Hari-hari
seorang Rina selalu bahagia terlebih kasih sayang suaminya begitu besar padanya
sehingga kecintaan Rina pada suaminyapun tak tergantikan. Kehidupan keluarganya
terbilang begitu bahagia, selain kasih sayang yang berlimpah diantara keduanya
terlebih kini mereka dikaruniai sepasang anak yang semakin manambah
kebahagiaan. Suami wanita muda itu juga seorang pengusaha yang cukup sukses,
tak ayal keluarga Rina di kampungnya termasuk yang paling kaya. Namun rasa
bahagia itu seketika diuji oleh Yang Maha Kuasa, suami Rina meninggal dalam
kecelakaan tunggal di jalan raya.
Innalillahi wa inna ilaihi roji’un. Mendapat kabar lelayu itu dari pihak kepolisian,
Rinapun berganti busana serba hitam sembari menunggu jenazah suami tercintanya.
Setelah kabar itu tersiar melalui pengeras suara masjid kampung, para
pelayatpun turut berduyun-duyun bertakziah menuju kediaman Rina. Seperti sudah
menjadi kebiasaan, para palayat inipun tanpa dikomando juga berbusana hitam
meskipun ada sebagian yang tidak. Seperti halnya pengakuan salah satu relasi
bisnis suami Rina yang juga ikut berbusana hitam mengungkapkan, “ini adalah bagian dari symbol duka kami
kepada keluarga almarhum”. Tuturnya.
Dari
petikan kisah di atas
nampaknya sudah menjadi budaya ditengah-tengah masyarakat
kita bahwa busana hitam adalah busana yang menjadi symbol ketika seseorang
sedang dalam keadaan berduka. Dan nampaknya kebiasaan itu bukan hanya terjadi
diperkotaan bahkan juga di pedesaan untuk berbagai kalangan tingkat social
masyarakat. Namun sebenarnya apakah busana hitam itu benar symbol duka atau
pakaian yang memang dikenakan pada saat berduka? Dan adakah hal tersebut
tuntunannya dalam Islam?
Kebiasaan bangsawan eropa hingga busana spiritual
Meski
hitam tak selalu terkait kematian. Berbagai tradisi budaya mengartikan hitam
secara berbeda. Michel Pastoureau dalam Black:
the History of a Color menulis
bahwa bangsa Mesir kuno memandang hitam sebagai warna kesuburan, serupa lumpur
Sungai Nil.
Hitam
juga memiliki konotasi kesucian spiritual. Dalam Seeing through Clothes, Anne
Holander menyebutkan tiga ordo Katolik yang mengenakan hitam: baik hitam
keseluruhan seperti Ordo Benedictines (abad ke-1) maupun kombinasi hitam-putih
Ordo Augustinian (abad ke-13) dan Dominican (abad ke-15). Ketika Oliver
Cromwell, seorang Kristen puritan, memerintah Inggris pada 1653-1658, dia
melarang warganya hidup bersenang-senang, termasuk berpakaian warna-warni.
Warga perempuan diharuskan memakai gaun hitam panjang yang menutup leher
hingga mata kaki, dengan celemek putih dan penutup kepala putih.
Hitam dan dukacita sejak lampau tak terpisahkan. Kebiasaan
berbusana hitam dalam perkabungan, menurut Francoise Piponnier dan Perrine Mane
dalam Dress in the Middle
Ages, berawal dari Spanyol pada abad pertengahan yang kemudian
ditiru oleh para bangsawan Prancis dan Inggris. Salah seorang di antaranya
Phillip the Good (Duke of Burgundy) yang bersikeras mengenakan hitam sejak
terbunuhnya sang ayah, John the Fearless, pada 1419 hingga akhir masa
pemerintahannya pada 1467. Tak hanya itu, kereta kuda, rombongan pengawal, dan
kediamannya juga berornamen hitam.
Interpretasi
hitam sebagai mode busana dimulai sejak abad pertengahan. “Citarasa Spanyol,
dengan akar gaya Burgundi, menyebarkan pengaruhnya ke Eropa, serta diikuti oleh
Belanda yang mengadaptasi Spanyol; keduanya sangat terbuka akan keindahan suram
warna hitam; walau mereka masih terpaku dengan hitam diselingi sedikit putih di
bagian leher,” tulis Holander.
Imam
Suyuthi didalam kitabnya “al Awa’il” menyebutkan bahwa orang-orang Mesir
memilih pakaian berwarna hitam untuk menunjukkan kesedihan saat berkabung
terhadap orang-orang Koptik yang mati pada masa “Diokletianus” dimana sebanyak
180.000 orang-orang Kristen disembelih dalam satu hari kemudian kaum wanita
mereka mengenakan pakaian yang berwarna hitam.
Dalam pandangan Islam
Melayat orang yang meninggal adalah perbuatan yang
disunnahkan sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Tidaklah seorang mukmin melayat saudaranya yang tertimpa musibah
kecuali Allah akan pakaikan dirinya dengan perhiasan kemuliaan pada hari
kiamat.” (HR. Ibnu Majah)
Dan
pada dasarnya menggunakan pakaian hitam adalah boleh, karena Rasulullah SAWpun
pernah menggunakan yang berwarna hitam. Hanya saja, ketika suatu jenis pakaian
telah menjadi ciri khas dari orang kafir seperti pakaian serba hitam-hitam
ketika melayat orang mati, maka seorang muslim yang mengikuti hal tersebut
termasuk dalam tasyabbuh (penyerupaan) dengan gaya hidup dan pakaian
orang-orang kafir. Rasulullah SAW bersabda :
“
Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk dari mereka “ (HR. Abu Dawud)
Jadi berbusana hitam pada saat
melayat/ bertakziah bukanlah sesuatu yang diajarkan oleh Islam tetapi telah
menjadi kebiasaan orang-orang kafir. Dalam hal ini Syeikh ‘Athiyah Saqar mengatakan bahwa fenomena berkabung
yang ditunjukkan dengan pakaian adalah tidak diperbolehkan mengenakan pakaian
yang bertentangan dengan perasaan kesedihan. Dan ini bebeda-beda didalam
bentuk, warna dan jenis sesuai dengan perbedaan kebiasaan.
Menurut
Imam Nawawi tentang pendapat mengenai pakaian hitam dalam kontek ihdad berkata:
berbusana hitam ketika ta’ziyah apabila ditujukan sebagai tanda belasungkawa
bagi petakziyah tidak diperbolehkan apabila terbersit niat penentangan atas
taqdir. Hal itu merupakan sesuatu yang buruk dan dibenci, seperti yang
termaktub dalam sebuah hadits.
Dengan ini alangkah baiknya tidak mengenakan pakaian serba
hitam ketika melayat walaupun ada pendapat ulama’ yang memperbolehkannya dengan
pertimbangan keluar dari khilaf ulama’ yang menyatakan haram sekalipun tidak
ada niatan untuk menyerupai orang-orang kafir. Disamping itu, pakaian yang
sunnah dan paling disukai oleh Rasulullah adalah putih, bukan hitam.
referensi nya dari mana yah?
BalasHapusreferensinya sudah disebutkan semua pada artikel di atas
BalasHapussecara jelasnya belum, bisa disebutkan kah ?
BalasHapusMichel Pastoureau dalam Black: the History of a Color
BalasHapusSeeing through Clothes, Anne Holander
Francoise Piponnier dan Perrine Mane dalam Dress in the Middle Ages
Imam Suyuthi didalam kitabnya “al Awa’il”
Michel Pastoureau dalam Black: the History of a Color
BalasHapusSeeing through Clothes, Anne Holander
Francoise Piponnier dan Perrine Mane dalam Dress in the Middle Ages
Imam Suyuthi didalam kitabnya “al Awa’il”