Zakat adalah sebagian harta yang dikeluarkan dalam syarat tertentu tertentu yang disalurkan kepada yang berhak mendapatkannya [8 golongan/ ashnaf (QS. At Taubah: 60]. Dan delapan ashnaf itu adalah; Orang-orang fakir, Miskin, Pengelola zakat (Amil), Mu'allaf, Budak, Orang-orang yang berhutang
(Ghorim), Untuk di jalan Allah (Fi Sabilillah), dan mereka yang sedang dalam perjalanan (Ibnu Sabil).
Sesuai dengan perkembangan zaman, penyaluran zakatpun bagi sebagian ulama’ ada yang berpendapat berbeda terutama dalam pembahasan tentang siapa saja fi sabilillah itu yang mana sebagian dari mereka memasukkan masjid dalam bagian fi sabilillah. Dan tidak sedikit pula fenomena di masyarakat bahwa dana zakat juga digunakan untuk pembangunan masjid. Bagaimana permasalahan itu dalam Islam.
Ada khilafiyah di kalangan ulama tentang boleh tidaknya memanfaatkan zakat untuk membangun masjid. Khilafiyah ini berpangkal dari perbedaan penafsiran istilah fi sabilillah pada ayat tentang delapan ashnaf (golongan) mustahiq zakat (QS At-Taubah: 60).
Pertama
Syaikh Bin Baaz mengatakan, “Yang diketahui dikalangan para ulama seluruhnya dan itu pendapat jumhur yang terbanyak, bahkan ini seperti ijma' dari kalangan para ulama salaf saleh terdahulu bahwa zakat tidak boleh diarahkan untuk pembangunan masjid dan pembelian kitab-kitab, dan yang semisalnya. Namun zakat hanya boleh diarahkan kepada 8 golongan yang datang penyebutannya didalam ayat dalam surah At- Taubah, mereka adalah: fakir, miskin, amil zakat, orang yang dilekatkan hatinya kepada islam (muallaf , budak yang ingin merdeka, orang yang dililit hutang, fi sabilillah dan orang yang kehabisan bekal dalam perjalanan, dan fi sabilillah khusus dalam urusan jihad. Inilah yang dikenal dikalangan para ulama. Tidak termasuk diantaranya mengarahkannya untuk pembangunan masjid, pembangunan sekolah- sekolah, jalan- jalan, dan yang semisalnya.”
Begitu pula dengan pendapat Syaikh Muhammad bin Shaleh Al-Utsaimin. “Pembangunan masjid tidak masuk katagori yang difirmankan Allah, "Untuk jalan Allah", karena seperti yang ditafsirkan oleh para mufassir bahwa yang dimaksud jalan Allah adalah berjihad di jalan Allah; karena jika kita katakan bahwa yang dimaksud dengan jalan Allah adalah segala bentuk kebaikan tanpa ada batasnya, maka firman Allah, "Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyala untuk orang-orang fakir", tidak ada gunanya. Pembatasan seperti yang kita ketahui bersama adalah menetapkan hukum berdasarkan ketetapan nash dan menolak selainnya. Jika kita katakan bahwa makna "untuk di jalan Allah" adalah semua jalan kebaikan, maka ayat itu tidak ada gunanya walaupun diawali dengan kata "innama" yang menunjukkan pembatasan. Kemudian jika membayarkan zakat untuk pembangunan masjid diperbolehkan dan begitu dalam kebaikan-kebaikan lainnya diperbolehkan, maka hal itu akan mengesampingkan kebaikan yang lain, karena kebanyakan manusia bersifat kikir. Jika mereka melihat bahwa pembangunan masjid dan jalan kebaikan lain boleh dijadikan jalan untuk menyalurkan zakat, tentu mereka akan bergegas menyalurkan zakat mereka ke jalan itu, sehingga orang-orang miskin tetap miskin dan selalu membutuhkan.”
Pendapat ulama’ yang pertama ini tidak membolehkan uang zakat itu disalurkan untuk pembangunan masjid, pemaknaan fi sabilillah tetap pada perseorangan dengan ketentuan khusus dalam urusan jihad.
Kedua
Sebagian ulama menafsirkan fi sabilillah secara umum, yaitu segala jalan kebajikan (fi jami'i wujuh al-khair). Maka mereka memungkinkan zakat untuk membangun masjid, karena termasuk jalan kebajikan. Imam Fakhrur Razi, misalnya, menafsirkan fi sabilillah dalam arti segala jalan kebajikan, misal mengkafani mayat, membangun benteng, dan memakmurkan masjid ('imaratul masajid). Pendapat semakna dikemukakan antara lain oleh Al-Khazin, Al-Qasimi, dan lainnya.
Sedang pendapat ulama’ kontemporer seperti Dr. Yusuf Qordhowi mengatakan dalam Fiqhuz Zakat menyebutkan, misalnya sebuah lembaga dakwah atau Islamic center di sebuah negeri minoritas muslim tentu sangat layak mendapatkan dana zakat ini, karena pada hakikatnya yang dilakukan oleh Islamic Center ini tidak lain adalah memperjuangkan agama Islam. Bahkan bila Islamic Center itu adanya di negeri muslim sekalipun tetapi memiliki peranan besar dalam memperjuangkan Islam, termasuk yang bisa dikategorikan fi sabilillah.
Para musuh Islam berusaha memurtadkan umat Islam dengan sekian banyak program yang mereka gariskan. Karena itu sudah sewajarnya umat Islam bertahan dan juga memasang jurus yang minimal sama untuk membendung arus pemurtadan kontemporer itu. Sehingga menurut sebagian ulama kontemporer, jihad fi sabilillah di masa kini mencakup juga mendirikan sekolah, Islamic Center, lembaga / organisasi dakwah dan sejenisnya. Di mana misinya adalah memperjuangkan kepentingan umat Islam dan demi tegaknya syarait Islam.
Berangkat dari ijtihad seperti itu, maka bila masjid itu memang memiliki peran tersendiri dalam perjuangan menegakkan Islam, maka menurut Yusuf Qordhowi bisa saja dikategorikan sebagai fi sabililah. Apalagi bila masjid itu dibangun di wilayah minoritas Islam, atau di wilayah yang penduduknya muslim namun kurang sekali pengamalan Islamnya, sehingga keberadaan masjid itu memang menjadi sebuah nilai perjuangan tersendiri karena bermisi menegakkan Islam.
Menurut sebagian ulama Syafi’I, mereka memahami dengan pendapat sebagian besar ulama kontemporer masa kini yang tidak mempersempit kata "fi sabilillah" dan tidak hanya memberikan zakat untuk tujuan konsumtif saja, namun zakat juga bisa diperuntukan untuk tujuan produktif, seperti zakat untuk modal usaha atau bangun masjid/ madrasah. Karena memberikan zakat secara produktif lebih berarti dan maslahat dari pada secara konsumtif yang habis begitu saja dipakai makan-minum. Hanya saja zakat yang bisa bernilai produktif itu terbatas pada zakat mal (harta) dan bukan zakat badan (fithrah). Karena zakat fithrah yang terbaik dengan makanan pokok dan bukan dengan uang. Namun perlu diingat, penggunaan zakat mal untuk produktif atau bangun masjid / madrasah tidak bisa dihabiskan semua untuk satu kepentingan saja. Karena mazhab Syafi'i berpendapat; distribusi zakat itu harus minimal kepada tiga golongan dari delapan ashnaf yang setiap ashnaf minimal harus tiga orang. Hal ini dikarenakan dalam ayat di atas menggunakan kata jamak (plural), yaitu shadaqât (jamak dari shadaqah) dan fuqara (jamak dari faqir), dst, sedangkan kata jamak itu minimal untuk tiga orang.
Al-Lajnah Ad-Daimah juga merajihkan pendapat ini dan mengatakan bahwa ini adalah pendapat mayoritas ahli tafsir, ahli hadist, dan ahli fiqh. Dan mereka menambahkan bahwa kalau tidak ditemukan orang yang berhak mendapat zakat dari 8 golongan tersebut maka boleh dipergunakan untuk pembangunan sarana umum seperti masjid dll.
Kesimpulan
Melihat dari berbagai pendapat di atas, maka bisa kita simpulkan bahwa;
1. Dana zakat yang diperuntukkan bagi masjid bukanlah dana zakat fitrah tetapi zakat mall.
2. Uang zakat mall yang dialokasikan untuk masjid tersebut haruslah diperuntukkan bagi pembangunan masjid yang bertujuan untuk menegakkan syi’ar, yang mana penegakkan syi’ar/ kalimat Allah SWT termasuk dalam jihad fi sabilillah.
3. Adalah tidak seyogyanya bahwa dana zakat mall digunakan untuk masjid dalam arti tidak diorientasikan jihad fi sabilillah atau memperindah dalam bentuk fisik dan sejenisnya.
0 komentar:
Posting Komentar