Menimbun Barang
Orang
bilang tanah kita tanah surga. Tongkat kayu dan batu jadi tanaman. Negeri ini
pun lantas dilabel sebagai negara agraris. Digambarkan memiliki hamparan lahan
pertanian bagai permadani yang amat luas. Memiliki laut dan samudera, serta
garis pantai yang sangat panjang. Kondisi geografis anugerah Yang Maha Kuasa itu,
memungkinkan hampir seluruh jenis komoditas pertanian dalam arti luas ada.
Gemah ripah lohjinawi, katanya.
Tapi
itu hanyalah tinggal “mitos”. Dongeng pengantar tidur anak-anak agar doktrin
cinta negeri terhunjam ke dalam lubuk hatinya. Tetapi tatkala membuka mata,
telinga, dan hati, mereka akan limbung menatap sekelilingnya. Apa yang
didengarnya, tak sesuai dengan yang dilihatnya.
Mereka
melihat beras negeri tetangga, Vietnam dan Thailand mengalir deras masuk pasar
sampai pelosok negeri. Daging sapi Australia menghiasi sudut-sudut pasar. Gula
juga demikian, bertebaran di meja-meja warung kopi. Bahkan tahu tempe yang
katanya makanan rakyat ternyata berbahan impor, begitu juga bumbu-bumbu dapur
ternyata impor dari china.
Dan
baru-baru ini, Ketentraman dapur ibu rumah tanggapun kian terusik akibat
Meroketnya harga bawang di pasaran. Tak tanggung-tanggung kenaikan harga bawang
mencapai 3 kali lipat lebih dari harga normal, Inilah kondisi riil tentang
karut marutnya sistem ketahanan pangan di Indonesia dan Bukan tak mungkin,
meroketnya harga tersebut akan disusul
oleh komoditi-komoditi lainnya.
Ketersedian
pangan menurut kapitalis adalah ketersediaan pangan dalam jumlah yang cukup
aman dan bergizi untuk semua orang dalam suatu negara baik yang berasal dari
produksi sendiri, impor, cadangan pangan maupun bantuan pangan. Ketersedian
pangan dalam hal ini lebih serng dilihat secara makro. Jika stok memadai
dibandingkan tingkat kebutuhan secara makro maka ketersediaan pangan dianggap
cukup. Masalah distribusi dan bisa diakses oleh tiap individu atau tidak,
itu tidak jadi perhatian. Disamping itu dengan filosofi kebebasan ala
kapitalis maka penyediaan pangan itu harus diberikan kepada swasta secara
bebas. Keserdiaan pangan yang ditempuh pada sistem kapitalis ini tidak
membatasi pelaku penjamin ketersedian pangan oleh negara. Hal itu memungkinkan
pihak-pihak lain di luar Negara (swasta DN dan LN) bisa mengambil andil yang
sangat besar. Akibatnya terjadilah monopoli bahan pangan, menumpuknya
kendali supply pangan pada sekelompok orang, serta impor yang menyebabkan
ketergantungan kepada Negara lain. Contoh, saat ini impor kedelai yang 90%
berasal dari AS dikuasai oleh empat perusahaan saja termasuk Cargill yang
induknya di AS, impor gula dikuasai oleh 7-8 perusahaan saja, impor gandum yang
tahun ini bisa mencapai 7,1 juta ton senilai USD 3,5 miliar atau setara Rp 32,8
triliun (liiputan6, 17/3) dikuasai tidak lebih oleh 4 perusahaan saja, yang
terbesar Bogasari dari Grup Salim. Hanya beras yang impornya dikendalikan oleh
negara, tapi pelaksanaan impornya yang ditenderkan kepada importir swasta dan
dijadikan bancakan oleh para pejabat dan politisi.
Pada
saat ini perusahaan–perusahaan yang memiliki modal besar mampu menguasai pangan
dari hulu hingga hilir (contoh, mulai dari impor gandum, industri tepung terigu
sampai makanan olahan berbahan tepung terigu dikuasai oleh perusahaan dari satu
grup, terutama grup Salim Bogasari – Indofood cs). Akibatnya mereka bisa
mengendalikan penentuan harga di pasar, dan menyebabkan hilangnya peluang usaha
bagi masyarakat yang memiliki modal terbatas.
Larangan Ihtikar
Ihtikar
atau bisa disebut Monopili artinya
menimbun barang agar yang beredar di masyarakat berkurang, lalu harganya naik.
Yang menimbun memperoleh keuntungan besar, sedang masyarakat dirugikan. Mengapa
ihtikar tidak diperbolehkan? Imam Nawawi
menjelaskan mengapa ihtikar dilarang
adalah untuk mencegah hal-hal yang menyulitkan manusia secara umum, oleh
karenanya para ulama sepakat apabila ada orang memiliki makanan lebih,
sedangkan manusia sedang kelaparan dan tidak ada makanan kecuali yang ada pada
orang tadi, maka wajib bagi orang tersebut menjual atau memberikan dengan
cuma-cuma makanannya kepada manusia supaya manusia tidak kesulitan.
Islam
mengharamkan orang menimbun dan mencegah harta dari peredaran. Islam mengancam
mereka yang menimbunnya dengan siksa yang pedih di hari kiamat. Allah
subhaanahu wa ta’aala berfirman dalm surat At Taubah ayat 34-35:
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak
dan tidak menafkahkannya pada jalan
Allah maka beritahukanlah kepada mereka
(bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. Pada hari dipanaskan emas perak
itu dalam neraka jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung, dan
punggung mereka (lalu dikatakan kepada mereka): “Inilah harta bendamu yang kamu
simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang
kamu simpan itu”.
Menimbun
harta maksudnya membekukannya, menahannya dan menjauhkannya dari peredaran.
Padahal, jika harta itu disertakan dalam usaha-usaha produktif seperti dalam
perencanaan produksi, maka akan tercipta banyak kesempatan kerja yang baru dan
mengurangi pengangguran. Kesempatan-kesempatan baru bagi pekerjaan ini bisa menambah
pendapatan dan daya beli masyarakat sehingga bisa mendorong meningkatnya
produksi, baik itu dengan membuat rencana-rencana baru maupun dengan memperluas
rencana yang telah ada. Dengan demikian, akan tercipta situasi pertumbuhan dan
perkembangan ekonomi dalam masyarakat.
Penimbunan
barang merupakan halangan terbesar dalam pengaturan persaingan dalam pasar
Islam. Dalam tingkat internasional, menimbun barang menjadi penyebab terbesar
dari krisis yang dialami oleh manusia sekarang, yang mana beberapa negara kaya
dan maju secara ekonomi memonopoli produksi, perdagangan, bahan baku kebutuhan
pokok. Bahkan, negara-negara tersebut memonopoli pembelian bahan-bahan baku
dari negara yang kurang maju perekonomiannya dan memonopoli penjulan komoditas
industri yang dibutuhkan oleh negara-negara tadi. Hal itu menimbulkan bahaya
besar terhadap keadilan distribusi kekayaan dan pendapatan dalam tingkat dunia.
0 komentar:
Posting Komentar