“Manusia yang berakal ialah manusia yang suka
menerima dan meminta nasihat”. Umar
Ibn Khattab
Akal
adalah satu factor pembeda antara manusia dan mahluk lainnya. Semua mahluk
ciptaan Allah memang disertai otak, namun hanya otak manusia yang bisa
digunakan untuk berfikir oleh karenanya manusia disebut sebagai mahluk yang berakal.
Dan salah satu penyakit mahluk berakal adalah berfikir tanpa control bahkan
cenderung melebihi batas, padahal tanpa adanya control akan dimungkinkan
manusia akan tersesat. Untuk itulah Umar Ibn Khattab menyebutkan bahwa manusia
yang berakal adalah manusia yang suka menerima dan meminta nasihat.
Dinasehati
adalah fitrah, panggilan jiwa dan kebutuhan manusia. Namun tidak semua manusia
-termasuk yang memberikan nasehat- senang dinasehati, serta bersedia mendengar,
menerima dan menjalankan nasehat. Lebih dari itu, orang yang menjadi obyek
nasehat bisa marah, menganggap orang yang memberikan nasehat ikut campur
urusannya, dan mencap orang yang menasehatinya sebagai orang yang sok suci.
Rasulullah
SAW bersabda,
“Seorang mukmin adalah
cermin bagi mukmin lainnya. Apabila melihat aib padanya dia segera memperbaikinya.”
(HR. Bukhari)
Sejatinya
dinasehati adalah menguntungkan. Selayaknya orang yang dinasehati tidak cukup
sekadar mendengar dan menerima nasehat dengan senang dan ikhlas hati, tapi
lebih dari itu seharusnya dia merasa beruntung, bersyukur kepada Allah SWT lalu
berterima kasih kepada orang yang menasehatinya meskipun cara memberikan
nasehat kurang berkenanan di hati. Mengapa demikian? Karena masih ada orang
lain yang peduli pada dirinya, pada keselamatan dan kebahagiaan dirinya di
dunia ini dan di kehidupan di akhirat kelak. Orang yang menasehatinya berarti
telah menyelamatkan diri, kehidupan dan agamanya, serta membuat dirinya bahagia
bukan hanya di kehidupan yang fana ini tapi juga di kehidupan yang kekal kelak.
Nasehat
yang diberikan orang lain ketika kita berniat akan berbuat salah bisa mencegah
kita benar-benar jadi berbuat salah. Nasehat yang kita terima ketika kita telah
berbuat salah menjadikan diri kita bisa mengetahui dan menyadari kesalahan
kita, mencegah kita terus menerus melakukan perbuatan salah, serta bisa
mendorong kita untuk bertaubat.
Sebagai
analogi, jika suatu ketika kita berdiri di sebuah sawah dan di belakang kita
ada seekor ular besar berbisa. Ular itu sudah siap akan menggigit kaki kita.
Kita tidak mengetahui keberadaan ular tersebut. Pada saat itu ada orang lain
yang berada di depan kita mengetahui ular itu. Lalu dia memberitahukan kepada
kita. Tentu kita tidak marah, tapi justru berterima kasih karena telah
menyelamatkan diri dan nyawa kita.
Itu
adalah sikap yang alami dan normal. Semua orang normal pasti bersikap demikian.
Lain halnya dengan orang yang tidak normal alias kurang waras. Dia bisa
bersikap tidak normal. Diberitahu ada ular yang akan menggigitnya, bukannya
berterima kasih, dia malah bisa marah-marah, menyerang dengan kata-kata dan
secara fisik.
Sebagaimana
yang disabdakan Rasulullah SAW orang lain adalah layaknya cermin bagi diri
kita. Kita membutuhkan cermin untuk melihat wajah dan diri kita apakah telah
berpenampilan pantas. Kita tidak bisa melihat wajah, kepala, dan tubuh bagian
belakang kita tanpa cermin. Ketika bercermin kita mendapati ada sesuatu yang
tidak pantas pada wajah atau badan, kita tidak akan marah-marah pada cermin.
Yang kita lakukan adalah menghilangkan sesuatu yang mengganggu penampilan.
Demikian
juga halnya dalam kehidupan sehari-hari, kita membutuhkan orang lain untuk
memberitahu sesuatu yang tidak pantas (aib) yang ada pada diri kita. Kita tidak
bisa membaca dan melihat diri kita sendiri secara obyektif. Ketika “cermin” itu
mendapati dan memberitahu aib kita, selayaknya kita tidak marah-marah pada
“cermin” itu. Yang perlu kita lakukan adalah menghilangkan aib yang kita
miliki. Selain itu kita seyogyanya berterima kasih padanya yang telah sudi
membaca dan memberitahu aib kita tanpa pamrih.
0 komentar:
Posting Komentar