Dalam
dunia pertelevisian, sinetron menempati urutan tinggi sebagai tayangan yang
diminati oleh para pemirsanya. Tak ketinggalan pula sinetron bergenre religi
atau sinetron religi. Sebenarnya jenis sinetron ini tak ubahnya dengan sinetron
non religi lainnya hanya beberapa furniture syuting seperti pecis, sarung,
kerudung, sorban, ataupun setingan tempat masjid dan pesantren yang lebih
mengesankan religiusitasnya. Bahkan kini jenis tayangan yang seperti ini
semakin marak menghiasai layar kaca kita, khususnya saat masuk bulan ramadhan
dan syawwal. Berbagai tema dimunculkan. Dari yang wajar-wajar saja mengangkat
persoalan kehidupan sosial masyarakat, hingga tema-tema keislaman yang
hakikatnya mengusung masalah bid'ah dan kesyirikan.
Kenapa
bisa demikian? Apakah pihak manejeman televisi menyadari keburukan
program-program tayangannya? Seolah tanpa memiliki beban kekeliruan, mereka
menayangkan sinetron "religi" yang sebenarnya sarat dengan penyesatan
dan pembodohan. Ironisnya, banyak pemirsa yang sebagian besar kaum Muslimin,
ternyata terpikat tayangan-tayangan ini tanpa merasa perlu mengkritisi.
Padahal, tayangan seperti itu tidak selaras dan banyak yang tidak sesuai dengan
pemahaman agama yang shahih.
Seni Peran Bukan Dari Islam
Dr.
Abdus Salam bin Barjas membahas mengenai seni peran, yang saat sekarang ini
sudah tidak asing lagi. Menurut beliau, mula pertama seni peran adalah dari
kebudayaan Yunani dan ajaran-ajaran gereja kuno sebelum Islam datang. Pendapat
ini juga dipertegas oleh sejumlah ahli sastra. Adapun kaum Muslimin, tidak
pernah mengenalnya, baik ketika awal dakwah Rasulullah Muhammad SAW, maupun setelah
Rasulullah wafat.
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah mencontohkan dengan satu gambaran berkaitan dengan
perayaan hari raya Sya’anin di kalangan penganut Nasrani. Syaikhul Islam
berkata: “Itu hari Ahad pertama dalam puasa mereka. Mereka keluar pada hari itu
dengan membawa daun zaitun atau lainnya. Dengan asumsi, mereka sedang meniru
yang terjadi pada Isa AS saat memasuki Baitil Maqdis…".
Jadi,
seni peran merupakan salah satu simbol paganisme Yunani dan gereja Nashara.
Mereka melakukannya dengan maksud untuk mendekatkan diri kepada dewa-dewa,
mengagungkan Isa bin Maryam AS dan mengenang tokoh atau pembesar-pembesar
mereka. Tema yang diangkat, misalnya tentang dewa Dionysos dewa padi,
tumbuh-tumbuhan dan korma. Penyelenggaraan yang mengandung nilai pemujaan ini,
sebagai ungkapan kegembiraan dan rasa syukur terhadap dewa, bila hasil panennya
berlimpah. Dan jika gagal panen, mereka melakukannya sebagai ekspresi
pengharapan dan ketundukan. Lantas, bagaimana dengan kaum Muslimin?
Banyak Kebohongan
Pembuatan
film atau sinetron, tidak lepas dari dua kondisi. Pertama. Sinetron yang
bersifat fiktif atau khayalan belaka. Kedua. Berkisah tentang peristiwa nyata
yang telah terjadi dengan melibatkan sejumlah orang. Aktualisasi dua jenis
cerita ini hukumnya haram dan tidak diperbolehkan oleh syari'at, karena
mengandung kedustaan. Di antara kedustaan yang diperlihatkan sinetron adalah :
•
Menamakan pemainnya dengan nama yang
lain.
•
Memainkan sosok lain yang bukan jati dirinya.
Misalnya sebagai hakim, penjual, pemabuk, atau lainnya.
•
Ungkapan-ungkapan yang diketahui kebohongan
dan khayalannya.
•
Memperlihatkan diri sebagai penderita cacat,
orang dungu atau lainnya, padahal tidak demikian.
•
Memerankan sebagai tokoh yang sangat shalih,
misalnya sebagai seorang kyai atau ustadz. Bisa juga memerankan tokoh jahat,
yang selalu berbuat kerusakan atau kezhaliman, dan sebagainya.
Untuk
peran pertama, bila memang tokohnya benar-benar orang-orang shalih, akan
menunjukkan mensucikan diri. Sedangkan peran yang kedua (sebagai orang jahat),
apabila memang orangnya begitu, berarti telah membuka kedoknya sendiri sebagai
pelaku maksiat di hadapan orang banyak. Jenis-jenis kedustaan sebagaimana
tersebut di atas sulit dilepaskan dari sinetron-sinetron, baik yang bernuansa
religi, ataupun lainnya. Rasulullah SAW bersabda:
"Empat sifat, apabila terdapat pada diri
seseorang, maka ia menjadi seorang munafik. Barangsiapa terdapat satu sifat
dari sifat-sifat itu, maka pada dirinya terdapat satu sifat dari sifat-sifat
munafik: (di antaranya), jika berkata ia berdusta". (HR. Bukhari dan Muslim)
Akting Mencaci Agama Itu Kufur
Ini berlangsung
ketika ada aktor atau artis yang memerankan peran antagonis sebagai pencemooh
agama. Dia pun berakting di depan kamera, sebagai seorang pemeran, sambil
melontarkan ungkapan busuk tentang agama atau orang-orang shalih. Atau berperan
sebagai orang kafir dan melontarkan ungkapan-ungkapan yang jelas-jelas kufur.
Dia pun benar-benar berusaha menjiwai aktingnya. Sebagaimana yang dilakukan
para pekerja film yang memerankan orang jahiliyah, atau setan. Akhirnya,
keluarlah celaan terhadap Allah, RasulNya dan penghinaan terhadap Islam. Ini
semua terjadi di hadapan banyak orang, baik sutradara, pemain lain dan kru
film, juga penonton nantinya. Mereka berdalih semua ini karena tuntutan
profesionalisme. Maka, tidak diragukan lagi, perbuatan ini termasuk kekufuran
yang terang-terangan, sehingga bisa mengeluarkan seseorang dari Islam. Allah
berfirman dalam QS at Taubah ayat 64-66 menyebutkan:
"Orang-orang munafik itu takut akan
diturunkan terhadap mereka sesuatu surat yang menerangkan apa yang tersembunyi
di dalam hati mereka. Katakanlah kepada mereka: "Teruskanlah
ejekan-ejekanmu (terhadap Allah dan Rasul-Nya)". Sesungguhnya Allah akan
menyatakan apa yang kamu takuti. Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang
apa yang mereka lakukan itu), tentu mereka akan menjawab: "Sesungguhnya
kami hanya bersenda-gurau dan bermain-main saja". Katakanlah: "Apakah
dengan Allah, ayat-ayatNya dan RasulNya kamu selalu berolok-olok?" "Tidak
usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami mema'afkan
segolongan dari kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengadzab
golongan (yang lain) disebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat
dosa".
0 komentar:
Posting Komentar