Home » » Berbusana Hitam Saat Duka

Berbusana Hitam Saat Duka

Written By el_mlipaki on Selasa, 17 Desember 2013 | 13.48


Hari-hari seorang Rina selalu bahagia terlebih kasih sayang suaminya begitu besar padanya sehingga kecintaan Rina pada suaminyapun tak tergantikan. Kehidupan keluarganya terbilang begitu bahagia, selain kasih sayang yang berlimpah diantara keduanya terlebih kini mereka dikaruniai sepasang anak yang semakin manambah kebahagiaan. Suami wanita muda itu juga seorang pengusaha yang cukup sukses, tak ayal keluarga Rina di kampungnya termasuk yang paling kaya. Namun rasa bahagia itu seketika diuji oleh Yang Maha Kuasa, suami Rina meninggal dalam kecelakaan tunggal di jalan raya.
Innalillahi wa inna ilaihi roji’un. Mendapat kabar lelayu itu dari pihak kepolisian, Rinapun berganti busana serba hitam sembari menunggu jenazah suami tercintanya. Setelah kabar itu tersiar melalui pengeras suara masjid kampung, para pelayatpun turut berduyun-duyun bertakziah menuju kediaman Rina. Seperti sudah menjadi kebiasaan, para palayat inipun tanpa dikomando juga berbusana hitam meskipun ada sebagian yang tidak. Seperti halnya pengakuan salah satu relasi bisnis suami Rina yang juga ikut berbusana hitam mengungkapkan, “ini adalah bagian dari symbol duka kami kepada keluarga almarhum”. Tuturnya.
Dari petikan kisah di atas
nampaknya sudah menjadi budaya ditengah-tengah masyarakat kita bahwa busana hitam adalah busana yang menjadi symbol ketika seseorang sedang dalam keadaan berduka. Dan nampaknya kebiasaan itu bukan hanya terjadi diperkotaan bahkan juga di pedesaan untuk berbagai kalangan tingkat social masyarakat. Namun sebenarnya apakah busana hitam itu benar symbol duka atau pakaian yang memang dikenakan pada saat berduka? Dan adakah hal tersebut tuntunannya dalam Islam?

Kebiasaan bangsawan eropa hingga busana spiritual
Meski hitam tak selalu terkait kematian. Berbagai tradisi budaya mengartikan hitam secara berbeda. Michel Pastoureau dalam Black: the History of a Color menulis bahwa bangsa Mesir kuno memandang hitam sebagai warna kesuburan, serupa lumpur Sungai Nil.
Hitam juga memiliki konotasi kesucian spiritual. Dalam Seeing through Clothes, Anne Holander menyebutkan tiga ordo Katolik yang mengenakan hitam: baik hitam keseluruhan seperti Ordo Benedictines (abad ke-1) maupun kombinasi hitam-putih Ordo Augustinian (abad ke-13) dan Dominican (abad ke-15). Ketika Oliver Cromwell, seorang Kristen puritan, memerintah Inggris pada 1653-1658, dia melarang warganya hidup bersenang-senang, termasuk berpakaian warna-warni. Warga perempuan diharuskan memakai gaun hitam  panjang yang menutup leher hingga mata kaki, dengan celemek putih dan penutup kepala putih.
Hitam dan dukacita sejak lampau tak terpisahkan. Kebiasaan berbusana hitam dalam perkabungan, menurut Francoise Piponnier dan Perrine Mane dalam Dress in the Middle Ages, berawal dari Spanyol pada abad pertengahan yang kemudian ditiru oleh para bangsawan Prancis dan Inggris. Salah seorang di antaranya Phillip the Good (Duke of Burgundy) yang bersikeras mengenakan hitam sejak terbunuhnya sang ayah, John the Fearless, pada 1419 hingga akhir masa pemerintahannya pada 1467. Tak hanya itu, kereta kuda, rombongan pengawal, dan kediamannya juga berornamen hitam.
Interpretasi hitam sebagai mode busana dimulai sejak abad pertengahan. “Citarasa Spanyol, dengan akar gaya Burgundi, menyebarkan pengaruhnya ke Eropa, serta diikuti oleh Belanda yang mengadaptasi Spanyol; keduanya sangat terbuka akan keindahan suram warna hitam; walau mereka masih terpaku dengan hitam diselingi sedikit putih di bagian leher,” tulis Holander. 
Imam Suyuthi didalam kitabnya “al Awa’il” menyebutkan bahwa orang-orang Mesir memilih pakaian berwarna hitam untuk menunjukkan kesedihan saat berkabung terhadap orang-orang Koptik yang mati pada masa “Diokletianus” dimana sebanyak 180.000 orang-orang Kristen disembelih dalam satu hari kemudian kaum wanita mereka mengenakan pakaian yang berwarna hitam.

Dalam pandangan Islam
            Melayat orang yang meninggal adalah perbuatan yang disunnahkan sebagaimana sabda Rasulullah SAW, “Tidaklah seorang mukmin melayat saudaranya yang tertimpa musibah kecuali Allah akan pakaikan dirinya dengan perhiasan kemuliaan pada hari kiamat.” (HR. Ibnu Majah)
Dan pada dasarnya menggunakan pakaian hitam adalah boleh, karena Rasulullah SAWpun pernah menggunakan yang berwarna hitam. Hanya saja, ketika suatu jenis pakaian telah menjadi ciri khas dari orang kafir seperti pakaian serba hitam-hitam ketika melayat orang mati, maka seorang muslim yang mengikuti hal tersebut termasuk dalam tasyabbuh (penyerupaan) dengan gaya hidup dan pakaian orang-orang kafir. Rasulullah SAW bersabda :
 “ Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk dari mereka “ (HR. Abu Dawud)
            Jadi berbusana hitam pada saat melayat/ bertakziah bukanlah sesuatu yang diajarkan oleh Islam tetapi telah menjadi kebiasaan orang-orang kafir. Dalam hal ini Syeikh ‘Athiyah Saqar mengatakan bahwa fenomena berkabung yang ditunjukkan dengan pakaian adalah tidak diperbolehkan mengenakan pakaian yang bertentangan dengan perasaan kesedihan. Dan ini bebeda-beda didalam bentuk, warna dan jenis sesuai dengan perbedaan kebiasaan.
Menurut Imam Nawawi tentang pendapat mengenai pakaian hitam dalam kontek ihdad berkata: berbusana hitam ketika ta’ziyah apabila ditujukan sebagai tanda belasungkawa bagi petakziyah tidak diperbolehkan apabila terbersit niat penentangan atas taqdir. Hal itu merupakan sesuatu yang buruk dan dibenci, seperti yang termaktub dalam sebuah hadits.
Dengan ini alangkah baiknya tidak mengenakan pakaian serba hitam ketika melayat walaupun ada pendapat ulama’ yang memperbolehkannya dengan pertimbangan keluar dari khilaf ulama’ yang menyatakan haram sekalipun tidak ada niatan untuk menyerupai orang-orang kafir. Disamping itu, pakaian yang sunnah dan paling disukai oleh Rasulullah adalah putih, bukan hitam.



Share this article :

5 komentar:

  1. referensinya sudah disebutkan semua pada artikel di atas

    BalasHapus
  2. secara jelasnya belum, bisa disebutkan kah ?

    BalasHapus
  3. Michel Pastoureau dalam Black: the History of a Color
    Seeing through Clothes, Anne Holander
    Francoise Piponnier dan Perrine Mane dalam Dress in the Middle Ages
    Imam Suyuthi didalam kitabnya “al Awa’il”

    BalasHapus
  4. Michel Pastoureau dalam Black: the History of a Color
    Seeing through Clothes, Anne Holander
    Francoise Piponnier dan Perrine Mane dalam Dress in the Middle Ages
    Imam Suyuthi didalam kitabnya “al Awa’il”

    BalasHapus

Popular Posts

Baris Iklan

BARIS IKLAN

BARIS IKLAN
Agen Tafsir Al Qur'an Al Ibriz Bahasa Jawa Tulisan Latin Semarang

Mengenai Saya

Foto saya
Semarang, Jawa Tengah, Indonesia

Arsip Blog

 
Support : Alfin | Alfin El-Mlipaki | Sciena Madani
Copyright © 2013. el_mlipaki - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Sciena Madani
Proudly powered by Wonder Ummi