“ Berpegang teguhlah kalian pada tali
agama Allah,
dan janganlah kalaian saling
bercerai-berai”
Individu adalah unsure terkecil dalam
sebuah sistim tatanan masyarakat, yang mana di dalam tatanan masyarakat
tersebut terdiri dari barbagai individu-individu yang berdiri, tak mustahil
pula berlatar belakang suku dan budaya berbeda-beda pula. Sifat heterogenitas
tersebut tidak terhenti pada aspek latar belakang suku dan budaya semata,
tetapi yang lebih hakikatnya lagi bahwa pada fitrahnya manusia diciptakan dalam
segala keberbedaan. Berbeda warna kulit, kebangsaan, terlebih lagi sifat,
karakter, pola pikir, serta visi dan misi atau tujuan hidup masing-masing
individu. Ketika perbedaan visi antar individu dalam masyarakat maka
akan
timbul sebuah benturan yang kemudian kita sebut sebagai konflik. Ketika konflik
yang terjadi bukan menjadi nilai positif yang dihasilkan dalam sebuah tatanan
masyarakat, maka lahirlah kesepakatan-kesepakatan yang merujuk pada sebuah tata
aturan yang mengatur seluruh sendi kehidupan masyarakat guna menuju nilai yang
lebih tinggi yaitu kejayaan atau peradaban sebagai tujuan bersama.
Dalam tata aturan tersebut teredapat
norma-noma yang harus diindahkan oleh setiap individu anggota masyarakat,
antara lain norma etika/kesopanan, norma social, serta norma keyakinan/agama.
Artinya setiap individu atau anggota masyarakat harus lebih bisa mengedepankan
kepentingan umum atau bersama diatas kepentingan pribadi/golongan. Walaupun
secara fitrah manusia mempunyai kebebasan (freedom humanistic) dalam
kediriannya untuk menentukan segala hal guna kelangsungan hidupnya, namun pada
dasarnya manusia adalah mahluk social yang artinya tidak dapat berdiri sendiri
atau dengan kata lain selalu bersinggungan dengan individu lain. Secara
teoritis bahwa ego tidak bisa berdiri diatas hubungan emosional dalam lingkup
komunal.
Ketika seseorang lebih mementingkan
kepenting pribadi dari pada kepentingan bersama dan tidak diindahkannya lagi
norma-norma yang menjadi sendi dalam tata aturan hidup bermasyarakat maka akan
berlakulah hukum bersama misalnya pengucilan terhadap anggota masyarakat
tersebut. Bukan karena factor egoisme semata sifat ini muncul namun ada
kemungkinan dari indikasi telah bergesernya pola pikir atau paradigma pada
individu tersebut, misalnya dalam pemenuhan hidup menggunakan praktek-praktek
dengan modal sekecil-kecilnya demi memperoleh keuntungan sebesar-besarnya.
Tipe-tipe seperti inilah yang akan mengajarkan metode-metode eksploitatif ,
pemaksaan, penindasan, bahkan penjajahan terhadap individu lain sehingga lupa
dengan satatusnyta sebagai mahluk social yang harus saling membantu serta
peduli dengan individu-individu lain . Apabila sifat ini telah mewabah pada
setiap anggota masyarakat maka dalam menyongsong tujuan bersama yaitu
masyarakat yang berperadaban akan mengalami hambatan, karena visi masyarakatnya
berjalan secara parsial.
Sebagian contoh kecil inilah yang akan
melemahkan semangat kebersamaan sehingga kekuatan masyarakatpun mudah
dipatahkan oleh musuh. Sebagai ibarat bahwa sapu lidi akan sulit/lama dalam
bekerja ketika unsure lidi yang digunakan sedikit, dan akan lebih mudah serta
kuat ketika unsure lidi yang digunakan banyak. Sangat dimungkinkan akan
keniscayaan sebuah kehancuran dalam sistem masyarakat tersebut.
ISLAM SEBAGAI SOLUSI
Bagaimana hambatan-hambatan seperti yang
telah disampaikan di muka dapat minimalisir bahkan dihilangkan. Maka yang
menjadi tawaran pertama adalah meluruskan kembali pemahaman paradigma yang
salah, selanjutnya kembali secara berkala dalam sebuah bingkai kebersamaan
menjalankan tata aturan yang telah disepakati dalam masyarakat. Menurut Greek,
bahwa etika adalah alat untuk menuju sebuah perubahan atau revolusi peradaban.
Menurut Greek pula tanpa etika akan terjadi kekacauan dalam masyarakat.
Dan menjadi nilai lebih ketika Islam
menawarkan sebuah solusi konkrit dalam sebuah teori tentang masyarakat,
bagaimana ketika Islam mengajarkan arti pentingnya nilai kebersamaan sebagai
etos kerja, toleransi, musyawarah, menghargai perbedaan kepedulian terhadap
individu lain yang ditunjukan dengan sikap sodaqoh, infak, dan zakat.
Disebutkan dalam Al Qur’an yang artinya “ Bahwa sesungguhnya Allah tidak akan
merubah nasib suatu kaum/bangsa ketika kaum/bangsa itu tidak berusaha
merubahnya sendiri ”, ayat ini menjelaskan bahwa tidak hanya diperlukan sebuah
usaha/ikhtiar untuk perubahan tetapi juga sebuah solusi kebersamaan guna
keberhasilan atas perubahan tersebut dalam konteks komunal, sehingga tujuan
masyaraktpun bisa lebih terarah dan tidak berjalan secara parsial. Perlu dicatat
bahwa bentuk sikap seperti ini dibangun atas dasar konsep sinergitas kedirian
individu sebagai khalifah fil ardhi ( interpretasi sebagai mahluk social) dan
Abdullah (seorang hamba). Ketika kesempurnaan diri sebagai mahluk social sudah
telah tercapai maka akan lebih luas maknanya apabila terjadinya sinergitas
dengan kediriannya sebagai Abdullah yang hanya berorientasi pada lirridloillah.
Apabila bentuk-bentuk sikap seperti inilah yang ditanamkan dalam masyarakat
maka akan menjadi sebuah keniscayaan untuk pembentukan masyarakat madani atau
tatanan masyarakat yang diridloi Allah SWT.
Wallahu’alam bisshshowab....
Oleh, Alfin Hidayat
0 komentar:
Posting Komentar