Sejarah telah mencatat bahwa pompa air yang biasa kita
pakai sehari-hari merupakan hasil karya genius seorang insinyur muslim
abad ke-12 bernama Al-Jazari. Sebuah inovasi baru di zamannya. Al-Jazari
diperkirakan lahir pada 1136 M di al-Jazira, sebuah kawasan antara Sungai
Tigris dan Eufrat, Irak. Sebagian besar hidupnya dihabiskan di Diyar Bakir,
Turki. Di sana, ia berkarya menuangkan semua pemikirannya. Nama lengkapnya,
Al-Syaikh Rais al-A’mal Badi al-Zaman Abu al-Izz Ismail bin al-Razzas
al-Jazari. Pada tahun 1174, Al-Jazari bekerja sebagai ahli teknik untuk
Dinasti Bani Artuq, penguasa Mesopotamia (Irak). Ini merupakan masa ketika
orang-orang berbahasa Turki menguasai dunia. Dan karena keahliannya, Al-Jazari
memperoleh sejumlah gelar prestisius, seperti Rais al-A’mal. Gelar itu
menunjukkan dirinya adalah pemimpin insinyur pada masa itu. Bahkan dirinya juga dikenal sebagai Bapak
Robotika karena ialah yang menemukan dasar-dasar teknik robot.
Pada 1206 ia merampungkan sebuah karya dalam bentuk buku
yang berkaitan dengan dunia teknik. Ia mendokumentasikan lebih dari 50 karya
temuannya, lengkap dengan rincian gambar-gambarnya dalam buku, “al-Jami Bain
al-Ilm Wal ‘Aml al-Nafi Fi Sinat ‘at al-Hiyal”. Isinya teori dan praktik
mekanik.Karyanya itu sangat berbeda dengan karya ilmuwan lainnya, karena dengan
piawainya Al-Jazari membeberkan secara detail berbagai hal tentang mekanika. Dan
ini merupakan kontribusi yang sangat berharga dalam sejarah teknik.
Berawal Dari Keterbatasan
Kondisi geografis umat Islam pada waktu itu yang kering dan tandus juga
memicu sejumlah penemuan Al-Jazari, yakni pompa air. Arti penting air bagi umat
Islam memicu kreativitas Al-Jazari untuk membuat inovasi baru. Sebelum peradaban Islam mencapai puncak kejayaannya,
peradaban manusia di Timur Tengah begitu menggantungkan hidupnya pada
sungai-sungai besar seperti Nil, Tigris dan Efrat. Sejatinya, peradaban sebelum
Islam telah mengenal teknik dasar irigasi. Ketika kekhalifahan Islam menjelma
menjadi kekuatan dunia dan kota-kotanya menjadi metropolis sistem irigasi pun
dipercanggih.
Guna memenuhi kebutuhan air di kota-kota Islam yang saat itu mulai
berkembang pesat, sistem irigasi yang ada mulai diperluas. Tak hanya itu,
penguasa Muslim pun memperbanyak pembangunan kanal. Sehingga, kota-kota Islam
di era keemasan tak pernah mengalami kekurangan suplai air baik untuk kehidupan
sehari-hari maupun untuk pertanian serta perkebunan. ''Sistem irigasi yang dikembangkan di dunia Islam mengandung
aspek-aspek teknologi dan sosiologi yang menarik,'' papar Ahmad Y Al-Hassan
dan Donald R Hill dalam bukunya bertajuk ''Islamic
Technology:An Ilustrated History''. Untuk membangun sebuah jaringan dan
sistem irigasi yang amat luas, para insinyur Muslim terdorong untuk mengembangkan
beragam teknologi.
Di zaman keemasan, teknik irigasi menjadi salah satu
obyek yang sangat vital. Apalagi, sebagian besar negeri-negeri Islam memiliki
jenis tanah yang kering. Para petani Muslim harus memutar otak untuk
mendatangkan air ke lahan kering sehingga dapat ditanami beragam komoditas
seperti tebu, padi, dan kapas - tanaman yang sangat membutuhkan air. Menurut
Al-Hassan dan Hill, para petani Muslim mewarisi sistem sistem irigasi yang
telah rusak. Tak heran, jika pasokan air ke berbagai daerah yang sebelumnya
dikuasai peradaban non-Islam kian menyusut. Sistem irigasi diperluas dan
dipercanggih lantaran ''Revolusi Hijau'' yang dicetuskan peradaban Islam tak
lagi memadai. Salah satu kunci keberhasilan ''Revolusi Pertanian'' adalah
tersedianya air yang melimpah.
Selain memperluas sistem irigasi, para petani Muslim pun
akhirnya mampu mengembangkan beragam teknologi, seperti peralatan pengangkat
air, cara penyimpanan, pengangkutan serta distribusi air. Bahkan, mereka pun
berhasil menciptakan teknik pencarian sumber-sumber air baik yang tersembunyi
maupun sistem bawah tanah (qanat). "Sedemikian
besarnya kemajuan yang telah dicapai sehingga tidak terlalu berlebihan jika
dikatakan bahwa pada abad ke-11 M hampir semua sungai, anak sungai, oasis, mata
air, dan aquifer-aquifer yang diketahui ataupun banjir yang sudah diramalkan
dapat dimanfaatkan peradaban Islam," cetus Al-Hassan dan Hill.
Bukti kemajuan peradaban Islam di bidang pengairan juga
sangat tampak dengan pesatnya pembangunan kanal. Dengan kanal-kanal itu air
dari sungai dialirkan ke daratan. Peradaban Islam juga telah mampu mengalirkan
air ke kanal yang yang letaknya lebih tinggi. Pembangunan sarana irigasi dan
kanal secara besar-besaran terjadi di era kekuasaan pemerintahan Dinasti
Abbasiyah.
Memunculkan Sarana Transportasi Baru
Saat itu, masyarakat yang berada di wilayah tandus
mengalami krisis air. Akibatnya, masyarakat di wilayah itu tak bisa
menghasilkan apapun karena lahannya yang kering, bahkan mereka selalu mengimpor
makanan. Pemerintahan Abbasiyah akhirnya membuat aliran air dari sungai Tigris
dan Efrat. Sistem irigasi terus ditingkatkan dengan penggalian sejumlah kanal
baru. Kanal terbesar dikenal dengan nama Nahr Isa. Saat itu, Kanal tak hanya
digunakan untuk memenuhi kebutuhan air bagi masyarakat, namun juga digunakan
untuk transportasi air antara Syria dan Irak. Dengan begitu roda perekonomian
berputar semakin cepat dan negeri-negeri Muslim pun menjadi lebih makmur.
Teknisi-teknisi muslim kemudian menyempurnakan kincir air
yang dibangun cukup rumit dengan saluran air bawah tanah yang disebut qanats.
Untuk pembangunan tersebut dibutuhkan keterampilan yang tinggi karena posisinya
berada dibawah lima puluh kaki bawah tanah. Salah satu teknologi irigasi yang
dikembangkan peradaban Islam bernama Noria. Teknologi yang satu ini digunakan
pada sistem irigasi buatan. Untuk memudahkan aliran air secara konstan,
masyarakat Muslim menggunakan noria, dalam bahasa Arab na'ura, yakni sebuah
mesin pengangkat air yang masuk ke dalam saluran air kecil. Ada tiga jenis
noria yang dikembangkan para insinyur Muslim. Noria yang paling terkenal adalah
noria dengan roda vertikal menggantung dengan ember berantai. Ember tersebut
bisa masuk ke dalam mata air hingga 8 meter atau 26 kaki. Ini merupakan noria
yang paling kuno, yang digerakkan keledai atau banteng.
Dengan sistem yang masih sama, noria jenis kedua
digerakkan o angin. Angin menggerakkan noria di sekitar Cartagena, Spanyol. Noria
jenis ketiga menggunakan energi yang berasal dari aliran sungai. Ini meruapakn
noria yang besar. Alat ini mampu mengangkat air dari sungai ke saluran air
kecil yang lebih tinggi.Noria tidak dilengkapi dengan power otomatis untuk
setiap proses. Noria dapat meningkatkan air yang sebelumnya tidak penuh menjadi
penuh. Noria terbesar di dunia, dengan diameter sekitar 20 meter, berlokasi di
Syria kota Hama. Sejak saat itu, Noria menjadi dasar dari sistem irigasi
canggih.
Digunakan Dibelahan Dunia
Penggunaan Noria menyebar dengan cepat ke berbagai
wilayah di dunia. Noria pun menjadi aset negara untuk menjamin distribusi air
yang adil. Di beberapa daerah di Valencia saja terdapat sekitar 8.000 noria
untuk mengairi daerah pertanian.Selain itu juga alat lain bernama saqiya. Alat
ini juga berfungsi untuk mengangkat air dengan menggunakan alat yang berupa
roda gigi. Teknologi ini digerakkan oleh binatang peliharaan sepeti keledai
atau unta. Teknologi saqiya ditemukan dan dikembangkan Al-Jazari.
Teknologi pengairan lainnya yang berkembang di era Islam
adalah qanat. Alat ini digunakan untuk memanfaatkan air bawah tanah dengan
menggunakan pipa. Menurut Al-Hassan dan Hill, qanat merupakan contoh pertama
operasi pertambangan yang rumit dan berbahaya.Qanat merupakan suatu terowongan
yang nyaris horisontal dari sebuah aquifer (lapisan batu, tanah atau pasir yang
mengandung sumber air) menuju ke lokasi-lokasi yang membutuhkan air. Dengan
teknologi pengangkat air itu, kebutuhan air tetap terpenuhi dalam berbagai
musim. Dalam sistem pengelolaan air, peradaban Islam telah memberi inspirasi
bagi manusia modern.
subhanallah ...
BalasHapus