo. “Setiap pagi saya selalu berangkat lebih awal karena jarak tempuh yang
begitu jauh. Untuk Kecamatan Sukoharjo saja bisa satu jam lebih untuk sampai
kantor, sedangkan Kec. Kalibawang bisa mencapai 1,5 jam dan itupun harus
melewati 4 wilayah Kecamatan. Itu belum ketika hendak menikahkan mempelai,
karena untuk desa terpencil bisa mencapai kiloan meter agar bisa sampai, belum
lagi medan jalan yang banyak rusaknya.” Ungkap pensiunan penghulu tahun
2007 ini.
Bagi
Abu, menjadi penghulu di wilayah terpencil sangat berat tantangannya, dalam
menghadapi medan perjalanan dan SDM orang-orangnya. “Pernah ketika saya di Kec. Sukoharjo jatuh dari sepeda motor dua kali
karena jalanan berbatu terjal, bahkan pernah ketika jatuh tidak ada orang yang
melintas sama sekali hingga sayapun merangkak sendirian karena wilayahnya yang
jauh dari pemukiman dan hampir seperti hutan. Paska jatuh dari motor kaki saya
melepuh terkena mesin, hingga akhirnya harus cuti satu minggu karena tidak
memungkinkan untuk perjalanan kerja. Pernah juga saya menikahkan malam hari
hingga pulang sampai rumah sekitar jam 12 malam. Tantangan yang saya hadapi itu
belum seberapanya mas, bagi rekan-rekan penghulu yang ada di Kec. Wadaslintang bisa
lebih berat lagi. Di sana ada satu desa namanya Kemejing yang jika hendak ke
sana dari kantor KUA harus menyebrang dengan perahu sekitar 30 menit yang
kadang harus berbarengan dengan hewan ternak, setelah mendarat masih harus
berjalan kaki sekitar satu jam karena tidak ada ojek di sana.” Paparnya Abu
dengan nafas yang kini telah terbata
Selain
medan yang jelek, Abu mengaku tidak hanya itu saja tantangan yang harus
dihadapi seorang penghulu di daerah pelosok. “Selain daerah pelosok yang kontur tanahnya perbukitan dan medan
jalannya yang banyak parahnya, juga SDM masyarakatnya yang masih rendah. Karena
ketika saya telat kelokasi pelaminan, kadang mereka kurang toleran juga
khususnya pak Modinnya (Kesra Desa -red) yang kadang menyalahkan telatnya
kedatangan saya, padahal jelas alasannya karena medan dan jarak tempuh yang
jauh.” Timpalnya.
Dengan
pengalaman tersebut Abu menolak jika pada hal yang telah di alami oleh penghulu
seperti dirinya dianggap sebagai gratifikasi. “Sekarang siapa yang mau coba mas, untuk bekerja di luar jam dan hari
kerja dengan medan yang luar biasa sulitnya, bahkan tanpa diberi ganti transport
dari kantor.” Pungkas pria ramah senyum ini.
Dengan ini kita akan melihat sejauh mana keadilan pemerintah yang akan dituangkan dalam kebijakannya, tentunya dengan melihat juga kondisi di masyarakat riil seperti apa agar jelas pula payung hukumknya bagi penghulu dan masyarakat.
By: Alfin Hidayat El_mlipaki
By: Alfin Hidayat El_mlipaki
0 komentar:
Posting Komentar