Bagaimanakah manusia sekarang jika tanpa peta. Ketika bepergian tidak
lagi mengetahui arah dan situasi di mana posisi berada, hendak kemana dan dari
arah mana. Pastinya peta dan kompas menjadi alat bantu yang sangat berguna.
Banyak profesi seseorang yang menggunakan jasa dari ilmu geografi yang
diantaranya peta, misalkan; pilot, nahkoda, astronout, bahkan seorang
musafirpun akan sangat terbantu untuk mengetahui arah mata angin.
Dalam kaitan ilmu geografi,
sejarah mencatat seorang Muslim bernama al-Ya'qubi yang hingga kini pun
karya-karya mereka masih menjadi bahan referensi di bidang ilmu
geografi. Dia hidup di Baghdad pada masa pemerintahan khalifah Abbasiyah,
al-Mu'tamid (257 H/870 M - 279 H/892 M).Selain pakar pada bidang geografi,
al-Ya'qubi juga dikenal sebagai seorang sejarawan dan pengembara.
Tidak diketahui secara pasti
tanggal lahir dari tokoh bernama lengkap Ahmad bin Abi Ya'qub Ishaq bin Ja'far
bin Wahab bin Waddih ini. Hanya yang jelas, kakeknya adalah seorang maula
'(budak) khalifah Abbasiyah, al-Mansur.
Kariernya terbilang cukup
cemerlang di pemerintahan. Ia misalnya pernah menjadi sekretaris
al-khalifah (negara) Abbasiyah. Ia juga sempat mengadakan pengembaraan
panjang ke Armenia, Transoksania (Asia Tengah), Iran, India, Mesir, Hedzjaz
(Hijaz) serta Afrika Utara. Dalam pengembaraannya tersebut banyak
informasi tentang sejarah dan geografis yang ia peroleh.
Berdasarkan pengalamannya pergi ke
sejumlah negara, maka pada tahun 891 al-Ya'qubi menulis sebuah buku berjudul
Kitab al-Buldan (Buku Negeri-negeri). Buku ini termasuk kitab yang tertua
dalam sejarah ilmu geografi dunia. Karenanya, buku tersebut pun lantas
diterbitkan kembali oleh sebuah penerbit di Leiden, Belanda, dengan mengambil
judul Ibn Waddih qui dicitur al-Ya'qubi historiae.
Misteri sebuah tempat, memikat
hati Ya’qubi ini. Ilmuwan yang
lahir di Asia Kecil ini, kemudian menelusuri dan menyingkap beragam tempat yang
ia kun jungi dan dikisahkan oleh orang-orang yang ia jumpai setelah melakukan
sebuah perjalanan. Ketertarikan Ya’qubi,
demikian ia sering dipanggil, membuahkan sejumlah karya dalam bidang yang
kemudian akrab disebut geografis . Paling tidak ada dua karya yang
melambungkan namanya, yaitu Mujam al-Udaba atau Kamus Orang-orang Terpelajar. Sedangkan buku lainnya yang secara
khusus membicarakan tentang bidang yang ia kuasai, geografis, berjudul Muajam
al-Buldan atau Kamus Negara-negara.
Dua karya tersebut memiliki
ketebalan sampai 33.180 halaman. Mujam al-Buldan, merupakan sebuah
ensiklopedia geografis yang lengkap, yang mengambil hampir seluruh wilayah yang
ada di abad pertengahan dan kejayaan Islam. Dalam menjelaskan sebuah
tempat, Ya’qubi memasukkan hampir seluruh aspek yang terkait tempat
tersebut. Ya’qubi menguraikan tentang aspek arkeologi, etnografi,
antropologi, ilmu alam, geografis, dan koordinat dari setiap tempat yang ia
jelaskan dalam ensiklopedianya itu. Bahkan,
ia juga memberikan nama untuk setiap kota, menginformasikan monumen dan
bangunan megah di kota itu. Tak lupa pula, Ya’qubi mengisahkan tentang
sejarah sebuah tempat, populasi, sampai figur atau sosok ternama dari tempat
atau kota yang ia jelaskan.
Ketelitian
Untuk mendapatkan informasi
perinci yang ia gunakan dalam ensiklopedianya itu, ia melangkahkan kakinya ke
sejumlah wilayah. Ya’qubi bepergian ke Persia, Arabia, Irak, dan
Mesir. Ia sendiri saat itu menetap di Allepo, Suriah. Ia membangun
relasi dan pertemanan dengan para geografer dan sejarawan. Ia mengorek
kumpulan fakta dari mereka dan juga para wisatawan. Namun, hal yang paling
penting dan ini menjadi ruh dalam ensiklopedianya itu, ia menuliskan
fakta-fakta yang dikumpulkan dari perjalanan-perjalanan yang ia lakukan sendiri dan dari orang yang ia temui
saat ia melakukan sebuah perjalanan. Selain itu, Ya’qubi juga sepenuhnya
memahami dengan beragam konsep para geografer Muslim sebelumnya bahwa mereka
tak hanya menguasai geografis, tetapi juga mengaitkannya dengan sejumlah bidang
ilmu lainnya. Seperti, matematika dan fisika. Semua itu, Ya’qubi
tuangkan pula dalam karyanya. Bahkan, dalam bab tambahan di dalam
ensiklopedianya itu, ia terlebih dahulu membahas mengenai istilah yang ia
gunakan dalam karyanya itu dan istilah-istilah geografis yang tersebar di
dalamnya.
Untuk melengkapi dan memperkaya
data, Ya’qubi memanfaatkan hasil kerja dari ilmuwan-ilmuwan
sebelumnya. Namun, ia bersikap kritis terhadap data-data yang ia
gunakan. Ia melakukan koreksi atas data yang ingin ia gunakan jika memang
dibutuhkan. Bahkan, Ya’qubi dikenal sebagai ilmuwan yang sangat ketat
dengan data dan fakta yang ingin ia gunakan dalam karyanya. Hasil kerjanya, merupakan akhir dari
sebuah proses ketat yang ia lakukan. Semua data dan fakta ia
teliti. Fakta yang dinilai tak valid, ia buang. Ya’qubi sangat
berpegang pada akurasi dan ketelitian informasi. Tak heran jika dalam
situs Muslimheritage, disebutkan bahwa Mujam al-Buldan sampai sekarang dianggap
sebagai sumber referensi yang sangat bagus.
Dalam karyanya itu, Ya’qubi juga
melihat adanya hubungan erat antara geografis dan sejarah. Ia menekankan
pula peran ortografi atau sistem penulisan dari tempat-tempat yang ia gambarkan
dalam karya ensiklopedianya itu. Selain itu, pengaturan alfabet dalam
karyanya, merupakan upaya untuk memberikan ejaan yang tepat mengenai nama-nama
tempat, posisi geografisnya, batas, pegunungan, padang pasir , laut, dan
pulau-pulau yang ada di suatu tempat. Ya’qubi juga menyematkan nama pada
setiap tempat, nama aslinya, termasuk anekdot, dan fakta-fakta penting lainnya
yang terkait tempat yang ia jelaskan itu. Ia memberikan catatan pula, para
penulis sebelumnya tak memiliki perhatian memadai soal ejaan sebuah
tempat. Tak hanya itu, Ya’qubi juga menilai mereka menyebutkan lokasi yang
tepat tentang sejumlah tempat. Ini membuat banyak ilmuwan salah
mendapatkan informasi dari catatan-catatan yang dihasilkan oleh sejumlah
ilmuwan terdahulu.
Berreferensikan Al Qur’an
Ya’qubi juga menegaskan, karya
ensiklopedianya itu tak hanya bermanfaat bagi Muslim dalam bepergian. Apa
yang ia tulis juga terinsipirasi ajaran Alquran. Ia yakin bahwa karyanya
bukan hanya berguna bagi para wisatawan, tapi juga untuk para hakim, teolog,
sejarawan, dan dokter. Dalam karya lainnya, yang dalam bahasa Inggris
berjudul Dictionary of Men of Letters, Ya’qubi menuliskan pandangannya. Ia
membedakan antara orang terpelajar dengan ilmuwan. Ia mengatakan, orang
terpelajar memilih dari segala bahan kemudian menyusunnya. Sedangkan
ilmuwan, ungkap Ya’qubi, adalah seseorang yang memilih cabang ilmu pengetahuan
tertentu kemudian mengembangkannya. Ia juga menekankan pada penggunaan
atau manfaat. Dalam konteks ini, ia mengutip seorang ilmuwan bernama Ali
Ibnu al-Hasan. Jika ilmuwan tak berpikir tentang penggunaan dan hasil
kerja, ujar Ya’qubi, itu akan menjadi awal bagi terwujudnya manipulasi terhadap
ilmu pengetahuan. Dengan persepsinya itu, ia kemudian menuntaskan Mu'jam
al-Udaba.
Di sisi lain, Ya’qubi juga
berpandangan bahwa ilmu pada kekuasaan. Ia menuliskan pandangannya itu
dalam Mu'jam al-Udaba, melalui sebuah kisah Khalifah Al-Mutamid. Suatu
pagi, khalifah berjalan di taman dan mengangkat Tsabit Ibnu Qurra dengan
tangganya. Lalu, Khalifah Al-Mutamid, menjatuhkan Tsabit secara
perlahan. Dan ini membuat Tsabit bertanya. Ada apa tuan? tanya Tsabit. Khalifah pun
kemudian menjawab, tanganku ada di atasmu, namun ilmu pengetahuan lebih tinggi
lagi, katanya. Dalam karyanya tersebut, Ya’qubi ingin menjelaskan bahwa
dalam persepsi Muslim, tingkatan ilmu pengetahuan lebih tinggi dibandingkan
kekuatan politik.
0 komentar:
Posting Komentar