Sebulan yang
lalu, tepatnya tanggal 31 Oktober dan 1
November 2013 terjadi unjuk rasa
besar-besaran di Jakarta dan di berbagai daerah di Indonesia. Para buruh yang
tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja
Indoesia itu menggelar aksi unjuk rasa menuntut kenaikan upah. Aksi
unjuk rasa yang diharapkan bisa berjalan tertib ini ternyata ternoda dengan
terjadinya bentrokan. Akibat bentrokan antar 2 kelompok masa yaitu pengunjuk
rasa dan sebuah ormas yang mengamankan suatu kawasan industri di Cikarang Jawa
Barat, mengakibatkan 18 kendaraan bermotor rusak dan 8 orang luka-luka, terdiri
dari 4 petugas satpam dan 4 karyawan pabrik. Kondisi yang tidak jauh berbeda,
dimungkinkan terjadi di berbagai daerah lainnya, paling tidak
ketidaknyamanan dalam masyarakat terjadi
saat aksi unjuk rasa tersebut berlangsung.
Untuk
menghindari aksi unjuk rasa anarkis yang terjadi dalam suatu kantor atau tempat
usaha dan agar suasana kerja menjadi harmonis serta produktifitas terwujud
dalam hubungan kerja, perlu adanya kesaling pahaman antara buruh (baca: pekerja)
dan majikan (baca: pengusaha). Bagaimana
sebenarnya hubungan buruh dan majikan dalam Islam?
Hubungan buruh
dengan majikan merupakan wujud hubungan muamalah yang diatur dalam syariah
Islam. Dalam hal ini, baik seorang buruh maupun majikan perlu mengedepankan
nilai-nilai luhur Islam dalam bermuamalah, diantaranya nilai tauhid, taqwa,
adil, jujur dan amanah.
Nilai luhur
tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut :
Pertama, tauhid maknanya mengesakan Allah swt. Baik
buruh maupun majikan haruslah sama-sama beriman kepada Allah swt, mengesakan
Allah swt, sehingga dalam menjalankan pekerjaan/usaha mereka semua memiliki
niat mencari keridloan Allah swt semata.
Kedua, baik buruh
maupun majikan melaksanakan hubungan kerja dilandasi dengan ketaqwaan kepada Allah swt, dan tidak
akan melakukan pekerjaan yang dilarang oleh syara’.
Ketiga, buruh dan
majikan melakukan hubungan kerja secara adil
dengan mengedepankan kuajiban untuk mendapatkan hak masing-masing.
Keempat, buruh dan
majikan melakukan hubungan kerja secara terbuka dari awal menandatangani
kontrak/ kesepakatan kerja hingga proses pelaksanaan kerja, masing-masing
berlaku jujur dan terbuka.
Kelima, keduanya
sama-sama memegang amanah, melakukan
pekerjaan/usaha sebagai wujud menunaikan amanah Allah swt dan masing-masing menunaikan
amanah atau tanggung jawab yang disepakati.
Adab terhadap buruh
Hak buruh atau
pekerja merupakan kewajiban yang harus dipenuhi oleh majikan atau pengusaha. Beberapa
kewajiban yang harus dipenuhi oleh seorang majikan terhadap pekerja diantaranya
adalah:
Pertama, Islam
memposisikan buruh sebagaimana saudara
majikannya. Dari Abu Dzar ra, Nabi saw bersabda: “Saudara kalian adalah buruh kalian.
Allah jadikan mereka di bawah kekuasaan kalian.” (HR. Bukhari) Nabi saw menyebut buruh sebagaimana saudara
majikan agar derajat mereka setara dengan saudara, sehingga akan
memperlakukannnya dengan baik.
Kedua, seorang majikan tidak boleh memberikan tugas pekerjaan kepada buruh yang
berlebihan, tidak memberikan upah sesuai dengan yang disepakati, menekan untuk
melakukan pekerjaan yang berlebihan dan melewati waktu kerja. Rasulullah SAW melarang
memberikan beban tugas kepada buruh melebihi kemampuannya. Jikapun terpaksa itu
harus dilakukan, beliau perintahkan agar sang majikan turut membantunya. Kecuali
ada kesepakatan dengan membayar kelebihan beban yang tidak ada dalam
kesepakatan awal. Dalam hadis Abu Dzar ra, Nabi bersabda: “Janganlah kalian
membebani mereka (pekerja), dan jika kalian memberikan tugas kepada mereka,
bantulah mereka.” (HR. Bukhari)
Ketiga, seorang majikan harus memperhatikan dan mengutamakan pemberian
upah/gaji bagi pekerja. Nabi saw mewajibkan para majikan untuk memberikan gaji
pegawainya tepat waktu, tanpa dikurangi sedikit pun. Dari Abdullah bin Umar ra,
Nabi saw bersabda: “Berikanlah upah pekerja (buruh), sebelum kering
keringatnya.” (HR. Ibn Majah).
Rasulullah
sangat memperhatikan penghargaan terhadap seorang pekerja. Masalah upah
merupakan hal yang terpenting untuk didahulukan. Dengan nilai keadilan dalam
Islam, maka bagaimana seorang pekerja merasa cukup dengan upah yang diterimanya
dan upah itu sebanding dengan kontribusi yang telah mereka berikan kepada majikan
(perusahaan).
Keempat, dianjurkan
memperhatikan kesejahteraan para buruh. Misalnya tentang kebutuhan akan
pernikahan, keluarga, rumah, pendidikan dan kebutuhan lain untuk meningkatkan
kompetensi dan kualitas pekerjanya, sehingga para buruh merasa kehidupannya
tercukupi dan lebih tenang serta tentram hatinya.
Kewajiban Buruh
Jika hak-hak
buruh yang menjadi kewajiban para majikan atau pengusaha ditunaikan, maka
dengan sendirinya para buruh akan memenuhi kewajibannya sebagai seorang
pekerja, diantaranya: Pertama, para
buruh harus melakukan pekerjaan dengan jujur, ikhlas dan berkualitas. Mereka
bekerja secara optimal sehingga produktivitasnya meningkat sehingga akan
meningkatkan hasil bagi sang majikan/perusahaan. Dampaknya, kesejahteraan
pekerja pun akan meningkat pula. Rasulullah saw bersabda : “Sesungguhnya
Allah mengasihi ketika salah seorang dari kalian yang melakukan sesuatu
pekerjaan maka ia melakukannya dengan baik,”
Kedua, para buruh
hendaknya menghindari perbuatan penipuan dan pengkhianatan selama bekerja dalam
keadaan bagaimanapun juga. Seperti korupsi waktu, barang atau asset sang
majikan berapapun nilainya. Allah swt berfirman dalam Al-Qur’an yang artinya: “Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul
(Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan
kepadamu, sedang kamu mengetahui”. (QS
Al-Anfaal, 8: 27).
Ketiga, para buruh hendaknya
menyerahkan hasil atau keuntungan kerjanya kepada majikan, karena hal ini
merupakan bentuk menunaikan amanah atau tanggung jawab. Rasulullah saw bersabda
: “Seorang bendahara yang amanah, yang
menunaikan apa yang diperintahkan kepadanya dengan senang hati, termasuk orang
yang bershadaqah”
Tidak
boleh seorang pekerja mengambil sesuatu untuk dirinya karena itu merupakan
pengkhianatan. Sebagaimana ia juga tidak boleh menyerahkan keuntungan kepada
selain majikannya. Sesungguhnya itu adalah kezhaliman.
Keempat, tidak meminta upah diluar
kesepakatan, kecuali majikan ridho. Jika tidak ridho maka hanya ada dua
pilihan, mencari kerja di tempat lain atau bersabar sambil berdo’a.
Jika
hubungan antara buruh dengan majikan bisa dijalankan sesuai dengan syariat
Islam, maka akan terjadi hubungan kerja yang harmonis dan penuh persaudaraan.
Semua ini akan menghasil keberkahan bagi keduanya. Insya Allah.
0 komentar:
Posting Komentar