Pemilu raya Indonesia 2014 sudah didepan mata, dan sepertinya kini para partai politik sedang ramai-ramai merumuskan siapa yang bakal jadi calon pemimpin untuk mereka jagokan. Selain dari tokoh politik yang telah lebih awal unjuk gigi dalam berbagai kesempatan, ada juga tokoh independen yang biasanya berlatar belakang usahawan ataupun para petinggi militer baik yang masih aktif maupun yang non aktif (purnawirawan-red).
Di negeri ini telah ditentukan
siapa saja yang akan maju dalam bursa pemilihan kepemimpinan harus memiliki batas minimal suara pendukung untuk menjadi calon pemimpin selain lewat parpol. Mengingat beberapa strategi politik tahun-tahun yang lalu dengan menggandeng artis sebagai kandidat dari beberapa parpol, nampaknya kini masih menjadi sebuah alternative bagi parpol yang tidak memiliki banyak figure untuk dijagokan. Taruhlah beberapa artis yang telah dipinang oleh beberapa parpol pada pemilihan yang lalu, seperti Dede Yusuf, Angelina Sondakh, Adjie Masaid, Dicki Candra, Rano Karno, Ingrid Kansil, dan lain sebagainya.
Pamor adalah salah satu modal yang mereka miliki untuk meraup banyak suara dalam pemilihan. Selain dipinang oleh parpol, mereka secara terang-terangan mengajukan diri untuk bergabung dalam politik. Memang Negara ini bersistemkan demokrasi yang siapa saja berhak maju dalam pencalonan, namun apakah hal ini efektif ketika kita memilih calon pemimpin, sedangkan kita lihat sendiri bagaimana kiprah mereka dalam kepemimpinannya?
Bosan dengan Politikus
Ada sebuah survei yang mendapat hasil cukup unik mengenai bagaimana sebuah alternatif baru kepemimpinan menjadi sangat popular dan sukses merajai masyarakat kita. Di sebuah wilayah di Jawa Barat misalnya, seorang calon legislatif terpilih berlatar belakang pekerjaan sebagai artis mendapat kursi di gedung perwakilan. Mereka kebanyakan berpendapat mengapa memilih caleg tersebut adalah karena melihat sosoknya dalam sinetron sebagai tokoh yang baik dan bijaksana.
Mereka berharap yang dipilihnya dapat memimpin seperti halnya dalam aksi protagonisnya di dalam sinetron tersebut. Kasus unik tersebut menunjukkan bahwa terdapat perspektif baru yang ternyata mulai muncul secara tidak terduga dalam masyarakat kita. Entah karena masyarakat sudah benar-benar kehilangan standar ideal seorang pemimpin, ataukah memang sudah tidak terlihat lagi sosok calon pemimpin ideal bagi masyarakat kita? Dengan hilangnya standar sosok pemimpin ideal itu, yang kemudian akan berkembang pada tingkat masyarakat adalah persoalan tipe pemimpinnya. Masyarakat sudah mulai acuh dan menyangsikan kemampuan para politikus yang pada dasarnya adalah orang yang mengetahui kondisi perpolitikan negara ini (walaupun tidak menutup kemungkinan para selebriti ada yang berkemampuan seperti itu juga).
Menyerahkan Urusan Bukan Pada Ahlinya
Kaum muslimin yang benar-benar beriman kepada Allah dan beriman kepada Rasulullah saw dilarang keras untuk memilih pemimpin yang tidak memiliki kepedulian dengan urusan-urusan agama (akidahnya lemah) atau seseorang yang menjadikan agama sebagai bahan permainan/kepentingan tertentu. Sebab pertanggungjawaban atas pengangkatan seseorang pemimpin akan dikembalikan kepada siapa yang mengangkatnya (masyarakat tersebut).
Dengan kata lain masyarakat harus selektif dalam memilih pemimpin dan hasil pilihan mereka adalah "cermin" siapa mereka. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi saw yang berbunyi: "Sebagaimana keadaan kalian, demikian terangkat pemimpin kalian". Imam Bukhari meriwayatkan dari Abi Hurairah radhiyallâhu ’anhu, ia berkata: Bersabda Rasulullah Saw: “Apabila amanah telah disia-siakan, maka tunggulah saat-saat kehancurannya”. Salah seorang bertanya: “Bagaimana bentuk menyia-nyiakan amanah itu, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda: “Apabila urusan itu diserahkan (dipercayakan) kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat-saat kehancurannya”. Al-Karmani berkata: “Maksud dari kata al-amr, yaitu semua jenis perkara (urusan) yang terkait dengan agama, seperti kepemimpinan (al-imarah), peradilan (al-qadha’), jabatan mufti, dan lainnya”.
Ibnu Baththal berkata: Arti kalimat “urusan itu diserahkan (dipercayakan) kepada orang yang bukan ahlinya” bahwa sesungguhnya para imam itu telah diberi amanah oleh Allah kepada para hamba-Nya; dan mereka diwajibkan memberikan nasihat kepadanya. Oleh karena itu, wajib bagi umat Islam menyerahkan kekuasaan kepada orang yang ahli (mengerti betul) tentang agama. Sehingga, apabila mereka menyerahkannya kepada orang yang bukan ahli (tidak mengerti) agama, maka sungguh mereka telah menyia-nyiakan (merusak) amanah yang telah diberikan Allah kepada mereka”.
Memilih Pemimpin Dengan mengetahui hakikat kepemimpinan di dalam Islam serta kriteria dan sifat-sifat apa saja yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, maka kita wajib untuk memilih pemimpin sesuai dengan petunjuk Al-Quran dan Hadits.
Menurut Syaikhul Islam lbnu Taimiyah, tujuan kepemimpinan adalah memperbaiki segi-segi duniawi yang sangat erat hubungannya dengan agama: pertama, membagikan harta antara siapa-siapa yang berhak menerimanya, dan yang kedua, menghukum orang-orang yang melanggar ketentuan undang-undang. Ummat Islam wajib memilih yang terbaik untuk melaksanakan kepemimpinan, dan Berdasarkan Al Qur’an, hadist, dan pendapat para ulama, seseorang dikatakan layak menjadi pemimpin jika memenuhi sepuluh muwashofat (karakter) berikut:
1. Salimul aqidah (bersih akidahnya)
2. Shahihul ibadah (benar ibadahnya)
3. Matinul khuluq (kokoh akhlaknya)
4. Qadirun ‘alal kasbi (mandiri dan produktif)
5. Mutsaqaful fikri (luas pemikirannya)
6. Qowiyul jismi (kuat fisiknya)
7. Mujahidun Iinafsihi (bersungguh-sungguh mengendalikan dirinya)
8. Munazhamun fi syu’unihi (mampu menata semua urusannya)
9. Haritsun ‘ala waqtihi (mampu memelihara waktunya)
10. Nafi’un Iighairihi (bermanfaat bagi orang Iain) Itulah beberapa kriteria yang harus kita perhatikan ketika kita hendak memilih pemimpin, bukan hanya karena menang pamor saja, karena belum tentu mereka para politikus atau bahka para artis lebih ahli dalam memimpin. Kalau tohpun dari semua persyaratan di atas tidak bisa dipenuhi paling tidak pilihlah yang paling mendekati. Wallahu ‘alam bish showab.
siapa saja yang akan maju dalam bursa pemilihan kepemimpinan harus memiliki batas minimal suara pendukung untuk menjadi calon pemimpin selain lewat parpol. Mengingat beberapa strategi politik tahun-tahun yang lalu dengan menggandeng artis sebagai kandidat dari beberapa parpol, nampaknya kini masih menjadi sebuah alternative bagi parpol yang tidak memiliki banyak figure untuk dijagokan. Taruhlah beberapa artis yang telah dipinang oleh beberapa parpol pada pemilihan yang lalu, seperti Dede Yusuf, Angelina Sondakh, Adjie Masaid, Dicki Candra, Rano Karno, Ingrid Kansil, dan lain sebagainya.
Pamor adalah salah satu modal yang mereka miliki untuk meraup banyak suara dalam pemilihan. Selain dipinang oleh parpol, mereka secara terang-terangan mengajukan diri untuk bergabung dalam politik. Memang Negara ini bersistemkan demokrasi yang siapa saja berhak maju dalam pencalonan, namun apakah hal ini efektif ketika kita memilih calon pemimpin, sedangkan kita lihat sendiri bagaimana kiprah mereka dalam kepemimpinannya?
Bosan dengan Politikus
Ada sebuah survei yang mendapat hasil cukup unik mengenai bagaimana sebuah alternatif baru kepemimpinan menjadi sangat popular dan sukses merajai masyarakat kita. Di sebuah wilayah di Jawa Barat misalnya, seorang calon legislatif terpilih berlatar belakang pekerjaan sebagai artis mendapat kursi di gedung perwakilan. Mereka kebanyakan berpendapat mengapa memilih caleg tersebut adalah karena melihat sosoknya dalam sinetron sebagai tokoh yang baik dan bijaksana.
Mereka berharap yang dipilihnya dapat memimpin seperti halnya dalam aksi protagonisnya di dalam sinetron tersebut. Kasus unik tersebut menunjukkan bahwa terdapat perspektif baru yang ternyata mulai muncul secara tidak terduga dalam masyarakat kita. Entah karena masyarakat sudah benar-benar kehilangan standar ideal seorang pemimpin, ataukah memang sudah tidak terlihat lagi sosok calon pemimpin ideal bagi masyarakat kita? Dengan hilangnya standar sosok pemimpin ideal itu, yang kemudian akan berkembang pada tingkat masyarakat adalah persoalan tipe pemimpinnya. Masyarakat sudah mulai acuh dan menyangsikan kemampuan para politikus yang pada dasarnya adalah orang yang mengetahui kondisi perpolitikan negara ini (walaupun tidak menutup kemungkinan para selebriti ada yang berkemampuan seperti itu juga).
Menyerahkan Urusan Bukan Pada Ahlinya
Kaum muslimin yang benar-benar beriman kepada Allah dan beriman kepada Rasulullah saw dilarang keras untuk memilih pemimpin yang tidak memiliki kepedulian dengan urusan-urusan agama (akidahnya lemah) atau seseorang yang menjadikan agama sebagai bahan permainan/kepentingan tertentu. Sebab pertanggungjawaban atas pengangkatan seseorang pemimpin akan dikembalikan kepada siapa yang mengangkatnya (masyarakat tersebut).
Dengan kata lain masyarakat harus selektif dalam memilih pemimpin dan hasil pilihan mereka adalah "cermin" siapa mereka. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi saw yang berbunyi: "Sebagaimana keadaan kalian, demikian terangkat pemimpin kalian". Imam Bukhari meriwayatkan dari Abi Hurairah radhiyallâhu ’anhu, ia berkata: Bersabda Rasulullah Saw: “Apabila amanah telah disia-siakan, maka tunggulah saat-saat kehancurannya”. Salah seorang bertanya: “Bagaimana bentuk menyia-nyiakan amanah itu, wahai Rasulullah?” Beliau bersabda: “Apabila urusan itu diserahkan (dipercayakan) kepada orang yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat-saat kehancurannya”. Al-Karmani berkata: “Maksud dari kata al-amr, yaitu semua jenis perkara (urusan) yang terkait dengan agama, seperti kepemimpinan (al-imarah), peradilan (al-qadha’), jabatan mufti, dan lainnya”.
Ibnu Baththal berkata: Arti kalimat “urusan itu diserahkan (dipercayakan) kepada orang yang bukan ahlinya” bahwa sesungguhnya para imam itu telah diberi amanah oleh Allah kepada para hamba-Nya; dan mereka diwajibkan memberikan nasihat kepadanya. Oleh karena itu, wajib bagi umat Islam menyerahkan kekuasaan kepada orang yang ahli (mengerti betul) tentang agama. Sehingga, apabila mereka menyerahkannya kepada orang yang bukan ahli (tidak mengerti) agama, maka sungguh mereka telah menyia-nyiakan (merusak) amanah yang telah diberikan Allah kepada mereka”.
Memilih Pemimpin Dengan mengetahui hakikat kepemimpinan di dalam Islam serta kriteria dan sifat-sifat apa saja yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin, maka kita wajib untuk memilih pemimpin sesuai dengan petunjuk Al-Quran dan Hadits.
Menurut Syaikhul Islam lbnu Taimiyah, tujuan kepemimpinan adalah memperbaiki segi-segi duniawi yang sangat erat hubungannya dengan agama: pertama, membagikan harta antara siapa-siapa yang berhak menerimanya, dan yang kedua, menghukum orang-orang yang melanggar ketentuan undang-undang. Ummat Islam wajib memilih yang terbaik untuk melaksanakan kepemimpinan, dan Berdasarkan Al Qur’an, hadist, dan pendapat para ulama, seseorang dikatakan layak menjadi pemimpin jika memenuhi sepuluh muwashofat (karakter) berikut:
1. Salimul aqidah (bersih akidahnya)
2. Shahihul ibadah (benar ibadahnya)
3. Matinul khuluq (kokoh akhlaknya)
4. Qadirun ‘alal kasbi (mandiri dan produktif)
5. Mutsaqaful fikri (luas pemikirannya)
6. Qowiyul jismi (kuat fisiknya)
7. Mujahidun Iinafsihi (bersungguh-sungguh mengendalikan dirinya)
8. Munazhamun fi syu’unihi (mampu menata semua urusannya)
9. Haritsun ‘ala waqtihi (mampu memelihara waktunya)
10. Nafi’un Iighairihi (bermanfaat bagi orang Iain) Itulah beberapa kriteria yang harus kita perhatikan ketika kita hendak memilih pemimpin, bukan hanya karena menang pamor saja, karena belum tentu mereka para politikus atau bahka para artis lebih ahli dalam memimpin. Kalau tohpun dari semua persyaratan di atas tidak bisa dipenuhi paling tidak pilihlah yang paling mendekati. Wallahu ‘alam bish showab.
0 komentar:
Posting Komentar