Home » » Bagaimana Sebenarnya Hubungan Buruh dan Majikan dalam Islam?

Bagaimana Sebenarnya Hubungan Buruh dan Majikan dalam Islam?

Written By el_mlipaki on Jumat, 29 November 2013 | 14.54


Sebulan yang lalu, tepatnya  tanggal 31 Oktober dan 1 November  2013 terjadi unjuk rasa besar-besaran di Jakarta dan di berbagai daerah di Indonesia. Para buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja  Indoesia itu menggelar aksi unjuk rasa menuntut kenaikan upah. Aksi unjuk rasa yang diharapkan bisa berjalan tertib ini ternyata ternoda dengan terjadinya bentrokan. Akibat bentrokan antar 2 kelompok masa yaitu pengunjuk rasa dan sebuah ormas yang mengamankan suatu kawasan industri di Cikarang Jawa Barat, mengakibatkan 18 kendaraan bermotor rusak dan 8 orang luka-luka, terdiri dari 4 petugas satpam dan 4 karyawan pabrik. Kondisi yang tidak jauh berbeda, dimungkinkan terjadi di berbagai daerah lainnya, paling tidak ketidaknyamanan  dalam masyarakat terjadi saat aksi unjuk rasa tersebut berlangsung.
Untuk menghindari aksi unjuk rasa anarkis yang terjadi dalam suatu kantor atau tempat usaha dan agar suasana kerja menjadi harmonis serta produktifitas terwujud dalam hubungan kerja, perlu adanya kesaling pahaman antara buruh (baca: pekerja)  dan majikan (baca: pengusaha). Bagaimana sebenarnya hubungan buruh dan majikan dalam Islam?
Hubungan buruh dengan majikan merupakan wujud hubungan muamalah yang diatur dalam syariah Islam. Dalam hal ini, baik seorang buruh maupun majikan perlu mengedepankan nilai-nilai luhur Islam dalam bermuamalah, diantaranya nilai tauhid, taqwa, adil, jujur dan amanah.
Nilai luhur tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut :

Pertama, tauhid maknanya mengesakan Allah swt. Baik buruh maupun majikan haruslah sama-sama beriman kepada Allah swt, mengesakan Allah swt, sehingga dalam menjalankan pekerjaan/usaha mereka semua memiliki niat mencari keridloan Allah swt semata.
Kedua, baik buruh maupun majikan melaksanakan hubungan kerja dilandasi dengan ketaqwaan kepada Allah swt, dan tidak akan melakukan pekerjaan yang dilarang oleh syara’.
Ketiga, buruh dan majikan melakukan hubungan kerja secara adil dengan mengedepankan kuajiban untuk mendapatkan hak masing-masing.
Keempat, buruh dan majikan melakukan hubungan kerja secara terbuka dari awal menandatangani kontrak/ kesepakatan kerja hingga proses pelaksanaan kerja, masing-masing berlaku jujur dan terbuka.
Kelima, keduanya sama-sama memegang amanah, melakukan pekerjaan/usaha sebagai wujud menunaikan amanah Allah swt dan masing-masing menunaikan amanah atau tanggung jawab yang disepakati.

Adab terhadap buruh
Hak buruh atau pekerja merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh majikan atau pengusaha. Beberapa kewajiban yang harus dipenuhi oleh seorang majikan terhadap pekerja diantaranya adalah:
Pertama, Islam memposisikan buruh  sebagaimana saudara majikannya. Dari Abu Dzar ra, Nabi saw bersabda:  “Saudara kalian adalah buruh kalian. Allah jadikan mereka di bawah kekuasaan kalian.” (HR. Bukhari) Nabi  saw menyebut buruh sebagaimana saudara majikan agar derajat mereka setara dengan saudara, sehingga akan memperlakukannnya dengan baik.
Kedua, seorang majikan tidak boleh memberikan tugas pekerjaan kepada buruh yang berlebihan, tidak memberikan upah sesuai dengan yang disepakati, menekan untuk melakukan pekerjaan yang berlebihan dan melewati waktu kerja. Rasulullah SAW melarang memberikan beban tugas kepada buruh melebihi kemampuannya. Jikapun terpaksa itu harus dilakukan, beliau perintahkan agar sang majikan turut membantunya. Kecuali ada kesepakatan dengan membayar kelebihan beban yang tidak ada dalam kesepakatan awal. Dalam hadis Abu Dzar ra, Nabi bersabda: “Janganlah kalian membebani mereka (pekerja), dan jika kalian memberikan tugas kepada mereka, bantulah mereka.” (HR. Bukhari)
Ketiga, seorang majikan harus memperhatikan dan mengutamakan pemberian upah/gaji bagi pekerja. Nabi saw mewajibkan para majikan untuk memberikan gaji pegawainya tepat waktu, tanpa dikurangi sedikit pun. Dari Abdullah bin Umar ra, Nabi saw bersabda: “Berikanlah upah pekerja (buruh), sebelum kering keringatnya.” (HR. Ibn Majah).
Rasulullah sangat memperhatikan penghargaan terhadap seorang pekerja. Masalah upah merupakan hal yang terpenting untuk didahulukan. Dengan nilai keadilan dalam Islam, maka bagaimana seorang pekerja merasa cukup dengan upah yang diterimanya dan upah itu sebanding dengan kontribusi yang telah mereka berikan kepada majikan (perusahaan).
Keempat, dianjurkan memperhatikan kesejahteraan para buruh. Misalnya tentang kebutuhan akan pernikahan, keluarga, rumah, pendidikan dan kebutuhan lain untuk meningkatkan kompetensi dan kualitas pekerjanya, sehingga para buruh merasa kehidupannya tercukupi dan lebih tenang serta tentram hatinya.

Kewajiban Buruh
Jika hak-hak buruh yang menjadi kewajiban para majikan atau pengusaha ditunaikan, maka dengan sendirinya para buruh akan memenuhi kewajibannya sebagai seorang pekerja, diantaranya: Pertama, para buruh harus melakukan pekerjaan dengan jujur, ikhlas dan berkualitas. Mereka bekerja secara optimal sehingga produktivitasnya meningkat sehingga akan meningkatkan hasil bagi sang majikan/perusahaan. Dampaknya, kesejahteraan pekerja pun akan meningkat pula. Rasulullah saw bersabda : “Sesungguhnya Allah mengasihi ketika salah seorang dari kalian yang melakukan sesuatu pekerjaan maka ia melakukannya dengan baik,”

Kedua, para buruh hendaknya menghindari perbuatan penipuan dan pengkhianatan selama bekerja dalam keadaan bagaimanapun juga. Seperti korupsi waktu, barang atau asset sang majikan berapapun nilainya. Allah swt berfirman dalam Al-Qur’an yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui”. (QS Al-Anfaal, 8: 27).

Ketiga, para buruh hendaknya menyerahkan hasil atau keuntungan kerjanya kepada majikan, karena hal ini merupakan bentuk menunaikan amanah atau tanggung jawab. Rasulullah saw bersabda : “Seorang bendahara yang amanah, yang menunaikan apa yang diperintahkan kepadanya dengan senang hati, termasuk orang yang bershadaqah”
Tidak boleh seorang pekerja mengambil sesuatu untuk dirinya karena itu merupakan pengkhianatan. Sebagaimana ia juga tidak boleh menyerahkan keuntungan kepada selain majikannya. Sesungguhnya itu adalah kezhaliman.
Keempat, tidak meminta upah diluar kesepakatan, kecuali majikan ridho. Jika tidak ridho maka hanya ada dua pilihan, mencari kerja di tempat lain atau bersabar sambil berdo’a.


Jika hubungan antara buruh dengan majikan bisa dijalankan sesuai dengan syariat Islam, maka akan terjadi hubungan kerja yang harmonis dan penuh persaudaraan. Semua ini akan menghasil keberkahan bagi keduanya. Insya Allah.
Share this article :

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

Baris Iklan

BARIS IKLAN

BARIS IKLAN
Agen Tafsir Al Qur'an Al Ibriz Bahasa Jawa Tulisan Latin Semarang

Mengenai Saya

Foto saya
Semarang, Jawa Tengah, Indonesia

Arsip Blog

 
Support : Alfin | Alfin El-Mlipaki | Sciena Madani
Copyright © 2013. el_mlipaki - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Sciena Madani
Proudly powered by Wonder Ummi