“Sesungguhnya syubhat itu ada pada yang halal”
Umar ibn Abdul Aziz
Sebelum
membahas tentang subhat pada yang halal, mari kita perhatikan redaksi hadits
Rasulullah SAW berikut ini, “Sesungguhnya
yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas. Di antara keduanya ada perkara
yang syubhat yang kebanyakan manusia tidak mengetahuinya. Barang siapa yang
menjaga dari yang syubhat, berarti dia telah menjaga dien (agama) dan
kehormatannya, dan barang siapa yang terjerumus dalam syubhat berarti dia telah
terjerumus kepada yang haram. Sebagaimana seorang pengembala yang mengembala di
sekitar larangan, maka lambat laun akan masuk ke dalamnya. Ketahuilah bahwa
setiap raja memiliki daerah larangan. Ada pun daerah larangan Allah adalah apa
yang diharamkan-Nya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadis
tersebut memiliki makna bahwa sesungguhnya yang halal itu jelas, yang haram
juga jelas. Dan di antara keduanya terdapat yang samar-samar (syubhat).
Barangsiapa yang mampu menjaga dirinya dari perbuatan-perbuatan yang syubhat,
maka sesungguhnya ia sudah membersihkan dirinya. Barangsiapa yang terlibat
terhadap hal-hal yang syubhat, maka sama saja ia sudah melakukan sesuatu yang
haram.
Dalam
kehidupan ini Allah SWT memberikan aturan bagi kehidupan manusia dengan jelas.
Tetapi memang masih ada hal-hal yang perlu dijelaskan secara lebih detil. Jika
masih samar-samar, maka perkara tersebut termasuk syubhat. Syubhat maksudnya
tidak jelas apakah termasuk halal atau haram. Dan yang terbaik menyikapi hal
yang syubhat adalah meninggalkannya. Untuk itu, dalam hadis di atas Rasulullah SAW
mengatakan bahwa tidak dipungkiri di antara yang halal dan haram itu pun juga
terdapat urusan-urusan yang syubhat.
Lantas
kenapa Umar ibn Abdul Aziz mengatakan bahwa subhat itu ada pada yang halal
padahal pada hadits di atas telah jelas disebutkan bahwa halal dan haram itu
jelas dan syubhat itu ada di antaranya. Sejalan dengan perubahan zaman, banyak
sekali umat islam yang semakin jauh dari syari’at Islam begitu pula dengan ketentuan
hukumnya tentang halal dan haram. Misalkan, syubhatnya memasuki tempat-tempat yang sering/banyak dilakukan kemaksiatan
di dalamnya sehingga identik sebagai tempat maksiat, seperti night club, bioskop karena iktilath (campur-baur) di dalamnya, bar, dsb.
Contoh lain: orang berburu dengan senapan, namun buruannya
jatuh terjebur air sehingga syubhat buruan itu mati karena pelurunya atau
karena terjebur air. Contoh
lain juga: orang menyembelih ayam dan langsung dicelupkan ke dalam air panas
sehingga syubhat: ayam itu mati karena disembelih atau dicelupkan air
panas.
Jadi, jauhilah sesuatu yang syubhat tersebut karena bisa jadi
kemudian sesuatu yang subhat itu akan terhukumi haram. Misalkan pada contoh di
atas pada ayam yang ternyata mati karena dicelupkan air panas bukan disembelih.
Maka bersikap sabarlah. Syaikh Sholih Al Fauzan mengatakan, “Janganlah kita tergesa-gesa sampai jelas
suatu perkara.”
Lebih
lanjut Syaikh Sholih Al Fauzan mengatakan bahwa meninggalkan perkara yang
subhat itu wajib, “Sebagaimana pengembala
yang menggembalakan ternaknya di sekitar tanah larangan yang hampir
menjerumuskannya, maka demikian pula manusia. Ia tidak mampu mengendalikan
dirinya dari terjerumus pada keharaman jika hal itu masih syubhat (hukumnya
samar). Permisalan yang Nabi SAW sampaikan dalam hadits ini adalah permisalan
yang begitu jelas dan mudah dicerna. Hadits ini menunjukkan wajibnya kita
menjauhi perkara syubhat supaya tidak membuat kita terjatuh pada keharaman.” (Al
Minhah Ar Robbaniyah fii Syarh Al Arba’in An Nawawiyah, hal. 108).
0 komentar:
Posting Komentar