Kemajuan
teknologi masa kini memang lebih banyak didomonasi oleh bangsa-bangsa barat.
Dari teknologi mesin kendaraan, alat perang maupun seputar dunia medis. Bahkan
rumah sakit dengan alat tercanggihpun juga masih dikuasai mereka. Di bidang
farmasi, obat-obatan lebih banyak diproduksi oleh perusahan-perusahaan asing
barat. Meskipun hingga ke bidang farmasi negara-negara dunia ketiga dan Islam
masih banyak menjadi konsumen tetapi awal mula perintisnya hingga penemuan
apotek ternyata dari ilmuwan Muslim.
Peradaban
Islam dikenal sebagai perintis dalam bidang farmasi. Para ilmuwan Muslim di era
kejayaan Islam sudah berhasil menguasai riset ilimiah mengenai komposisi,
dosis, penggunaan, dan efek dari obat-obatan sederhana dan campuran.
Selain menguasai bidang farmasi, masyarakat Muslim pun tercatat sebagai
peradaban pertama yang memiliki apotek atau toko obat.
Apotek pertama di dunia
Sharif
Kaf al-Ghazal dalam tulisannya bertajuk The valuable contributions of Al-Razi
(Rhazes) in the history of pharmacy during the Middle Ages, mengungkapkan,
apotek pertama di dunia berdiri di kota Baghdad pada tahun 754 M. Saat itu,
Baghdad sudah menjadi ibukota Kekhalifahan Abbasiyah.
Jauh
sebelum peradaban Barat mengenal apotek, masyarakat Islam lebih dulu menguasainya.
Sejarah mencatat, apoteker pertama di Eropa baru muncul pada akhir abad ke-14,
bernama Geoffrey Chaucer (1342-1400). Ia dikenal sebagai apoteker asal Inggris.
Apotek mulai menyebar di Eropa setelah pada abad ke-15 hingga ke-19 M, praktisi
apoteker mulai berkembang di benua itu.
”Umat Islam-lah yang mendirikan warung
pengobatan pertama,” papar Howard R Turner dalam bukunya
bertajuk Science in Medievel Islam . Philip K Hitti dalam bukunya
yang terkenal bertajuk History of Arab, juga mengakui bahawa peradaban Islamlah
yang pertama
kali mendirikan apotek.
kali mendirikan apotek.
Pendiri Sekolah Farmasi pertama
”Selain itu, peradaban Islam juga merupakan
pendiri sekolah farmasi pertama,” ungkap
K Hitti. Ia juga membuktikan bahwa umat Muslim di era kekhalifahan sebagai
pencipta pharmacopoeia yang pertama. Perkembangan ilmu farmasi yang begitu
cepat, membuat apotek atau toko-toko obat tumbuh menjamur di kota-kota Islam.
Hampir
di setiap rumah sakit besar di kota-kota Islam dilengkapi dengan apotek atau
instalasi farmakologi. Apotek-apotek itu dikelola oleh apoteker yang menguasai
ilmu peracikan obat. ”Kaum Muslimin
menyumbang begitu banyak hal terhadap perkembangan apotek atau obat,”
ungkap Howard R Turner dalam bukunya bertajuk Science in Medievel Islam .
Di era
kejayaan Islam, toko-toko obat bermunculan bak jamur di musim hujan. Toko obat yang
banyak jumlahnya tak cuma hadir di kota Baghdad (kota metropolis dunia di era kejayaan
Abbasiyah) namun juga di kota-kota Islam lainnya. Para ahli farmasi ketika itu
sudah mulai mendirikan apotek sendiri. Mereka menggunakan keahlian yang
dimilikinya untuk meracik, menyimpan, serta menjaga aneka obat-obatan.
Dukungan penuh pemerintah
Pemerintah
Muslim pun turun mendukung pembangunan di bidang farmasi. Rumah sakit milik
pemerintah yang ketika itu memberikan perawatan kesehatan secara cuma-cuma bagi
rakyatnya juga mendirikan laboratorium untuk meracik dan memproduksi aneka
obat-obatan dalam skala besar.Keamanan obat-obatan yang dijual di apotek swasta
dan pemerintah diawasi secara ketat. Secara periodik, pemerintah melalui
pejabat dari Al-Muhtasib (semacam badan pengawas obat-obatan/ BPOM di
Indonesia) mengawasi dan memeriksa seluruh toko obat dan apotek. Para pengawas
dari Al-Muhtasib secara teliti mengukur akurasi berat dan ukuran kemurnian dari
obat yang digunakan.
Pengawasan
yang amat ketat itu dilakukan untuk mencegah penggunaan bahan-bahan
yang berbahaya dalam obat dan sirup. Semua itu dilakukan semata-mata untuk melindungi masyarakat dari bahaya obat-obatan yang tak sesuai dengan aturan. Pengawasan obat-obatan yang dilakukan secara ketat dan teliti yang telah diterapkan di era kekhalifahan Islam.
yang berbahaya dalam obat dan sirup. Semua itu dilakukan semata-mata untuk melindungi masyarakat dari bahaya obat-obatan yang tak sesuai dengan aturan. Pengawasan obat-obatan yang dilakukan secara ketat dan teliti yang telah diterapkan di era kekhalifahan Islam.
Ilmuwan muslim penopang apotek
Perkembangan ilmu
botani dan kimia telah mendorong umat Muslim untuk mengembangkan farmasi.
Pada masa itu, ilmuwan Muslim seperti Muhammad ibnu Zakariya al-Razi
(865-915 M) alias Razes turut mengembangkan pengobatan dengan menggunakan obat obatan.
Selain itu, dokter dan ahli farmasi Muslim lainnya Abu al-Qasim
al-Zahrawi alias Abulcasis (936-1013 M) juga tercatat sebagai saintis perintis
dalam bidang distiliasi dan sublimasi.
Tak
hanya itu, Sabur ibnu Sahl (wafat 869 M), juga tercatat sebagai dokter pertama
yang mencetuskan pharmacopoedia. Ia telah menjelaskan beragam jenis
obat-obatan untuk mengobati penyakit. Saintis Muslim lainnya yang turut
menopang tumbuhnya aoptek di era Islam adalah al-Biruni (973-1050 M).
Sang ilmuwan legendaris Islam itu telah menulis buku farmakologi yang sangat
berharga bertajuk Kitab al-Saydalah ( Buku tentang Obat-obatan). Dalam
kitabnya itu, al-Biruni menjelaskan secara detail pengetahuan mengenai
peralatan untuk pembuatan oba-obatan, peran farmasi, fungsi serta tugas apoteker.
Ia juga menjelaskan tentang apotek. Ilmuwan Muslim lainnya, Ibnu Sina
alias Avicenna juga menulis tak kurang dari 700 persiapan pembuatan obat,
peralatannya, kegunaan dan khasiat obat-obatan tersebut. Kontribusi Ibnu Sina
dalam bidang farmasi itu dituliskannya dalam bukunya yang sangat
monumental Canon of Medicine.
Baratpun mengadopsi
Muslim
lainnya yang turut menopang berdiri serta berkembangnya apotek di dunia Islam
adalah al-Maridini dan Ibnu al-Wafid (1008-1074). Kedua karya ilmuwan Muslim
itu telah dicetak dalam bahasa Latin lebih dari 50 kali. Kitab yang
ditulis keduanya diterjemahkan ke dalam bahasa Latin berjudul De Medicinis universalibus
et particularibus dan Medicamentis simplicibus.
”Kaum Muslimin telah menyumbang banyak hal
dalam bidang farmasi dan pengaruhnya sangat luar biasa terhadap Barat,” papar Turner. Menurut Turner, para sarjana Muslim di
zaman kejayaan telah memperkenalkan sederet obat herbal yang terbukti
berkhasiat untuk kesehatan, seperti, adas manis, kayu manis, cengkeh, kamper,
sulfur, serta merkuri sebagai unsur atau bahan racikan obat-obatan.
Menurut
K Hitti, kemajuan peradaban Islam dalam farmasi dan apotek ditopang oleh
banyaknya buku dalam bidang farmakologi yang ditulis ilmuwan Muslim. K Hitti
mencatat, buku farmakologi pertama di dunia Islam ditulis oleh Jabir bin
Hayyan. Selain itu, ada pula karya al-Razi, Ibnu Sina, Tabari. ”al-Razi dan Ibnu Sina adalah dua dokter
yang paling terkemuka di zamannya,” ujar K Hitti.
Sejak
dulu, apotek yang dikelola apoteker merupakan bagian yang tak terpisahkan
dari institusi rumah sakit. Hal itu sama halnya dengan farmasi dan
farmakologi yang juga merupakan bagian yang tak terpisahkan dari ilmu
kedokteran. Dunia farmasi profesional secara resmi terpisah dari ilmu kedokteran
di era kekuasaan Kekhalifahan Abbasiyah.
Terpisahnya farmasi dari kedokteran pada abad
ke-8 M, membuat farmakolog menjadi profesi yang independen dan farmakologi
sebagai ilmu yang berdiri sendiri. Menurut Howard R Turner, praktisi seperti
herbalis, kolektor, penjual tumbuhan, rempah-rempah untuk obat-obatan, penjual
dan pembuat sirup, kosmetik, air aromatik, serta apoteker merupakan profesi
yang menopang geliat farmasi di dunia Islam.
0 komentar:
Posting Komentar