Data dari BKKBN mengatakan bahwa 2,3 juta remaja putri Indonesia telah melakukan praktek aborsi. Artinya sebayak itu pula data yang tercatat atas praktek perzinahan (hubungan pra nikah-red) dikalangan remaja, sangat dimungkinkan lebih banyak dari tragedi yang tidak tercatat.
Angka seks bebas dan kehamilan di luar nikah di Indonesia dewasa ini memang sangat memprihatinkan. Di sebuah kota dan dalam lingkungan pergaulan
tertentu, wanita perawan bisa dikatakan kolot dan ketinggalan zaman. Di lain pihak, kaum laki-laki pun tidak mampu menjaga diri mereka, takut menikah karena belum mampu akhirnya melampiaskan nafsunya kepada wanita-wanita yang mudah termakan bujuk rayu. Buah dari perbuatan ini, maraklah praktik aborsi atau tingginya angka kelahiran anak hasil zina. Atas dasar itulah paling tidak Menkes Nafisah Mboi membuat kebijakan akan membagi-bagikan kondom gratis kepada pelaku seks berisiko. Dengan dalih mendukung program MDGs 2015 (Millenium Development Goals) yaitu mengurangi aborsi, pencegahan dan penularan penyakit menular, Ibu menteri yang sudah genap menginjak umur 72 tahun tersebut menggalakan kampanye penggunaan kondom sebagai tindakan preventif paling efektif.
Memunculkan Daya Tarik
Masalahnya, mereka para remaja yang menjadi sasaran utama peluru kampanye kondom kali ini. Bagaimanapun, remaja menjadi target kondomisasi dengan dalih seks aman karena tergolong pelaku seks beresiko sejatinya sangat jauh dari logika. Bukankah dalam tatrikal nyata, mereka yang lebih aktif secara seksual adalah kalangan dewasa yang sudah menikah. Jika remaja dipandang sebagai pelaku seks aktif, secara tidak langsung pemerintah sudah menganggap perbuatan zina itu dihalalkan dan berstatus legal. Sehingga program utama menteri saat ini bukan lagi memberantas seks bebas dikalangan remaja, tapi mendukung, menyokong dan memfasilitasi zina dengan kampanye kondom secara masif.
Kalau sudah begini fungsi kondom menjadi ‘bocor’ dan tidak lagi menjadi alat kontrasepsi paling aman dalam mencegah penyakit seksual. Justru menjadi pintu sentral bagi remaja untuk melakukan seks bebas tanpa rasa takut sebab sudah direstui Ibu menteri. Melegalisasi hubungan seks bebas, itulah fungsi utama kondom kalau sudah bocor, bocor dalam artian sebab disalah fungsikan. Dengan kampanye kondom dikalangan remaja, maka secara otomatis pemerintah sudah melegalkan seks bebas. Dan mereka para remaja pasti akan semakin menggila melakukan hubungan seks diluar nikah sebab merasa aman dengan keberadaan kondom. Alasan pertama, kondom bisa mencegah kehamilan, kedua, kondom bisa mencegah terjadinya HIV AIDS, dan yang paling utama, kondom sudah dilegalkan.
Fungsi bocor inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh kebanyakan remaja dengan seenaknya melakukan kegiatan yang belum seharusnya dilakukan mereka. Dan jika hasil kedepannya kondomisasi ternyata tidak mampu mengurangi angka aborsi ataupun menekan jumlah penderita HIV AIDS, melainkan kian memperparah prilaku seks bebas dikalangan remaja, artinya kebijakan ibu mneteri telah gagal!
Mudahnya Zina Di tengah Masyarakat
Kendati kebijakan Menkes bukan diperuntukkan bagi masyarakat umum, kampanye penggunaan kondom terlalu berisiko bagi kalangan remaja yang belum memahami manfaat pemakaian kondom. Apalagi yang dijadikan alasan utamanya adalah bahwa penggunaan kondom menjadi indikator penting untuk menurunkan angka HIV/AIDS di Indonesia, yang sampai saat ini kasusnya masih sangat tinggi dibandingkan dengan kasus-kasus lain. Program pemakaian kondom secara gratis perlu ditanggapi dan diwaspadai secara serius sejak awal dan dicegah sejak awal. Jika program ini terus dilakukan, maka kesadaran masyarakat terhadap bahaya penyebaran HIV/AIDS semakin luntur, sehingga kesehatan reproduksi remaja juga terkena imbasnya. Ada banyak alasan, kenapa kampanye pemakaian kondom gratis bagi masyarakat secara umum perlu diwaspadai? Pertama, efektivitas kondom sangat rendah.
Ketika efektifitasnya dipertanyakan, maka secara faktual kontribusi positif kondom pun perlu dikaji ulang. Menurut data dari BKKBN, selain penggunaannya saat ini tidak lebih dari 450 ribu orang, tingkat kegagalan empiris dari alat kontrasepsi ini memang cukup tinggi, yakni berkisar antara 5 hingga 120 persen. Kedua, kondom sangat rentan disalahgunakan oleh pemakainnya. Banyak orang memanfaatkan kondom sebagai alat melampiaskan hawa nafsu, sehingga terjadilah apa yang saya sebut sebagai “legalisasi” prostitusi. Kondom yang dikatakan sangat aman untuk hubungan intim, ternyata banyak disalahgunakan untuk melaksanakan “free sex” di kalangan remaja.
SDM Belum Siap
Masalah AIDS, kondom hanyalah sebuah media pencegahan semata. Banyak fakta di lapangan yang menunjukkan bahwa kebijakan ini hanyalah akan semakin memperkeruh permasalahan penderita AIDS di Negeri ini. Para remaja yang diharapkan bisa melanjutkan estafet kepemimpinan Negeri ini justeru disadarkan akan penggunaan kondom pada perilaku seks. Hal ini semakin parah, karena sama saja mereka didukung untuk melakukan perilaku zina. Hal ini jelas menjadi sangat ironis. Sebanyak 55 persen dari keseluruhan infeksi baru HIV dan kasus AIDS disebabkan oleh hubungan seks heteroseksual. Hal ini semakin memperjelas bahwa kasus HIV dan AIDS itu karena hubungan seks bebas, sedangkan seks bebas itu dilator belakangi oleh kebobrokan moral yang semakin yang terkendali. Dari hal ini kita bisa memahami, dengan kebijakan kondomisasi bukanlah merupakan solusi melainkan kebijakan yang lebih menumbuh suburkan perilaku zina. Jika masalah seks bebas itu berpangkal pada moral artinya yang lebih massif untuk diperbaiki itu adalah SDMnya. Bagaimana menjaga iman, dan mempertahankannya.
tertentu, wanita perawan bisa dikatakan kolot dan ketinggalan zaman. Di lain pihak, kaum laki-laki pun tidak mampu menjaga diri mereka, takut menikah karena belum mampu akhirnya melampiaskan nafsunya kepada wanita-wanita yang mudah termakan bujuk rayu. Buah dari perbuatan ini, maraklah praktik aborsi atau tingginya angka kelahiran anak hasil zina. Atas dasar itulah paling tidak Menkes Nafisah Mboi membuat kebijakan akan membagi-bagikan kondom gratis kepada pelaku seks berisiko. Dengan dalih mendukung program MDGs 2015 (Millenium Development Goals) yaitu mengurangi aborsi, pencegahan dan penularan penyakit menular, Ibu menteri yang sudah genap menginjak umur 72 tahun tersebut menggalakan kampanye penggunaan kondom sebagai tindakan preventif paling efektif.
Memunculkan Daya Tarik
Masalahnya, mereka para remaja yang menjadi sasaran utama peluru kampanye kondom kali ini. Bagaimanapun, remaja menjadi target kondomisasi dengan dalih seks aman karena tergolong pelaku seks beresiko sejatinya sangat jauh dari logika. Bukankah dalam tatrikal nyata, mereka yang lebih aktif secara seksual adalah kalangan dewasa yang sudah menikah. Jika remaja dipandang sebagai pelaku seks aktif, secara tidak langsung pemerintah sudah menganggap perbuatan zina itu dihalalkan dan berstatus legal. Sehingga program utama menteri saat ini bukan lagi memberantas seks bebas dikalangan remaja, tapi mendukung, menyokong dan memfasilitasi zina dengan kampanye kondom secara masif.
Kalau sudah begini fungsi kondom menjadi ‘bocor’ dan tidak lagi menjadi alat kontrasepsi paling aman dalam mencegah penyakit seksual. Justru menjadi pintu sentral bagi remaja untuk melakukan seks bebas tanpa rasa takut sebab sudah direstui Ibu menteri. Melegalisasi hubungan seks bebas, itulah fungsi utama kondom kalau sudah bocor, bocor dalam artian sebab disalah fungsikan. Dengan kampanye kondom dikalangan remaja, maka secara otomatis pemerintah sudah melegalkan seks bebas. Dan mereka para remaja pasti akan semakin menggila melakukan hubungan seks diluar nikah sebab merasa aman dengan keberadaan kondom. Alasan pertama, kondom bisa mencegah kehamilan, kedua, kondom bisa mencegah terjadinya HIV AIDS, dan yang paling utama, kondom sudah dilegalkan.
Fungsi bocor inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh kebanyakan remaja dengan seenaknya melakukan kegiatan yang belum seharusnya dilakukan mereka. Dan jika hasil kedepannya kondomisasi ternyata tidak mampu mengurangi angka aborsi ataupun menekan jumlah penderita HIV AIDS, melainkan kian memperparah prilaku seks bebas dikalangan remaja, artinya kebijakan ibu mneteri telah gagal!
Mudahnya Zina Di tengah Masyarakat
Kendati kebijakan Menkes bukan diperuntukkan bagi masyarakat umum, kampanye penggunaan kondom terlalu berisiko bagi kalangan remaja yang belum memahami manfaat pemakaian kondom. Apalagi yang dijadikan alasan utamanya adalah bahwa penggunaan kondom menjadi indikator penting untuk menurunkan angka HIV/AIDS di Indonesia, yang sampai saat ini kasusnya masih sangat tinggi dibandingkan dengan kasus-kasus lain. Program pemakaian kondom secara gratis perlu ditanggapi dan diwaspadai secara serius sejak awal dan dicegah sejak awal. Jika program ini terus dilakukan, maka kesadaran masyarakat terhadap bahaya penyebaran HIV/AIDS semakin luntur, sehingga kesehatan reproduksi remaja juga terkena imbasnya. Ada banyak alasan, kenapa kampanye pemakaian kondom gratis bagi masyarakat secara umum perlu diwaspadai? Pertama, efektivitas kondom sangat rendah.
Ketika efektifitasnya dipertanyakan, maka secara faktual kontribusi positif kondom pun perlu dikaji ulang. Menurut data dari BKKBN, selain penggunaannya saat ini tidak lebih dari 450 ribu orang, tingkat kegagalan empiris dari alat kontrasepsi ini memang cukup tinggi, yakni berkisar antara 5 hingga 120 persen. Kedua, kondom sangat rentan disalahgunakan oleh pemakainnya. Banyak orang memanfaatkan kondom sebagai alat melampiaskan hawa nafsu, sehingga terjadilah apa yang saya sebut sebagai “legalisasi” prostitusi. Kondom yang dikatakan sangat aman untuk hubungan intim, ternyata banyak disalahgunakan untuk melaksanakan “free sex” di kalangan remaja.
SDM Belum Siap
Masalah AIDS, kondom hanyalah sebuah media pencegahan semata. Banyak fakta di lapangan yang menunjukkan bahwa kebijakan ini hanyalah akan semakin memperkeruh permasalahan penderita AIDS di Negeri ini. Para remaja yang diharapkan bisa melanjutkan estafet kepemimpinan Negeri ini justeru disadarkan akan penggunaan kondom pada perilaku seks. Hal ini semakin parah, karena sama saja mereka didukung untuk melakukan perilaku zina. Hal ini jelas menjadi sangat ironis. Sebanyak 55 persen dari keseluruhan infeksi baru HIV dan kasus AIDS disebabkan oleh hubungan seks heteroseksual. Hal ini semakin memperjelas bahwa kasus HIV dan AIDS itu karena hubungan seks bebas, sedangkan seks bebas itu dilator belakangi oleh kebobrokan moral yang semakin yang terkendali. Dari hal ini kita bisa memahami, dengan kebijakan kondomisasi bukanlah merupakan solusi melainkan kebijakan yang lebih menumbuh suburkan perilaku zina. Jika masalah seks bebas itu berpangkal pada moral artinya yang lebih massif untuk diperbaiki itu adalah SDMnya. Bagaimana menjaga iman, dan mempertahankannya.
0 komentar:
Posting Komentar