Diantara prinsip-prinsip ekonomi syariah yang menjadi
dasar dalam penerapan ekonomi Islam, adalah bahwa alam semesta milik Allah dan ada
dalam kekuasaanNya. Pada hakekatnya segala yang ada di bumi, yang ada di langit
dan apa yang ada diantara keduanya adalah milik Allah SWT. Air, tanah, udara
dan sumber daya alam seluruhnya adalah milik Allah. Manusia diberi wewenang
untuk mengelola dan mengusahakannya. Dan hak Allahlah yang menetapkan rezki
pada siapa saja yang dikehendakinya.
Dengan usaha yang telah dilakukan ini, maka ada sebagian manusia
yang memperoleh karunia lebih banyak dari sebagian yang lain. Hal ini merupakan
ketentuan dan kehendak Allah. Karenanya dilarang sebagian yang satu (orang
miskin) merasa iri hati kepada sebagian yang lain (orang kaya), sebagaimana
firman Allah dalam al-Qur’an.
”Dan janganlah kamu iri
hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak
dari sebagian yang lain. (karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang
mereka usahakan dan bagi wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan,
dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karuniaNya. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu.” (QS. An-Nisaa’, 4:32)
Dengan demikian dapat kita pahami bahwa harta kekayaan
yang diusahakan oleh sesorang dengan cara yang baik dan benar menurut syariah
diakui secara sah sebagai amanah Allah kepadanya. Dalam ekonomi Islam,
kepemilikan pribadi diakui dalam batas-batas tertentu yang berhubungan dengan
kepentingan masyarakat. Meskipun kepemilikan pribadi dengan cara perolehan yang
sah dan halal diakui oleh Islam, namun harta kekayaan tersebut tidak boleh
dimiliki sekelompok orang saja.
Dalam sistem kapitalisme,
harta kekayaan atau modal
cenderung mengumpul pada sekelompok kecil orang yakni pada mereka yang kuat
modalnya dan dekat dengan kekuasaan. Mereka akan menguasai sarana produksi dan
distribusi barang dan jasa. Mereka akan semakin besar mendapatkan keuntungan. Yang
kaya akan semakin kaya. Merekalah para pemilik modal (kapital). Sementara
kelompok yang lain, karena ketidakmampuan mereka, mereka menjadi kelompok
miskin yang tertindas. Sistem kapitalisme telah menciptakan situasi kemiskinan
struktural.
Kondisi demikian tidak dibenarkan dalam Islam. Allah
memerintahkan agar harta kekayaan harus bisa didistribusikan secara merata dan
melarang harta kekayaan tersebut beredar diantara orang-orang kaya saja. Allah
berfirman dalam Al-Quran.
”Apa saja harta rampasan
(fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya yang berasal dari penduduk kota,
maka adalah untuk Allah, untuk Rosul, kaum kerabat, anak-anak yang yatim,
orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu
jangan beredar diantara orang-orang kaya saja diantaramu.” (QS. Al-Hasyr, 59:7)
Allah juga melarang seseorang menyimpan harta kekayaan
yang didapat tanpa menafkahkan di jalan Allah. Karena harta kekayaan tersebut
sebagai karunia dari Allah, maka seharusnya juga digunakan untuk kepentingan
dalam beribadah kepada Allah, untuk menegakkan dan meninggikan kalimat Allah.
”Dan orang-orang yang
menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka
beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka) akan mendapatkan siksa yang
pedih.” (QS. At-Taubah, 9:34)
Salah satu cara agar distribusi kekayaan merata ke seluruh
kaum muslimin adalah dengan zakat, infaq dan shodaqoh. Atas harta kekayaan yang
dimilikinya, seorang muslim harus membayar zakat atas hartanya yang telah
memenuhi batas (nishab)nya. Zakat ini merupakan sarana distribusi sebagian
kekayaan orang-orang kaya yang ditujukan bagi orang miskin dan mereka yang
berhak mendapatkannya. Disamping mengeluarkan zakat sesuai ketentuan, mereka yang
mendapatkan karunia atau rezki dari Allah juga diperintahkan untuk mengeluarkan
sebagian hartanya di jalan Allah berupa infaq atau sodaqoh. Dengan adanya
zakat, infaq dan sodaqoh inilah pemberdayaan ekonomi umat Islam dapat
dilakukan.
Sabar dan Syukur
Bagi kaum muslim yang diuji oleh Allah dengan
kekurangan harta dan kemiskinan sehingga tidak bisa memenuhi kebutuhan
hidupnya, hendaknya harus tetap sabar dan menjadikan ujian tersebut sebagai
pendorong untuk semakin dekat kepada Allah dan meningkatkan ibadah kepadaNya.
Selanjutnya mereka perlu belajar bagaimana agar usaha atau kerja keras yang
mereka lakukan diridloi Allah dan mendatangkan pertolongan Allah dengan
kemudahan rezki. Mereka perlu belajar pada kaum muslimin yang diamanahi Allah
rezki yang cukup, misalnya semangat ibadah mereka, semangat kerja atau usaha
mereka, dan kedermawan mereka dalam menggunakan harta kekayaan. Karena dibalik
kwalitas ibadah dan usaha mereka itulah, Allah telah karuniakan rezki yang
cukup bahkan mungkin berlimpah.
Bagi kaum muslim yang diuji oleh Allah dengan kelebihan
harta dan kekayaan hendaknya tambah bersyukur kepada Allah. Mereka tetap
istiqomah meningkatkan amal ibadah kepada Allah disamping kerja keras dan
melakukan usaha secara halal dan diridhoi Allah. Selanjutnya mereka perlu ada
risau dan kepedulian terhadap saudaranya yang kekurangan. Disamping dengan
mengeluarkan zakat, infaq dan shodaqoh yang secara rutin mereka telah lakukan,
mereka juga perlu meluangkan waktunya untuk berbagi ilmu bisnisnya, misal dalam
bentuk pelatihan-pelatihan kewirausahaan bagi karyawan yang memiliki semangat
bekerja keras atau kaum dhuafa. Dengan pelatihan kewirausahaan ini barangkali
akan mengubah nasib kaum miskin/dhuafa. Mereka jadi bersemangat dalam bekerja,
semangat dalam berusaha dan tidak berputus asa dari karunia Allah swt. Mereka
juga tetap dekat kepada Allah dan rajin beribadah, sehingga Allah ubah
kehidupan mereka menjadi lebih baik.
Sinergi
Barangkali perlu adanya pemikiran untuk membangun
jaringan yang kuat para pengusaha muslim, membentuk lembaga-lembaga atau yayasan
nirlaba yang siap memberikan pelatihan kewirausahaan. Membantu kaum muslim yang
kekurangan atau kaum dhuafa, bukan sekedar membagi uang dan keperluan hidup
mereka, tetapi juga memberikan ketrampilan dalam berusaha, membuka akses modal,
distribusi, pemasaran dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia (sdm)
sebagai komponen dalam ekonomi umat Islam. Dengan kata lain, kaum dhuafa tidak
hanya diberi ikan tapi perlu dibelikan kail dan sekaligus diberi ilmu cara
memancing yang bisa menghasilkan banyak ikan.
Melalui tulisan ini, saya mengajak para pembaca yang
memiliki ilmu bisnis dan kekayaan lebih untuk siap berkontribusi dalam
mewujudkan idea membangun jaringan ekonomi umat. Membuat lembaga pelatihan
kewirausahaan syariah, menyiapkan modul pelatihan dan siap berbagi ilmu
kewirausahaan kepada kaum muslim yang berminat untuk berwirausaha, dan
membimbing mereka untuk mulai menjalankan bisnis.
Jika kemampuan peserta pelatihan dan bimbingan
kewirausahan ini meningkat, dengan melihat perkembangan praktek usaha mereka,
dimungkinkan untuk membantu mereka dalam akses modal melalui Lembaga Keuangan
Syariah (LKS) atau BMT yang siap berkontribusi dalam jaringan ekonomi umat ini.
Inilah wujud dari sinergi dalam pemberdayaan ekonomi umat. Dengan demikian diharapkan,
banyak saudara muslim kita yang kelak ikut menikmati hasil dari pemberdayaan
ekonomi umat ini. (Wallahu a’lam Bishowab).
0 komentar:
Posting Komentar