Ibn Khaldun, nama ini begitu mashur dikalangan pemikir dan Ilmuwan Barat. Ia adalah pemikir dan Ilmuwan Muslim yang pemikiranya dianggap murni dan baru pada zamannya. Tak heran ide-idenya tentang masyarakat Arab seperti yang tertuang dalam buku fenomenalnya “muqaddimah” dianggap sebagai bibit dari kelahiran Ilmu Sosiologi. Penelitiannya tentang sejarah dengan menggunakan metode yang berbeda dari penelitian Ilmuwan pada saat itu juga disebut sebagai bibit dari kemunculan Filsafat Sejarah seperti yang ada sekarang. Kehidupannya yang malang melintang di Tunisia (Afrika) dan Andalusia, serta hidup dalam dunia politik tak ayal mendukung pemikirannya tentang Politik serta Sosiologi tajam dan mampu memberikan sumbangsih yang besar pada Ilmu Pengetahuan."Ibnu Khaldun adalah sarjana pertama yang berusaha merumuskan hukum-hukum sosial," Ilmuwan Jerman, HeinSimon.
Asal Mula Negara (daulah)
Menurut Ibn Khaldun manusia diciptakan sebagai makhluk politik atau sosial, yaitu makhluk yang selalu membutuhkan orang lain dalam mempertahankan kehidupannya, sehingga kehidupannya dengan masyarakat dan organisasi sosial merupakan sebuah keharusan (dharury) (Muqaddimah: 41). Lebih lanjut, manusia hanya mungkin bertahan untuk hidup dengan bantuan makanan. Sedang untuk memenuhi makanan yang sedikit dalam waktu satu hari saja memerlukan banyak pekerjaan. Sebagai contoh dari butir-butir gandum untuk menjadi potongan roti memerlukan proses yang panjang. Butir-butir gandum tersebut harus ditumbuk dulu, untuk kemudian dibakar sebelum siap untuk dimakan, dan untuk semuanya itu dibutuhkan alat-alat yang untuk mengadakannya membutuhkan kerjasama dengan pandai kayu atau besi. Begitu juga gandum-gandum yang ada, tidak serta merta ada, tetapi dibutuhkan seorang petani. Artinya, manusia dalam mempertahankan hidupnya dengan makanan membutuhkan manusia yang lain. (Muqaddimah: 42).
Sedang manusia diberikan akal atau kemampuan berfikir dan dua buah tangan oleh Tuhan. Dengan akal dan tangan ini manusia bisa mempertahankan hidup dengan berladang, ataupun melakukan kegiatan untuk mempertahankan hidup lainya. Tetapi sekali lagi untuk mempertahankan hidup tersebut manusia tetap saling membutuhkan bantuan dari yang lainnya, sehingga organisasi kemasyarakatn merupakan sebuah keharusan. Tanpa organisasi tersebut eksistensi manusia tidak akan lengkap, dan kehendak Tuhan untuk mengisi dunia ini dengan ummat manusia dan membiarkannya berkembang biak sebagai khalifah tidak akan terlaksana (Muqaddimah: 43).
Setelah organisasi masyarakat terbentuk, dan inilah peradaban, maka masyarakat memerlukan seseorang yang dengan pengaruhnya dapat betindak sebagai penengah dan pemisah antara anggota masyarakat. Ini karena manusia mempunyai watak agresif dan tidak adil, sehingga dengan akal dan tangan yang diberikan Tuhan padanya tidak memungkinkan untuk mempertahankan diri dari serangan manusia yang lain karena setiap manusia mempunyai akal dan tangan pula. Untuk itulah diperlukan sesuatu yang lain untuk menangkal watak agresif manusia terhadap lainnya. Ia adalah seseorang dari masyarakat itu sendiri, seorang yang berpengaruh kuat atas anggota masyarakat, mempunyai otoritas dan kekuasaan atas mereka sebagai pengendali/ wazi’. Dengan demikian tidak akan ada anggota masyarakat yang menyerang sesama anggota masyarakat lain. Kebutuhan akan adanya seseorang yang mempunyai otoritas dan bisa mengendalikan ini kemudian meningkat. Didukung dengan rasa kebersamaan yang terbentuk bahwa seorang pemimpin (rais) dalam mengatur dan menjadi penengah tidak dapat bekerja sendiri sehingga membutuhkan tentara yang kuat dan loyal, perdana Menteri, serta pembantu-pembantu yang lain hingga terbentuklah sebuah Dinasti (daulah) atau kerajaan (mulk). (Muqaddimah: 139).
Khilafah, Imamah, Sulthanah
Khilafah menurut Ibn Khaldun adalah pemerintahan yang berlandaskan Agama yang memerintahkan rakyatnya sesuai dengan petunjuk Agama baik dalam hal keduniawian atau akhirat. Maka pemerintahan yang dilandaskan pada Agama disebut dengan Khilafah, Imamah atau Sulthananh. Sedang pemimpinnya disebut Khalifah, Imam atau Sulthan. Khilafah adalah pengganti Nabi Muhammad dengan tugas mempertahankan agama dan menjalankan kepemimpinan dunia. Lembaga imamah adalah wajib menurut hukum agama, yang dibuktikan dengan dibai’atnya Abu Bakar sebagai khalifah. Tetapi ada juga yang berpendapat, imamah wajib karena akal/ perlunya manusia terhadap organisasi sosial. Namun hukum wajibnya adalah fardhu kifayah (Muqaddimah: 191-193).
Ibn Khaldun sendiri menetapkan 5 syarat bagi khalifah, Imam, ataupun Sulthan, yaitu: 1. Memiliki pengetahuan. 2. Memiliki sifat ‘adil. 3. Mempunyai kemampuan. 4. Sehat Panca indera dan badannya. 5. Keturunan Quraisy. Berdasarkan teori ‘ashabiyah, Ibn Khaldun berpendapat sama dengan Pemikir Muslim sebelumnya tentang keutamaan keturunan Quraisy. Ia mengemukakan bahwa orang-orang Quraisy adalah pemimpin-pemimpin terkemuka, original dan tampil dari bani Mudhar. Dengan jumlahnya yang banyak dan solidaritas kelompoknya yang kuat, dan dengan keanggunannya suku Quraisy memiliki wibawa yang tinggi. Maka tidak heran jika kepemimpinan Islam dipercayakan kepada mereka, sebab seluruh bangsa Arab mengakui kenyataan akan kewibawaannya, serta mereka hormat pada keunggulan suku Quraisy. Dan jika kepemimpinan dipegang oleh suku lain, maka yang terjadi adalah pembangkangan serta berujung pada kehancuran. Padahal Nabi menginginkan persatuan, solidaritas, dan persaudaraan (Muqaddimah: 194).
Tetapi menurut Ibn Khaldun hal ini jangan diartikan bahwa kepemimpinan itu dimonopoli oleh suku Quraisy, atau syarat keturunan Quraisy didahulukan daripada kemampuan. Ini hanya didasarkan pada kewibawaan dan solidaritas yang tinggi pada suku Quraisy pada saat itu, hingga ketika suku Quraisy telah dalam keadaan tidak berwibawa, atau ada suku lain yang mempunyai ‘ashabiyyah yang tinggi dan kebibawaan yang tinggi, dan juga kepemimpinan dari suku Quraisy sudah tidak dapat lagi diharapkan, maka kepemimpinan dapat berpindah ke suku atau kelompok lain yang mempunyai kewibawaan, solidaritas, dan kemampuan yang lebih.
Tahapan Timbul Tenggelamnya Peradaban
Berdasarkan teorinya ‘ashabiyyah, Ibn Khaldun membuat teori tentang tahapan timbul tenggelamnya suatu Negara atau sebuah peradaban menjadi lima tahap, yaitu: (Muqaddimah: 175). 1.Tahap sukses atau tahap konsolidasi, dimana otoritas negara didukung oleh masyarakat (`ashabiyyah) yang berhasil menggulingkan kedaulatan dari dinasti sebelumnya. 2.Tahap tirani, tahap dimana penguasa berbuat sekehendaknya pada rakyatnya. Pada tahap ini, orang yang memimpin negara senang mengumpulkan dan memperbanyak pengikut. Penguasa menutup pintu bagi mereka yang ingin turut serta dalam pemerintahannya. Maka segala perhatiannya ditujukan untuk kepentingan mempertahankan dan memenangkan keluarganya. 3.Tahap sejahtera, ketika kedaulatan telah dinikmati. Segala perhatian penguasa tercurah pada usaha membangun negara. 4.Tahap kepuasan hati, tentram dan damai. Pada tahap ini, penguasa merasa puas dengan segala sesuatu yang telah dibangun para pendahulunya. 5.Tahap hidup boros dan berlebihan. Pada tahap ini, penguasa menjadi perusak warisan pendahulunya, pemuas hawa nafsu dan kesenangan. Pada tahap ini, negara tinggal menunggu kehancurannya.
Tahap-tahap itu menurut Ibnu Khaldun memunculkan tiga generasi, yaitu: 1. Generasi Pembangun, yang dengan segala kesederhanaan dan solidaritas yang tulus tunduk dibawah otoritas kekuasaan yang didukungnya. 2. Generasi Penikmat, yakni mereka yang karena diuntungkan secara ekonomi dan politik dalam sistem kekuasaan, menjadi tidak peka lagi terhadap kepentingan bangsa dan negara. 3. Generasi yang tidak lagi memiliki hubungan emosionil dengan negara. Mereka dapat melakukan apa saja yang mereka sukai tanpa memedulikan nasib negara. Jika suatu bangsa sudah sampai pada generasi ketiga ini, maka keruntuhan negara sebagai sunnatullah sudah di ambang pintu, dan menurut Ibnu Khaldun proses ini berlangsung sekitar satu abad.
Ibn Khaldun juga menuturkan bahwa sebuah Peradaban besar dimulai dari masyarakat yang telah ditempa dengan kehidupan keras, kemiskinan dan penuh perjuangan. Keinginan hidup dengan makmur dan terbebas dari kesusahan hidup ditambah dengan ‘Ashabiyyah di antara mereka membuat mereka berusaha keras untuk mewujudkan cita-cita mereka dengan perjuangan yang keras. Impian yang tercapai kemudian memunculkan sebuah peradaban baru. Dan kemunculan peradaban baru ini pula biasanya diikuti dengan kemunduran suatu peradaban lain (Muqaddimah: 172). Tahapan-tahapan di atas kemudian terulang lagi, dan begitulah seterusnya hingga teori ini dikenal dengan Teori Siklus.
0 komentar:
Posting Komentar